Sejarah

Tunas yang baru tumbuh tak seketika menghasilkan buah ranum untuk dipanen. Selalu saja, sesuai hukum alam, sebuah tunas akan dihadapkan pada kepastian tentang nasibnya: mati, tumbuh kerdil, tumbuh secara liar, atau berkembang menjadi pohon rindang yang banyak memberi manfaat kepada kehidupan. Begitu pun, saat Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) didirikan pada hari Jumat bersejarah 11 Februari 1972 di Jakarta, mungkin tak terbayangkan oleh para pendirinya, bahwa empat puluh tahun kemudian REI akan menjadi asosiasi yang banyak memberi warna dalam kehidupan bangsa Indonesia.

Betapa tidak, jauh berbeda dibandingkan 40 tahun silam, REI yang kini beranggotakan ribuan pengembang besar-kecil di seluruh nusantara telah berhasil tampil secara terampil - termasuk sebagai mitra pemerintah - salam pembangunan perumahan di Indonesia. Bahkan, kehadiran dan kiprah REI kerap dijadikan takaran dalam mengukur suhu perekonomian dan moneter di Indonesia. Ini sungguh luar biasa.

Banyak memang asosiasi yang menjadi sekedar bendera , tapi tidak berkibar. Terlipat, kusut, atau berubah warna menjadi bendera putih, dan ada pula yang dipasang setengah tiang. REI tidaklah demikian. Sejak didirikan seperempat abad lalu, REI melewati babak demi babak dalam perjalanan sejarahnya menjadi asosiai yang kuat. Padu dan tumbah senafas dengan geliat perkembangan zaman.

Kenyataan inilah yang menumbuhkan rasa kagum banyak pihak, baik dinyatakan secara gambalah ataupun cukup dipendam dalam hati. Dan, memang, sebagai asosiasi yang sosoknya kian membesar, REI tidak hanya didukung anggota yang berjumlah ribuan dengan kepengurusan yang dari satu periode ke periode kian banyak dan kuat. Secara faktual REI telah berkiprah nyata dalam semarak industri realti dan properti - terutama dalam pembangunan pemukiman - di Indonesia.

Prestasi yang jejak kiprahnya mudah ditandai di seluruh tanah air dan dalam pergaulan internasional - dalam jumlah yang terlalu banyak untuk dihitung satu-persatu ini - cukup membuktikan, bahwa REI adalah asosiasi yang berisi dan patut disegani. Hal ini, dalam pandangan Menteri Negara Perumahan Rakyat Ir. Akbar Tandjung, "Di Indonesia, REI adalah satu-satunya asosiasi paling solid dan bisa bermitra dengan pemerintah secara harmonis."

Ucapan ini jelas menyejukkan. Sebab, bila dirunut pada awal kehadirannya seperempat abad lalu, 11 Februari 1972, REI lahir dalam kondisi serba kekurangan. Saat itu, REI belum punya pengurus, dan baru sepekan kemudain - 18 Februari 1972 - dibentuk Pengurus Sementra yang dipimpin Ir. Ciputra dari PT. Pembangunan Jaya. Bahu membahu dengan Drs. JP Darussalam (Yayasan Perumahan Pulo Mas) sebagai Wakil Ketua, Eric FH Samola, SH. (Otorita Pembangunan Proyek Senen) dan Ir. Shafrin Manti (Badan Pelaksana Otorita Pluit) sebagai Sekretaris dan Wakil Bendahara David Solaiman, SH. (PT. Multi Land), ditambah para anggota: Abubakar Bahfen (Fa Harco), Ir. Aditomo (Proyek Cempaka Putih), Soekardjo Hardjosoewirjo, SH (Proyek Ancol), dan T. Sudjati (PT Jakarta Housing), Pengurus Sementara REI kemudian melangkah

Pada 25 Februari 1972 pengurus REI mengajukan permohonan pengukuhan kepada Gubernur DKI Jakarta Letjen. TNI. Ali Sadikin. Surat permohonan No. 02/SK/REI/72 itu dikabulkan. Tanggal 18 Maret 1972 Gubernur Ali Sadikin mengeluarkan Surat Keputusan No. 638/A/K/BKD/72 yang isinya mengukuhkan pendirian REI yang berkedudukan di Jakarta.

Patut diingat, tiga hari sebelum mengeluarkan surat keputusan yang salah satu dari 17 tembusannya disampaikan kepada Para Menteri Kabinet RI, 15 Maret 1972, Gubernur Ali Sadikin mengukuhkan kepengurusan REI (yang masih dalam status sementara). Hanya saja, Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik Ir. Sutami yang diundang menghadiri resepsi di City Hall Gedung Pemerintah DKI Jakarta berhalangan hadir. Akhirnya, pengukuhan - dihadapan seluruh anggota REI yang hadir saat itu - dilakukan tanpa Menteri Sutami. "Beliau mungkin sibuk. Tapi, yang jelas saya mengundang beliau", kenang Ali Sadikin.

Terus dipacu oleh waktu, pada tanggal 27 Maret 1972 pengurus mengadakan Rapat Anggota. Di dalam forum itu disetujui penambahan 2 orang pengurus, yaitu Sjamsir Iskandar, SH. (Manajer Perusahaan Tanah & Pembangunan Pemda DKI Jakarta) dan Drs. Widodo Sukarno (Direktur Utama PT. Mahkota Real Estate and Development) sebagai Wakil Ketua II dan Anggota.

Pada hari bersejarah itu pulalah para anggota REI membuat pernyataan - berupa memorandum - yang isinya, antara lain bahwa pengusaha dalam bidang real estate di Indonesia sepakat untuk membentuk suatu wadah dengan nama "Persatuan Pengusaha Real Estate Indonesia".

Sikap 33 perusahaan penandatanganan memorandum itu tentu merupakan langkah maju. Sebab, hanya dalam waktu singkat, 11 Februari hingga 27 Maret 1972, para pengurus dan anggota REI secara resmi berhasil membuat keputusan ‘penting dan strategis’ untuk menapak perjalanan jauh ke depan. Sebab, selain menyatakan ke-33 perusahaan tersebut sebagai pendiri REI (seperti dicatat dalam risalah Laporan Sekretariat REI tertanggal 22 Nopember 1974 yang disampaikan pada Musyawarah Nasional REI ke - 1 di Jakarta, 22-23 November 1974), memorandum ini juga memuat beberapa hal penting lainnya.

Dalam diktum kedua dinyatakan, “Untuk pertama kali di Jakarta dibentuk Pengurus Sementara oleh Para Pendiri dengan status Pengurus Pusat”, dengan susunan Menteri PUTL Ir. Sutami dan Gubernur KDKI Jakarta Letjen. TNI Ali Sadikin sebagai Pelindung, dan Penasehat dijabat oleh Dirjen Cipta Karya Departemen PUTL Ir. Rachmat Wiradisuria.

Isi memorandum pertama dan ketiga pun penting sebagai landasan berpijak bagi para pengurus dan anggota REI untuk melangkah. Isi memorandum pertama berintikan kesepakatan menerima Anggaran Dasar Sementara yang telah dibuat, disetujui bisa digunakan sampai pada Musyawarah Nasional yang akan datang. Sedangkan memorandum ketiga menegaskan, “Dalam melaksanakan kepememinpinan organisasi ini, maka Pengurus Sementara akan berpedoman pada Anggaran Dasar Sementara Organisasi, dan untuk pertama kali anggota-anggoata pendiri berstatus masing-masing sebagai cabang-cabang organisasi”.

Memorandum yang diakhiri tanda tangan ke-33 pendiri REI ini juga menyiratkan mekanisme kehidupan berorganisasi. Yakni, soal kewenangan dan pertanggungjawaban pengurus kepada para pendiri. Pernyataan ini bisa dipandang sebagai landasan penting bagi REI untuk jauh melangkah ke depan secara organisatoris.

Isi memorandum keempat juga tak kalah penting dan strategis, terutama sebagai upaya REI dalam menjelajahi pergaulan internasional. Sebab, memorandum ini berisi persetujuan untuk mengirim delegasi yang akan mewakili REI dalam Inaugural Congress APREF (Asia Pacific Real Estate Federation) yang akan diselenggarakan di Tokyo, 10-12 April 1972.

Selang dua hari sejak penandatanganan memorandum, REI menoreh sejarah di Building Information CentreDepartemen PUTL, Jakarta. Saat itu, 29 Maret 1972, dihadapan para pengurus dan anggota REI, serta para pejabat di lingkungan Departemen PUTL dan para undangan lainnya, Menteri Sutami tanpa ragu menyatakan ,”REI adalah satu-satunya wadah yang menghimpun pengusaha-pengusaha yang bergerak dalam bidang real estate di Indonesia”.

Memandang perlu untuk memperjelas dukungannya terhadap REI, Menteri Sutami juga mengeluarkan Surat Rekomendasi No. 02/KTR/M/72 tertanggal 29 Maret 1972 yang isinya selain menjelaskan kedudukan REI, juga menerangkan bahwa, “Organisasi ini dianggap cukup mewakili pengusaha-pengusaha real estate Indonesia di forum internasional, antara lain Asia Pacific Real Estate Federation (APREF)”.

Rekomendasi Menteri Sutami ini mengisyaratkan, bahwa REI memang didukung sebagai asosiasi yang peranannya tidak sebatas di Indonesia saja, tapi juga dipandang cukup mewakili para pengusaha realestat Indonesia di forum internasional.

Kedudukan REI kian kuat setelah pada tanggal 18 Juni 1972 Gubernur Ali Sadikin mengeluarkan Surat Keputusan tertanggal No. D. VI-a.II/5/4/73. Isinya, memutuskan bahwa REI diakui sebagai satu-satunya organisasi pengusaha realestat yang bergerak di dalam wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Bagi para pengusaha dari luar Jakarta yang melakukan kegiatan usaha di Jakarta, diwajibkan bergabung dan menjadi anggota REI. Keharusan ini merupakan salah satu persyaratan bagi para pengusaha tersebut untuk dapat dipertimbangkan memperoleh fasilitas tanah dan fasilitas-fasilitas lainnya dari Pemda DKI Jakarta.

Setahun kemudian, dua hari menjalang Munas REI I dilangsungkan di Jakarta, 22-23 Nopember 1974, Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan surat keputusan No. D.IV-5540/d/27/74, tertanggal 20 Nopember 1974. Isinya, mewajibkan REI untuk meneliti perusahaan realestat yang berhasrat menjadi anggota REI apakah betul berusaha di bidang realestat dan apakah dapat dipertanggungjawabkan bonafiditas usahanya.

Hal lain - yang berintikan tentang penataan - mencakup sedikitnya lima hal pokok. Pertama, mengenai kewenangan REI memberi tanda keanggotakan kepada anggotanya. Kedua, mewajibkan REI mengirimkan daftar anggotanya kepada Gubernur DKI Jakarta tiap triwulan sekali yang dimulai Desember 1974. Ketiga, mensyaratkan kepada para pengusaha yang ingin memperoleh ijin pembebasan tanah dan ijin penunjukan penggunaan tanah, agar melampirkan copy tanda keanggotaan REI yang masih berlaku. Keempat, terhadap perusahaan yang tidak memenuhi persyaratan, permohonan untuk mendapatkan perijinan pembebasan tanah dan penunjukkan penggunaan tanah akan ditoal. Selain itu, juga akan dikenakan sanksi. Kelima, menugaskan kepada semua instansi dalam lingkungan Pemda DKI Jakarta untuk mengamankan dan melaksanakan keputusan ini.

Surat keputusan ini perlu dikeluarkan, karena pda saat itu menurut Ali Sadikin, banyak terjadi tindakan tak etis di kalangan perusahaan realestat yang berusaha di Jakarta. Melihat kondisi semacam ini, maka ketika memberi sambutan pada Munas REI I di Hall A Flores Room Hotel Borobudur, Jakarta, 22-23 Nopember 1974, Ali Sadikin menegaskan, “Ini suatu perlindungan yang kami berikan kepada REI”.

Meski mendapatkan perlindungan, tapi Ali Sadikin juga berpesan, agar pengurus REI harus mampu membimbing anggotanya menjadi perusahaan yang bonafid. Ditegaskannya, “Jangan menjadi anggota REI karena ingin mendapatkan fasilitas, dan jangan pula menjadi anggota REI untuk menjadi calo tanah atau manipulator tanah”.

Apa yang dikemukakan Ali Sadikin cukup beralasan. Hal ini disadari Ketua Umum REI Ir. Ciputra. Ketika memberi sambutan pada tempat yang sama, Ciputra, menjelaskan, karena bidang usaha realestat masih terbilang baru, maka kebanyakan perusahaan realestat belum mempunyak cukup pengalaman tentang liku-liku bidang usaha ini. Kondisi REI pun masih jauh dari gambaran manis. Bahkan, Ciputra mengenang, “Untuk ruangan kantor pun kami menumpang di kantor orang lain”.

Untunglah, semua kekurangan dan keterbatasan berhasil disarikan menjadi letupan-letupan tantangan yang menggairahkan. Sebagai organisasi yang akan menghimpun perusahaan realestat di seluruh tanah air, ucap Ciputra, “REI bercita-cita untuk dapat turut memajukan usaha para anggotanya, serta memberikan sumbangan nyata kepada pemerintah di bidang pembangunan”.

Ucapan Ciputra (dan juga Ali Sadikin) yang disampaikan pada Munas REI I ini memang dijui dalam perjalanan sejarah REI. Selama seperempat abad, dari 1972 sampai 1997, sejak pertama kali dipimpin Ir. Ciputra, kemudian secara berurutan diteruskan dalam estafe kepemimpinan oleh Eric F.H. Samola, SH., Soekardjo Hardjosoewirjo, SH., Ir. Siswono Yudohusodo, Drs. Ferry Sonneville, Moh. S. Hidayat, Drs. Enggartiasto Lukita dan kini dinakhodai Ir. A. Edwin Kawilarang, REI seperti pohon rindang yang akarnya kian menghunjam bumi.

Tampil sebagi asosiasi yang kuat dan solid, lengkap dengan segala prestasi dan kekurangannya, apa yang telah dan akan dilakukan REI merupakan ‘mata rantai proses perwujudan cita-cita’ yang jauh ke depan. Menuju muara, yang entah sampai kapan. Namun, satu hal yang jelas, ucap Ketua Umum DPP REI 1995-1998 Ir. A. Edwin Kawilarang, “REI akan berjalan terus senafas dengan perkembangan zaman untuk mengisi pembangunan Indonesia, terutama di bidang perumahan yang menjadi cermin kesejahteraan bangsa Indonesia”.

Ucapan Edwin saat rehat pada acara presentasi Home Mortgage Financing and Asset Securitisation di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, 25 Februari 1997 - yang dihadiri Menteri Negara Perumahan Rakyat Ir. Akbar Tandjung - ini kian memberi kejelasan, bahwa perjalanan REI belum berhenti pada seperempat abad pertama. Tapi, akan terus dilanjutkan dari seperempat abad ke seperempat abad berikutnya. Hal ini merupakan tantangan bagi REI yang telah menjadi 'potensi dan asset bangsa' untuk membuktikan integritas dan jatidirinya secara profesional.