Sajian Utama

Melanjutkan Keberhasilan

Administrator | Jumat, 26 Mei 2017 - 09:42:59 WIB | dibaca: 931 pembaca

Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP REI Periode 2013-2016, Hari Raharta Sudrajat resmi mendaftarkan diri sebagai kandidat Ketua Umum DPP REI periode 2016-2019. Buah jatuh tak pernah jauh dari pohonnya, peribahasa ini cocok disematkan pada sosok Hari Raharta Sudrajat.

Hari Raharta Sudrajat terbilang bukan pemain baru dalam bisnis properti nasional, bahwa darah itu telah mengalir dari sang ayah Ma’soem Sudrajat yang juga pengembang besar di Bandung, Jawa Barat kepada dirinya.

Dengan pengalaman yang mumpuni di bidang industri properti tidak serta merta membuat Hari Raharta Sudrajat berbesar diri. Sikap mengayomi menjadikannya dipercaya untuk mengemban tugas sebagai Ketua DPD REI Jawa Barat selama 2 periode, Wakil Ketua Umum DPP REI dan terakhir sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP REI. Di organisasi persatuan perusahaan realestat ini, Hari Raharta Sudrajat dituntut untuk mampu memecahkan masalah dan memberikan solusi atas persoalan yang dialami industri properti.

Selain dipercaya sebagai Sekjen, keseharian Hari Raharta adalah Direktur Utama PT Margahayu Land. Di perusahaan properti papan atas tersebut Hari Raharta Sudarajat juga punya tanggung jawab menjaga kinerja perusahaan di tengah perekonomian dunia yang belum stabil. Berikut petikan wawancara dengan majalah REI di Jakarta, medio akhir Agustus 2016.

Bagaimana komitmen Anda dalam melaksanakan sekaligus mengawal program sejuta rumah?
Saya berkomitmen fokus membangun rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Saya siap terus mendukung Program Sejuta Rumah yang dicanangkan April 2015 kelak jika terpilih sebagai ketua umum. Saya akan terus menjalin komunikasi dengan para pemangku kepentingan, khususnya pemerintah agar membuat regulasi yang lebih sederhana guna memberi manfaat yang lebih luas kepada masyarakat. Interaksi dan komunikasi antara pengembang properti dan pemerintah akan mengurai hambatan yang dihadapi untuk menyukseskan Program Sejuta Rumah. Salah satu kendala terkait program ini adalah kurangnya sosialisasi kepada masyarakat sehingga tidak banyak yang mengetahui program ini.

Selain itu, dukungan dari Pemerintah Daerah(Pemda) kurang maksimal sehingga hasilnya tampak tak seragam di semua daerah. Setelah pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) XIII tentang Penyederhanaan Perizinan, seharusnya pemerintah daerah (pemda) segera melakukan penyesuaian. Dengan demikian upaya mendorong penyediaan perumahan yang layak huni bagi masyarakat melalui program ini bisa berjalan.

Apakah perizinan masih menjadi masalah krusial?
Saya menyambut positif PKE XIII yang intinya menyederhanakan perizinan pembangunan perumahan untuk MBR atau pembangunan perumahan bersubsidi. Penyederhanaan perizinan dapat menjawab kendala pengembangan perumahan khususnya yang menyangkut masalah tumpang tindih perizinan serta birokrasi perizinan yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi.

Bagaimana dengan AMDAL?

Saya sampaikan, bahwa dalam pembahasan RPP Penyederhanaan Perizinan, DPP REI saat itu mengusulkan sejumlah poin yang intinya menghapus perizinan untuk pembangunan perumahan misalnya tidak diwajibkan menyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) jika setiap daerah sudah memiliki Rencana Ditel Tata Ruang (RDTR). Kemudian, harus ada reward dan punishment jika proses melewati batas waktu, pemecahan sertifikat tidak perlu lagi dilakukan pengukuran. Selain itu, untuk proses balik nama tidak perlu pengecekan zoning. Demikian pula saat AJB tidak perlu pengecekan sertifikat kembali dan pemecahan IMB Induk ke IMB Individu tidak perlu legalisir Pemda, cukup dari pengembang saja.

Bagaimana realisasinya di daerah?

Saat ini ada ketidakseragaman batasan waktu untuk mengurus tahapan perizinan di setiap wilayah. Tidak hanya itu, besaran tarif untuk setiap tahap perizinan pembangunan perumahan juga berlainan pada masing-masing wilayah. Selama ini kemudahan proses perizinan sangat tergantung pada komitmen birokrat di daerah masing-masing. Kemudahan perizinan biasanya hanya ada di wilayah yang kepala daerahnya memiliki visi serta punya kepedulian terhadap program penyediaan hunian bagi rakyat. Dukungan REI agar payung hukum itu segera diterbitkan sehingga diharapkan dapat memberikan kepastian waktu serta prosedur tahapan perizinan pembangunan perumahan dengan skema KPR-FLPP. Diharapkan ketentuan tersebut dapat menciptakan standarisasi tahapan prosedur perizinan pembangunan yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia.

Pandangan Anda tentang status hak pakai bagi orang asing?

Langkah pemerintah merevisi aturan kepemilikan properti bagi orang asing merupakan langkah positif. Namun, revisi aturan tersebut belum mempengaruhi minat orang asing untuk membeli properti di Indonesia, karena ada beberapa hal yang masih belum jelas bagi investor asing. Salah satunya tentang Hak Pakai. Seperti diketahui, pemerintah baru saja menerbitkan PP 103 Tahun 2015 tentang Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia yang menggantikan (PP) No 41 Tahun 1996. Tujuan pemerintah merevisi aturan kepemilikan properti orang asing tersebut untuk mengatasi perlambatan penjualan properti nasional dengan membuka ruang kepada orang asing untuk membeli properti di Indonesia.

Dalam PP ini, disebutkan orang asing boleh membeli properti di Indonesia dengan status Hak Pakai dengan jangka waktu hingga 80 tahun. Orang asing juga bisa mewariskan properti yang dimiliki kepada anggota keluarga. Dari sisi lama kepemilikan, berdasarkan PP 103, waktunya sama dengan HGB. Artinya tidak ada perbedaan signifikan antara HGB dengan Hak Pakai. Tinggal pemerintah membuat aturan, agar Hak Pakai dipersepsikan sama dengan HGB sehingga pembeli properti lokal dan asing tidak bingung.

Skema Perpajakan KIK-DIRE apakah menurut Anda sudah ideal?

Kontrak Investasi Kolektif-Dana Investasi Real Estate (KIK-DIRE) akan banyak dimanfaatkan pengembang sebagai alternatif sumber pembiayaan jika tarif pajak kompetitif dibandingkan negara-negara tetangga. Hingga saat ini yang masih menjadi perhatian utama pengembang terkait pajak KIK-DIRE adalah tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang merupakan kewenangan pemda. Tarif BPHTB yang diterapkan Pemda di seluruh Indonesia saat ini sebesar 5 persen. Untuk KIK-DIRE, diharapkan pemda bisa ditetapkan maksimal satu persen agar instrumen ini menarik bagi pengembang karena cost of fund tidak terlalu mahal. Penyesuaian tarif BPHTB maksimal satu persen tersebut hanya untuk KIK DIRE, bukan untuk transaksi jual beli tanah dan bangunan yang berlaku umum. Artinya Pemda tidak akan kehilangan pendapatan atas transaksi jual beli tanah dan bangunan, tetapi sebaliknya mendapatkan manfaat dari pemasukan baru dari BPHTB KIK-DIRE dan multiplier effect lainnya jika dana yang terhimpun dari penerbitan KIK-DIRE di investasikan untuk pembangunan properti baru di daerah tersebut.

Kenapa pengembang enggan menerbitkan KIK DIRE?
Sejak pertama kali aturan KIK-DIRE terbit pada 2007 sampai sekarang, hanya ada satu produk KIK-DIRE yang diterbitkan dan dicatatkan di Bursa Efek Indonesia, yaitu DIRE Ciptadana Properti Ritel Indonesia. Salah satu alasan utama pengembang enggan menerbitkan KIK-DIRE karena tarif pajak yang tidak kompetitif, sangat tinggi dibandingkan tarif pajak penerbitan REITs (Real Estate Investment Trusts/produk sejenis DIRE) di Singapura dan Malaysia. Untuk saat ini, tarif pajak sejenis BPHTB atau stamp duty di Singapura ditetapkan sebesar tiga persen, setelah setelah 10 tahun pertama di bebaskan. Sementara di Malaysia, penerbitan REITs dibebaskan dari pungutan stamp duty. Setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 200/PMK.03/2015 tentang Perlakuan Perpajakan Bagi Wajib Pajak dan Pengusaha Kena Pajak yang Menggunakan Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu dalam Rangka Pendalaman Sektor Keuangan, masih belum ada pengembang yang tertarik menerbitkan KIKDIRE karena pajak masih tinggi.