TOPIK UTAMA

Perpanjangan insentif PPN DTP tidak efektif?

Administrator | Senin, 11 April 2022 - 09:41:40 WIB | dibaca: 212 pembaca

Foto: Istimewa

Aturan perpanjangan Insentif Pajak Pertambahan Nilai Di Tanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk sektor properti di tahun 2022 akhirnya terbit. Diskon pajak ini berl aku hingga september 2022. Tapi efektifitas stimulus pajak ini justru diragukan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6/PMK.010/2022 yang mengatur tentang pemberian insentif pajak PPN DTP untuk sektor perumahan. PMK ini menjadi acuan pemberlakuan PPN DTP pada tahun ini.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Febrio Kacaribu mengatakan perpanjangan periode insentif PPN DTP untuk rumah diberlakukan hingga September 2022. Kemudian masyarakat dapat memperoleh insentif tersebut apabila membeli rumah atau unit hunian rumah susun (rusun) baru yang diserahterimakan antara tanggal 1 Januari sampai dengan 30 September 2022.

“PPN DTP hanya dapat dimanfaatkan untuk setiap satu orang pribadi atas perolehan satu rumah tapak atau 1 satu unit hunian rusun,” jelasnya dalam keterangan tertulis, Selasa (8/2/2022).

Febrio berharap akan semakin banyak masyarakat yang memanfaatkan insentif tersebut untuk membantu pemulihan ekonomi yang lebih kuat pada tahun ini.

Kebijakan insentif PPN DTP tahun 2022 hanya diberikan sebesar 50% dari insentif serupa yang berlaku pada tahun lalu. Pemerintah memberikan diskon pajak 50% untuk penjualan rumah dengan harga maksimal Rp2 miliar, serta diskon 25% untuk penjualan rumah dengan harga dari Rp2 miliar sampai Rp5 miliar. 

Selain itu diatur bahwa untuk dapat memanfaatkan PPN DTP, Pengusaha Kena Pajak terlebih dahulu harus melakukan pendaftaran melalui aplikasi di kementerian di bidang perumahan dan kawasan permukiman dan/atau Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) paling lambat 31 Maret 2022.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengatakan insentif akan dikombinasi dengan kebijakan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lain seperti pelonggaran uang muka kredit rumah (down payment/DP).

Dia meyakini insentif mampu mendorong pemulihan ekonomi karena sudah terbukti dari realisasi pada tahun lalu. Realisasi di sektor perumahan misalnya tercatat mencapai Rp465,55 triliun.

Di 2021, insentif PPN DTP diikuti oleh pelonggaran rasio Loan To Value (LTV) untuk kredit properti dan rasio Financing to Value (FTV) untuk pembiayaan properti, serta keringanan uang muka untuk kredit properti. 

Kurang Efektif
Asosiasi pengembang menyambut baik diskon pajak pembelian rumah tersebut, namun meragukan efektifitas insentif tersebut. Hasil yang ditargetkan pemerintah dari insentif ini diprediksi kurang optimal jika pemerintah tidak membenahi banyaknya hambatan di lapangan.

Wakil Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) Ignesjz Kemalawarta menilai pemerintah harus membenahi beberapa kendala dalam program PPN DTP. Dia merujuk data di 2021, dimana serah terima rumah yang menerima insentif PPN DTP hanya 5.000 unit, padahal potensinya ada 25.000 unit. Hal itu, tegasnya, menandakan ada kendala serius di lapangan yang harus cepat diselesaikan demi efektifitas insentif tersebut.

“Kendala utama adalah keputusan pemerintah yang mengubah Izin Mendirikan Bangunan (IMB) menjadi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang menyisakan masalah di lapangan. Ini butuh intervensi dari pemerintah,” kata Ignesjz dalam acara “Zooming With Primus dengan topik Properti Siap Take Off”, Kamis (20/1/2022).

Dijelaskan, sejak pergantian IMB ke PBG diluncurkan pada kuartal akhir 2021, di lapangan hampir semua pemerintah daerah (pemda) tidak berani menerbitkan PBG. Hal ini karena diperlukan adanya peraturan daerah (perda) dari setiap pemerintah kabupaten/kota. 

“Untuk itu, kami dari REI mengusulkan agar setiap pemda dapat mengeluarkan PBG sementara dulu sambil menunggu perda-nya selesai dikerjakan. Sehingga pengembang yang sudah memenuhi syarat, bisa melakukan registrasi SiKumbang. Setelah nanti perda di daerah bersangkutan terbit, maka tinggal dikeluarkan PBG yang sebenarnya,” ujar dia.

Ignesjz berharap pada akhir periode insentif nanti jumlah pencatatan di SiKumbang sudah sesuai dengan data di lapangan. Tidak seperti yang sudah terjadi, dimana potensi pengajuan dan realisasi jauh sekali jumlahnya. Efektifitas insentif ini penting, kata dia, karena memastikan keberhasilan program pemulihan ekonomi nasional akibat dampak pandemi.

Masih terkait PBG, Ignesjz pun berharap agar pengembang yang sudah memiliki IMB sejak lima tahun lalu tidak perlu memperbaharui PBG lagi yang makin membuat pembangunan tertunda. REI juga mendorong supaya PPN DTP dapat diberikan kepada rumah indent (sedang dibangun).

REI juga menyoroti soal batas waktu pelaporan BAST di 2021 yang terlalu singkat. Pengembang setidaknya butuh waktu empat hingga lima bulan untuk menyampaikan BAST.

“Akibatnya pembangunan rumah yang dilakukan di atas bulan September 2021 tidak dapat memanfaatkan fasilitas PPN DTP,” papar dia.

Oleh karena itu, Ignesjz mengharapkan adanya fleksibilitas kebijakan agar penyerapan stimulus ini bisa maksimal.

Bukan Sekadar Insentif
Ketua Umum DPP REI Paulus Totok Lusida juga meragukan efektifitas insentif PPN DTP. Menurutnya, pemulihan sektor properti bukan hanya soal insentif semata. Dibutuhkan dukungan pemerintah untuk mengatasi hambatan lain terutama perizinan di daerah.

“Karena industri properti tidak hanya soal insentif, dan tidak hanya berkaitan dengan satu institusi saja,” ujar Totok.

Perizinan yang terkendala seperti PBG dan penerapan sistem Online Single Submission (OSS) yang masih amburadul di hampir semua daerah menjadi pekerjaan rumah yang patut dituntaskan untuk menjadi efektifitas insentif PPN DTP. Tanpa dukungan perizinan mudah, maka pembangunan rumah bagi masyarakat akan terhambat.

Terkait PMK terbaru, Totok mengkritik munculnya ketentuan yang mengharuskan pengembang melakukan pendaftaran dan identifikasi ke kementerian atau BP Tapera paling lama 31 Maret 2022. Sementara masalah PBG sampai saat ini masih belum jelas.

“Apa ada perda yang keluar hanya dalam waktu sebulan? Yang seperti ini seharusnya dipikirkan pemerintah. Jangan tiba-tiba muncul pasal baru yang saat pembahasan dengan asosiasi pengembang termasuk REI tidak ada,” tegas Totok. (Rinaldi/Teti)

Sumber: