Kilas Berita

ARSITEKTUR

Melestarikan Desain Rumah Khas Tradisional Indonesia

Administrator | Rabu, 22 Juli 2020 - 09:45:50 WIB | dibaca: 593 pembaca

Foto: Istimewa

Program Sejuta Rumah (Psr) yang digalakkan pemerintah mendapat sambutan luas dari pengembang di seluruh Indonesia. Jutaan unit rumah sudah dibangun di hampir semua daerah dalam lima tahun terakhir, baik rumah komersial maupun subsidi.

Tetapi sayangnya, jutaan unit rumah rakyat itu dibangun dengan desain yang hampir-hampir sama. Selain supaya lebih simple, alasan lain adalah untuk menekan biaya produksi mengingat di segmen rumah subsidi harga sudah dipatok oleh pemerintah.

Keprihatinan itu disampaikan Ketua DPD Realestat Indonesia (REI) Kalimantan Selatan, Royzani Sjahcril kepada Majalah RealEstat, di Banjarmasin, baru-baru ini.

Padahal, menurut dia, setiap daerah memiliki arsitektur khas etnik yang layak dieksplorasi dan diangkat menjadi desain rumah termasuk untuk rumah subsidi.

“Setiap ada acara teman-teman REI di daerah saya lihat kok rumah subsidi yang dibangun desain dan bentuknya hampir serupa. Temanya rata-rata minimalis modern. Kenapa kok gaya desain etnik daerahnya hilang, padahal ciri khas tiap daerah kan beda-beda,” ungkap Royzani yang merupakan sarjana arsitektur dari Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang, Jawa Timur, itu.

Dia mengharapkan sebagai bangsa yang multietnik semua daerah patut mempertahankan ciri khas bangunan khususnya rumah yang dibangun. Royzani mengajak pengembang anggota REI di seluruh Indonesia untuk ikut melestarikan desain rumah daerah dengan mengusung konsepnya di perumahan yang dibangun baik perumahan komersial maupun rumah bersubsidi.

“Rumah subsidi ini kan rumah rakyat. Jadi supaya rakyat ingat dengan tradisinya kenapa tidak dipertahankan. Mungkin tidak bisa semua tema etnik diterapkan, tetapi setidaknya ada bagian penting yang tetap menonjolkan kesan khas daerah. Misalnya ciri khas atap, bahan atapnya atau sistem rumah panggung,” ujar dia.

Royzani bukan sekadar berwacana dengan desain khas daerah untuk perumahan yang dia bangun. Sejak dua tahun terakhir dia sudah mempraktikkan langsung pengembangan rumah dengan tema etnik yakni di Perumahan Grand Batuah Mahatama, Kota Banjarmasin.

Diakui memang tidak semua ciri khas bangunan Banjar dapat diterapkan terlebih untuk rumah subsidi yang plafon harga jualnya sudah ditentukan pemerintah. Tapi setidaknya dia mampu mengusung tiga ciri penting dari rumah bergaya Banjar yakni ornamen atap, bahan atap sirap dari kulit ulin, dan sistem rumah panggung.

Desain rumah tradisional Banjar, menurut Royzani, memiliki banyak unsur fungsional termasuk untuk kenyamanan penghuni.

Contohnya Sindang Langit yang memiliki ciri khas atap tinggi (lancip) atau konsep rumah panggung supaya sirkulasi udara lebih baik dan hawa di dalam rumah menjadi tidak panas sehingga sesuai dengan kondisi kawasan rawa di sebagian besar wilayah Kalimantan.

“Jadi untuk ornamen atap di sini kami angkat desain Gajah Menyusu dan Sindang Langit. Saya sendiri yang cari referensinya, dan (tema) itu memang ada dalam sejarah. Setelah dihitung masuk saya putuskan untuk diterapkan,” kata Royzani saat mendampingi Majalah RealEstat meninjau Perumahan Grand Batuah Mahatama.

Dijelaskan, tema Gajah Menyusu dahulu banyak dipakai di rumahrumah milik petinggi atau pejabat negeri di Banjar. Sementara Sindang Langit merupakan tema atap rumah umum masyarakat Banjar.

Sebagai pembeda segmen, diputuskan rumah komersial (nonsubsidi) yang dibangun di Grand Batuah Mahatama mengusung tema ornamen Gajah Menyusu, sedangkan rumah subsidi memakai tema Sindang Langit.

“Rumah komersial tipe 36 disini kami jual seharga Rp 250 juta per unit. Sedangkan rumah subsidi dijual sesuai ketentuan pemerintah sekitar Rp 150 juta per unit,” papar Royzani yang baru saja dipercaya menjabat Wakil Sekjen DPP REI bidang Perbankan Syariah.

Panggilan Jiwa
Sebagai seorang arsitek, Royzani memang merasa terpanggil untuk merawat ciri tradisional di dalam bangunan yang dibangunnya. Saat kuliah dia mengaku selalu ditekankan oleh dosen-dosen untuk menjaga budaya khas Indonesia supaya jangan sampai hilang.

“Sebagai arsitek itu ada beban tersendiri, karena kalau rumah yang dibangun jelek atau biasa-biasa saja tanpa konsep jelas agak kurang sreg,” ungkap dia.

Royzani terus terang bahwa keputusan untuk ikut melestarikan budaya khas Banjar merupakan panggilan jiwa sebagai bentuk menghormati kearifan lokal. Terkait kalkulasi biaya yang diperkirakan lebih mahal dibangun desain rumah biasa, menurut dia hal itu sangat relatif.

“Soal cost enggak (mahal) juga. Kembali lagi kepada pengembangnya mau ambil marjin seberapa besar dulu? Kalau kami asalkan itu masuk RAB-nya, ya kami buat,” ungkap Royzani yang berkomitmen untuk terus melestarikan kekhasan daerah di setiap perumahan yang dia bangun.

Apartemen Berkonsep Batik
Kesadaran untuk menjaga warisan daerah juga merambah hingga ke proyek residensial vertikal seperti Synthesis Residence Kemang yang mengusung hunian bertemakan budaya Jawa dengan sentuhan Batik Kawung dan pendopo berbentuk Rumah Joglo.

Managing Director Synthesis Residence Kemang, Julius Warouw mengatakan sentuhan desain budaya lokal sekarang ini jarang sekali ditemui. Banyak pengembang seakan kurang perhatian dengan isu melestarikan budaya khas Indonesia dalam konsep hunian yang dibangun.

“Kami ingin menjaga warisan batik daerah antara lain dengan menonjolkan motif Batik Kawung di sisi interior dan eksterior apartemen. Nuansa Jawa juga dirasakan ketika berada di lobi yang serasa berada di rumah Joglo,” kata Julius.

Melengkapi nuansa etnik, nanti di depan lobi rumah Joglo terdapat patung Bancak Doyok yang merupakan karya seniman pematung Wahyu Santosa.“Sejalan dengan pertumbuhan hunian, konsumen saat ini sangat merindukan suasana kultural yang hadir di sekeliling mereka,” papar dia. Julius menjelaskan, proyek apartemen strata-title ini dibangun di atas lahan seluas dua hektar dengan total hunian 1.188 unit.

Apartemen dengan tiga tower ini dinamakan sesuai tokoh pewayangan yakni Arjuna, Nakula, dan Sadewa. (Rinaldi)