RISET

Pengembang di Jabodetak Diprediksi Tetap Gencar Bangun Apartemen

Administrator | Kamis, 13 September 2018 - 13:59:09 WIB | dibaca: 921 pembaca

Foto: Istimewa

Konsultan riset Savills Indonesia memprediksi di 2018 lebih banyak pengembang di Jabodetabek akan memilih membangun hunian vertikal (apartemen). Alasannya tidak lain karena stok lahan (land bank) termasuk yang dimiliki pengembang di kawasan ini makin berkurang.

Anton Sitorus, Direktur dan Kepala Riset Savills mengatakan dengan harga lahan yang membumbung tinggi pengembang akan berpikir dua kali bahkan lebih untuk membangun rumah tapak (landed houses).

“Peminat rumah tapak juga akan mulai turun mengikuti tren ketersediaan rumah yang mulai dalam bentuk vertikal. Sementara itu, pengembang masih butuh keterlibatan pemerintah untuk membangun infrastruktur karena harga tanah yang terlalu mahal,” ungkap Anton kepada Majalah RealEstat, baru-baru ini.

Kebutuhan rumah, baik tapak maupun vertikal pada 2018 masih sangat banyak. Selain karena kurangnya pasokan atau backlog, juga dipicu kebutuhan tahunan dan banyaknya keluarga baru.

“Tren 2018 masih akan sama dengan 2017, belum bakal ada yang fantastis apalagi Pemilu akan semakin dekat,” sebut dia.

Lebih jauh, Anton mengungkapkan volume penjualan untuk landed houses akan turun karena harga yang lebih tinggi di dekat kota atau lokasinya sudah jauh ke pinggiran kota. Sedangkan sektor yang masih cukup baik akan didominasi oleh kelas menengah hingga menengah atas (mid-high).

Sementara itu, meski ke depan tren peminat apartemen meningkat, namun sepanjang 2017 pasar penjualan apartemen di Jakarta masih lesu. Tak ayal, tingkat penjualan unit apartemen pun menurun ketimbang tahun sebelumnya.

Data Savills Indonesia menyebutkan penjualan apartemen sepanjang 2017 hanya mencapai 6.000 unit. Artinya, turun sekitar 40% ketimbang penjualan tahun 2016 yang mencapai lebih dari 10.000 unit. Namun, data tersebut tidak memasukkan rumah susun yang dibangun pemerintah atau hunian baru berbasis Transit Oriented Development (TOD).

Menurut Anton, dengan kondisi harga apartemen di Jakarta yang semain mahal, tren saat ini banyak pembeli mengalihkan pembelian ke apartemen yang berada di daerah peyangga seperti Bekasi, Serpong dan Bogor.

Sepanjang 2017, pasokan hunian vertikal di Jakarta juga cukup gencar. Disebutkan pasokan apartemen anyar yang dirilis di Ibukota pada 2017 mencapai 12.900 unit atau meningkat 60% dibandingkan pasokan di 2016. Kondisi itu turut menekan harga sewa apartemen di Jakarta, sehingga investor menahan diri untuk membeli unit baru.

Anton menjelaskan, permintaan unit apartemen yang besar terjadi di Jakarta Barat karena masyarakatnya sudah familiar tinggal di apartemen. Sedangkan penyerapan paling rendah di Jakarta Timur.

Pengembang senior, Lukman Purnomosidi juga meyakini di 2018, sektor hunian terutama apartemen masih bakal menjadi andalan pelaku usaha properti untuk mendulang rezeki. Menurut dia, asalkan lokasinya baik dan konsepnya unik disukai pasar, pasar apartemen paling punya peluang di 2018. Bahkan di Jakarta, dia memprediksi pasar apartemen akan lebih marak dengan adanya Program DP Nol Persen yang akan diluncurkan Anies-Sandi.

“Menyikapi situasi 2018 maka bagi pengembang yang sudah running, dimana sudah siap konsep dan pendanaannya, di 2018 berpeluang paling besar untuk mencapai penjualan yang lebih baik, dibandingkan yang belum membangun,” ungkap Presiden Direktur Eureka Group yang juga Ketua Kehormatan DPP Realestat Indonesia (REI) itu.

Eureka Group misalnya, tahun depan memilih tetap melanjutkan proyek-proyek eksisting seperti Kemang Penthouse, Bogorienze Resort Condotel di Bogor dan Apartemen University Resort di Bogor yang merupakan kerjasama dengan IPB.

Paling Cocok
Country Manager Rumah123 Ignatius Untung sependapat kalau hunian vertikal paling cocok untuk generasi milenial. Alasannya, apartemen bisa di-downgrade dari segi ukuran, sehingga harganya tidak mahal. Saat ini kenaikan harga properti lebih cepat dibanding penghasilan masyarakat. Dia menyebut, kisaran harga termurah apartemen di Jakarta Rp 140 jutaan untuk tipe studio.

“Kalau apartemen, ukuran bisa disesuaikan. Misalnya dulu tipe dua bedroom rata-rata 42 meter persegi (m2), maka sekarang cuma 30 m2-53 m2 saja. Begitu juga ukuran studio dulu minimal 20 m2, sekarang ada yang 18 m2, bahkan 11 m2,” kata Untung.

Yang paling penting, Untung menjelaskan, mereka yang akan membeli apartemen harus mengerti dan paham mengenai aturam hukum dan kebiasaan tinggal di apartemen. Misalnya terkait status strata-title atau HGB, kemudian IPL atau biaya pengelolaan bangunan dan peraturan lain dari Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS).

Generasi milenial diprediksi akan menjadi kelompok terbesar pembeli properti di Indonesia hingga 10 tahun ke depan. Generasi dengan rentang usia 23 tahun-37 tahun tersebut merupakan 70% dari usia produktif di negeri ini. Sayangnya, hingga kini generasi milenial dianggap masih belum memprioritaskan pembelian properti dalam belanja mereka.

Milenial menganggap penghasilannya belum mencukupi untuk membeli properti dan memilih menggunakan uang untuk travelling. Setidaknya demikian hasil riset Rumah123.

Rata-rata generasi milenial justru memprioritaskan belanja mereka untuk membeli gawai dan komputer (25,99%) atau berpelesir (22,60%). Gaya hidup berupa gawai dan berpelesir masih menjadi distraksi utama pembelian properti generasi milenial, ungkap Untung. TPW