TOPIK UTAMA

Kunjungi Indonesia Pengembang Filipina Puji Program Sejuta Rumah

Administrator | Rabu, 02 Oktober 2019 - 10:19:36 WIB | dibaca: 804 pembaca

Program sejuta rumah yang digagas Presiden Joko Widodo sejak tahun 2015 silam kembali mendapat apresiasi dari negara lain. Kali ini, keberhasilan program penyediaan papan di Indonesia dilirik oleh kalangan pengembang rumah subsidi dari Filipina, Organization Of Socialized And Economic Housing Developers atau disingkat OSHDP, yang menggelar studi banding ke Indonesia.

Wakil Ketua Umum DPP Realestat Indone-sia (REI) bidang Pengembangan Kota Mandiri dan Peremajaan Kota, Mary Octo Sihombing mengatakan pengembang dari Filipina sangat tertarik dengan pembangunan hunian untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Indonesia. Terutama dari sisi kebijakan financing dan penyediaan fasilitas prasarana, sarana dan utilitas (PSU) yang bersumber dari APBN.

“Mereka juga tertarik bahwa ada kebijakan pemerintah untuk mengurangi backlog dan bersama-sama dengan swasta seperti REI,” ungkap Octo yang juga Direktur PT Citra Maja Raya, saat menerima kunjungan rombongan OSHDP di Perumahan Citra Maja Raya, Kota Baru Maja, Kamis (27/6/2019).

Chairman of The Board OSHDP, Marcelino C. Mendoza, mengakui pertumbuhan industri perumahan di Indonesia sangat luar biasa terutama di kawasan Greater Jakarta, dengan kepadatan populasi yang hampir sama dengan Metro Manila dan kota-kota penunjangnya.

“Tetapi di sini, pemerintah Indonesia mendukung sepenuhnya pengembangan industri properti. Sedikit berbeda dengan di Filipina dimana kementerian yang spesifik menangani perumahan rakyat baru saja terbentuk sehingga belum banyak kebijakan pendukungnya,” tutur Marcelino kepada Majalah RealEstat.

Dari sisi pembangunan, ungkap Mary Octo, sebenarnya problem yang dihadapi pengembang di Indonesia hampir sama dengan yang dialami sejawatnya pengembang di Filipina. Antara lain untuk rumah tapak (landed house) kendala ada di harga tanah dan biaya konstruksi yang mahal. Begitu pula di flat house (rumah susun/rusun) dimana biaya konstruksinya dianggap lebih mahal.

“Saya katakan tadi bahwa di masa lalu ada kebijakan rusun dikembangkan oleh pemerintah melalui Kementerian PUPR. Bahwa biaya konstruksi flat house (rusun) lebih mahal dibandingkan landed house, saya kira juga tidak. Apalagi saat ini harga jual rusun Rp 260 juta per unit, dan Rp 140 juta untuk landed house seperti yang ada di Maja.

Dari perbedaan harga itu juga terlihat bahwa harga tanah dan lokasi ikut menentukan biaya konstruksi,” kata Mary Octo.

Studi banding OSHDP ini juga difasilitasi PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) atau SMF yang memaparkan corak industri pembiayaan perumahan di Indonesia. Kegiatan yang berlangsung selama dua hari dari 26-27 Juni itu diikuti 56 peserta yang merupakan perwakilan dari OSHDP.

Agenda kegiatan antara lain diisi workshop dengan narasumber Direktur Sekuritisasi dan Pembiayaan SMF, Heliantopo, serta Wakil Ketua Umum DPP REI bidang Peraturan, Regulasi dan Perundangundangan, Ignesjz Kemalawarta.

National President of OSHDP Jefferson Bongat menambahkan, studi banding merupakan agenda rutin tahunan OSHDP. “Kami fokus pada negaranegara dengan bisnis pengembangan hunian untuk publik. Tahun ini kami mengindentifikasi bahwa Indonesia merupakan negara dengan pengembangan hunian publik yang menarik untuk dikaji,” jelas Jefferson.

Lebih lanjut Jefferson mengungkapkan bahwa secara khusus pihaknya ingin mengetahui pasar realestat dan perumahan di Jakarta. Mulai dari mekanisme keuangan, kebijakan Pemerintah, serta regulasi dan inovasi dalam pengembangan perumahan di Indonesia.

Direktur Sekuritisasi dan Pembiayaan SMF, Heliantopo mengatakan kerjasama studi banding ini diharapkan dapat menjadi langkah awal dan dasar bagi kedua belah pihak dalam melakukan kerjasama, penelitian, berbagi informasi dan pengetahuan seputar pembiayaan perumahan.

“Pada posisinya SMF sebagai satu-satunya BUMN yang bergerak dalam hal secondary mortgage selalu siap untuk merajut sinergi dengan berbagai pihak untuk mengakselerasikan pengembangan pasar pembiayaan perumahan, khususnya di Indonesia,“ ucap Heliantopo.

Tren KPR
Dalam paparannya Heliantopo menyampaikan bahwa selama ini skema kredit pemilikan rumah (KPR) masih menjadi pilihan utama masyarakat Indonesia dalam membeli rumah.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), selama kuartal pertama tahun 2019, persentase pemilikan rumah melalui skema KPR mencapai angka 74,2%, lebih tinggi dibandingkan pemilikan secara tunai bertahap sebesar 17,3%, dan tunai sebanyak 8,5%.

Ironisnya, penetrasi KPR di Indonesia cenderung masih rendah, serta rasio KPR terhadap PDB di Indonesia pada tahun 2018 hanya mencapai 3%. Angka tersebut jauh lebih rendah dibanding negara lain, seperti Filipina yang berada di angka 3,9%, Thailand 22,7 %, Malaysia 39,1 %, dan Amerika Serikat sebesar 75,2%.

Lebih lanjut Heliantopo juga mengatakan bahwa tren KPR di Indonesia terhadap GDP Indonesia cenderung rendah yaitu hanya berkisar 2,8% di tahun 2013 sampai dengan 2017dan di tahun 2018 baru menyentuh angka 3%. Sedangkan rasio KPR terhadap total kredit perbankan di angka 8,41% di tahun 2018.

Hal ini, menurut dia, menunjukkan bahwa KPR dapat tumbuh lebih jauh, dan SMF yakin masih adanya ruang untuk tumbuh lebih besar bagi pasar pembiayaan perumahan, baik sekunder maupun primer. (Oki Baren)