GAGASAN

Literasi Properti Terkait Booking Fee

Administrator | Rabu, 30 Mei 2018 - 13:38:34 WIB | dibaca: 4087 pembaca

Oleh: Muhammad Joni SH, MH, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Sekretaris The HUD Institute, dan Managing Partner Law Office Joni & Tanamas


"New Tower Opening, Get Your NUP”, begitu bujukan iklan developer tenar di sudut halaman depan koran utama, Sabtu (14/10) lalu. Sebuah ajakan yang jelas-jelas cukup menggoda, terlebih buat Anda yang ingin datang ke pameran perumahan atau justru sudah punya niat untuk membeli properti di sana.

Eits, tapi saran saya cobalah untuk membaca dulu esai ini dan mengerti kosa kata bisnis properti yang diulas di sini. Penting! Karena ini terkait status uang transaksi yang hendak Anda bayarkan.

Lazim dalam ajang pemasaran properti, agen pemasaran sigap beradrenalin tinggi menawarkan brosur bergambar elok, semenjak Anda memasuki pintu utama. Wajar saja, mereka disiapkan sebagai ujung tombak pemasaran yang terlatih lancar menuturkan keungguan properti yang disaji. Berikut “janji” ikhwal apa saja, kenyamanan, kemudahan dan fasilitas properti yang ditawari.

Kenali, catat nama dan alamat agen pemasarannya, mintalah nomor kontak langsung sang agen. Catat dan tandailah janji-janji dalam brosur yang Anda terima. Juga ujaran janji dari sang agen properti. Jangan sungkan dan berhenti bertanya jika kurang memahami atau mengganjal di hati.

Jika Anda mulai tertarik, bersiaplah untuk disodorkan opsi booking fee, atau dengan nama lain untuk memastikan calon konsumen serius memesan unit properti. Jurus itu biasa dan memang dibenarkan, karena barang yang dijual masih belum terbangun.

Apa itu booking fee? Secara harfiah, pembayaraan fee dalam sejumlah uang untuk komitmen memesan unit properti tertentu. Kamus Istilah Perumahan terbitan Direktorat Jenderal Pembiayaan Perumahan (2017), menjelaskan bahwa booking fee adalah bukti keseriusan pembeli untuk membeli rumah.

Mirip dengan booking fee, dalam praktik pemasaran properti dikenal Nomor Urut Pemesanan disingkat akronim NUP, yang kiranya sebagai “testing the water” menakar tingkat minat dan uji psikologi pasar. Sekaligus mengikat calon konsumen untuk “make a deal” membeli properti.

Walau NUP hanya nomor pemesanan, produsen (developer) sudah meraup sejumlah uang dan menjadi cash flow. Booking fee maupun NUP itu bagian dari skenario transaksi properti yang memang jamak dalam bisnis properti, namun tetap berasaskan kesepakatan (konsesualisme). Bolehkah demikian?

Kua-normatif, literatur dan aturan real estate transaction engineering menjadi tema penting dalam hukum properti. Dalam UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun), ada disentuh norma bertema real estate transaction engineering. UU Rusun mengatur pemasaran dan jual beli rumah susun dalam Bab V Bagian Ketujuh.

Juga, mengatur Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dan Akta Jual Beli (AJB). Rezim UU Rusun memungkinkan transaksi jual beli satuan rumah susun (sarusun)/unit apartemen dengan PPJB. Namun, bisa juga langsung diikat dengan Akta Jual Beli (AJB).

Mengapa UU Rusun membedakan PPJB dengan AJB? Sebab, rezim UU Rusun memperkenankan pemasaran (marketing) sebelum barang selesai dibangun. Beda PPJB dengan AJB pada kondisi barangnya, apakah barangnya sudah ada (jadi) atau belum.

Walau tidak dikenal eksplisit dalam UU Rusun, namun booking fee ataupun NUP, uang muka atau sejenisnya patut diatur dalam aturan turunan UU Rusun. Sebab, terkait pemasaran dan jual beli, serta transaksi. Yang perlu kesahihan dan kepastian hukum serta perlindungan konsumen.

Perlu diwartakan sebagai literasi properti, bahwa syarat jual beli itu ada dua yakni terang dan tunai. Apakah PPJB sudah tunai dan terang? Tidak. Sebab belum ada bendanya. Barang yang ditawarkan belum konkrit sebagai unit apartemen/sarusun sebagai obyek jual beli. Bisa saja masih dalam bentuk gambar disain dan perspektif.

Pun demikian, sudah bisa ditentukan dan disepakati dengan jelas dan pasti unit apartemen/sarusun sesuai kualifikasi yang diperjanjikan: letaknya dimana, unit berapa menara tower) yang mana, luas dan ukuran pertelaannya, pertelaan, bahkan view dan tingkap/jendela menghadap ke arah mata angin mana. Gambar disain sudah bisa ditampilkan, demikian pula brosur yang disodorkan. Statusnya merupakan janji yang musti dipenuhi. Walau ada kalanya tidak eksplisit dalam borang pemesanan.

Bagaimana dengan AJB? Menurut UU Rumah Susun, AJB hanya bisa dilakukan apabila sudah ada bendanya, yakni unit sarusun. Sebab, ya.. itu tadi, jual beli musti terang (ikhwal bendanya) dan tunai (ikhwal pembayarannya). Tanpa bendanya tak ada jual beli.