GAGASAN

Mungkinkah PSR Jadi Program Strategis Nasional?

Administrator | Rabu, 19 Juli 2017 - 13:59:13 WIB | dibaca: 989 pembaca

Oleh: MUHAMMAD JONI, SH, MH, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI) dan Managing Partner Law Office Joni & Tanamas

Kalau anda pernah mendengar adagium Nachtwatcherstaat/Negara Penjaga Malam (NPM),jangan tergopoh menilainya sebagai kekolotan. Jangan-jangan NPM masih tersisa sampai sekarang. NPM itu menyindir kelakuan negara yang mementingkan “keamanan” semata, yang hanya mementingkan pencapaian produksi kuantitatif daripada kesejahteraan sosial.

Terkait dengan Program Sejuta Rumah (PSR), kekhawatiran muncul kalau Pemerintah hanya mengedepankan kuantitatif dari jumlah rumah yang dibangun. Bagi saya, PSR bukan sekadar pabrikasi rumah sebagai barang konsumsi. Namun rumah bertemali dengan isu kesejahteraan lahir dan batin, terutama Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dan UU No.1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP).

Masih teringat lagi, pada 2016 diberitakan jika Program Sejuta Rumah telah menyediakan total realisasi mencapai angka 805.169 unit. Rinciannya rumah MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) 569.382 unit, dan rumah non MBR terbangun sebanyak 235.787 unit rumah. Ini agak rancu, mengingat berdasarkan Pasal 54 ayat (1) UU No.1/2011, kewajiban Pemerintah adalah menyediakan rumah untuk kelompok sasaran PSR yakni MBR. Bukan yang non MBR dan warga miskin.

Memasukkan non MBR dalam capaian PSR tentu salah “kamar” dan bisa jadi hanya strategi Pemerintah untuk mendorong gairah partisipasi pelaku pembangunan dalam program nasional tersebut. Kalau benar demikian, maka semestinya relaksasi aturan hunian berimbang juga diterapkan sebagai strategi untuk mendorong PSR. Pertama sekali, Pemerintah memang harus dipaksa menjawab apa defenisi MBR dan dimana posisinya? Apakah MBR alias low income group itu ditilik dari sisi pendapatan atau pembelanjaan? UU No.1/2011 menyebutkan MBR sebagai “keterbatasan daya beli”. Gagasan The HUD Institute menginisiasi “MBR Poll”, termasuk redefenisi MBR, kiranya patut didukung agar PSR semakin tepat sasaran.

Hal lain, kita perlu bertanya apakah pencapaian PSR tahun 2016 untuk MBR sudah tepat sasaran? Bukankah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) hanya diperbolehkan menjangkau MBR formal? Saya kira, FLPP lebih bijak kalau didorong untuk dapat menjangkau pembiayaan mikro perumahan MBR non formal dan pendapatan tidak tetap (non fixed income). Jumlah dan jenis lembaga keuangan penyalur KPR terutama non bank financial institution (NBFI) yang khusus melayani MBR tampaknya memang perlu diperluas.

Soal lain, mari telaah data pembangunan rumah dari Kementerian/Lembaga sebanyak 16.923 unit, Pemda 120.180 unit, pengembang perumahan sebanyak 298.333 unit rumah bersubsidi yang terdiri dari skim subsidi KPR FLPP (120.059 unit), KPR Syariah (7.311 unit), Subsidi Selisih Bunga (SSB) sebanyak 65.902 unit dan kredit konstruksi 105.061 unit.

Dari data itu, terlihat ada gap antara jumlah penerima FLPP dengan SSB. Artinya, FLPP dan SSB tidak satu paket bagi MBR. Paket kebijakan pembiayaan “pola 5-4-1” bukan terintegrasi pada tiap MBR tetapi terpisah dengan SSB. Ada yang terima FLPP (rate 5%), tapi tidak menerima SSB dan Bantuan Uang Muka (BUM), begitu pula sebaliknya. Lagi, Pemerintah mesti pastikan pembiayaan “pola 5-4-1” dinikmati setiap MBR, bukan parsial.

Pertanyaan lain yang diajukan terkait indikator kepenghunian, apakah rumah tersebut sudah selesai dibangun? Atau hanya realisasi skim pembiayaan? Kalaupun sudah dibangun, apakah sudah pasti ditempati MBR? Sudahkah tersedia anasir utama seperti listrik dan air bersih, yang termasuk indikator PSU (prasarana, sarana dan utilitas) versi Pasal 54 ayat (3) UU No.1/2011. Patut disayangkan, mengapa angka PSU menurun setakat PSR jadi proyek strategis nasional?

Rumah sebagai kebutuhan dasar mensyaratkan indikator lingkungan yang sehat dan aman dengan tersedianya PSU untuk menyelenggarakan kehidupan penduduk dalam keluarga. Jika merujuk Permenpera No. 22/2008, ada 6 indikator PSU: jalan, sanitasi, drainase dan pengendalian banjir, persampahan, air minum, listrik. Idemditto SDGs yang mencakup air bersih dan sanitasi (clean water and sanitation) dan kota berkelanjutan (suistainable cities). UU No.1/2011 juga menyebutkan perumahan itu dilengkapi PSU agar rumah layak huni.

Pertanyaan apakah rumah yang dibangun sudah dihuni sungguh relevan, sebab kebutuhan rumah bagi MBR (maupun non MBR) bukan sebagai pabrikasi bangunan rumah, namun rumah yang terjangkau dan layak huni dengan lingkungan sehat dan aman berikut tersedianya PSU.

Jika merujuk indikator pelayanan dasar dalam standar pelayanan minimum (SPM), rumah terjangkau dan layak huni dengan lingkungan sehat dan aman dengan nilai indikator 100%. Tersebab itu, mengatasi soal sambungan listrik dan air bersih, Presiden mesti perintahkan Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Perusahaan Air Minum Daerah (PDAM) dalam optimalisasi PSR. Oleh karena itu, perlu didorong agar PSR dijadikan Program Strategis Nasional (PSN) bukan hanya proyek strategis nasional (Perpres No.3/2016).

Penulis membayangkan PSR sebagai program strategis nasional yang meluas, seperti dulu gerakan nasional keluarga berencana (KB) yang melibatkat potensi semua komponen bangsa. Semoga saja!