AKTUAL

Survei Warga

Aspek Transportasi di Jakarta Dinilai Terburuk

Administrator | Kamis, 13 September 2018 - 14:10:29 WIB | dibaca: 815 pembaca

Foto: Istimewa

Berdasarkan survei bertajuk Most Liveable City Index (MLCI) 2017 yang diadakan Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) terungkap bahwa tiga hal ini menjadi aspek dengan penilaian paling buruk di Jakarta. Ketiga aspek tersebut adalah transportasi, keamanan kota, dan fasilitas pejalan kaki.

Selain itu, aspek yang juga dinilai buruk adalah fasilitas kesenian dan budaya serta informasi pembangunan dan partisipasi masyarakat. “Aspek yang menjadi sorotan adalah transportasi karena nilainya paling rendah. Ini juga membenarkan anggapan kalau kemacetan masih jadi momok bagi warga Jakarta,” ungkap Ketua Kompartemen Livable City Pengurus Nasional IAP, Elkana Catur kepada wartawan dalam sebuah diskusi di Jakarta, baru-baru ini.

Penyebabnya, ada ketimpangan rasio jalan dengan pertumbuhan kendaraan dan banyaknya pengguna kendaraan pribadi khususnya motor, serta minimnya angkutan umum.

Berdasarkan Survei Jabodetabek Urban Transportation Policy Integration (JUTPI), hanya sekitar 27% masyarakat di Jakarta yang melakukan perjalanan dengan transportasi umum. Selebihnya masih menggunakan kendaraan pribadi.

Dengan kondisi tersebut dan diperparah dengan adanya sejumlah pembangunan di Jakarta, seperti MRT dan LRT membuat masalah transportasi di Jakarta semakin semrawut.

Sementara permasalahan pejalan kaki terjadi karena urbanisasi pinggiran di mana terdapat 1,4 juta orang komuter setiap hari dari Bogor Tangerang Bekasi (Bodetabek) masuk ke Jakarta. Padahal dari 7.000 km ruas jalan, baru 6% yang dilengkapi trotoar dan 80 % trotoar tidak terawat.

Untuk mengurangi permasalahan pejalan kaki, IAP telah memiliki rekomendasi sehubungan dengan pembangunan Transit Oriented Development (TOD). Dalam Perda No. 1/2012 tentang RTRW DKI Jakarta 2030, belum ditetapkan wilayah radius pengembangan TOD dari rencana titik stasiun MRT.

Oleh karena itu, IAP merekomendasikan agar radius jarak dari stasiun MRT sebagai dasar delineasi kawasan TOD adalah minimal 400 meter atau maksimal 10 menit waktu tempuh untuk berjalan kaki.

“Dan dapat diperluas hingga 1,5 kilometer bila dilengkapi jaringan jalur sepeda (bike lane) menuju stasiun.” kata Catur seperti dikutip dari Kompas.com. Survei ini merupakan snapshot yang mengacu kepada pengalaman warga Jakarta atas kotanya. Index ini telah dilaksanakan sejak 2009 sebagai bagian dari feedback kepada proses pembangunan kota yang sedang dan akan dilaksanakan.

Selain di DKI Jakarta, IAP juga sudah melakukan survei serupa di 25 kota di Indonesia dengan metode stratified random sampling yang melibatkan Pengurus Provinsi IAP seluruh Indonesia dengan menggunakan survei tatap muka dan melibatkan lebih dari 3000 responden.

MLCI yang dilakukan IAP pada 2017 diharapkan menangkap dinamika pembangunan kota yang terjadi belakangan ini, termasuk inovasi dan desentralisasi.

Sekretaris IAP DKI Jakarta, Raja Malem Tarigan menambahkan di Jakarta masalah transportasi jelas menjadi aspek terburuk karena survei diambil ketika semua warga merasakan macet dengan adanya pembangunan proyek infrastruktur di mana-mana.

Aspek transportasi, keamanan kota, dan fasilitas pejalan kaki masih menjadi aspek yang terburuk sejak indeks ini digelar pertama kalinya pada 2009.

Sementara itu, ungkap Raja, kebudayaan muncul sebagai salah satu aspek terburuk karena warga Jakarta sudah cukup puas dalam fasilitas dasar seperti pendidikan dan kesehatan.

Raja menilai warga kini mulai beralih ke kebutuhan tersier. Dari survei itu justru aspek politik perkotaan tidak masuk dalam aspek terendah, meski isu politik menjadi topik paling ramai terutama di media sosial.

Selain aspek terburuk, terdapat lima aspek yang masuk sebagai aspek tertinggi atau terbaik di Jakarta yakni ketahanan pangan, fasilitas peribadatan atau pelayanan keagamaan, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan dan pengelolaan air bersih.

Indeks itu diukur pada tahun 2017 dengan survei tatap muka terhadap 500 warga DKI Jakarta yang tersebar rata di tiap kecamatan. Survei menggunakan metode stratified random sampling dan rencananya akan dirilis pada Januari 2018.

Perlu Kolaborasi
Sementara itu, Ketua Realestat Indonesia (REI) DKI Jakarta, Amran Nukman menegaskan upaya menjadikan Ibukota Jakarta sebagai kota layak huni harus pula menyentuh aspek hunian juga menyentuh aspek penyediaan perumahan bagi warganya.

Namun, dia mengingatkan bahwa pemenuhan kebutuhan hunian di Jakarta hanya bisa dilakukan apabila ada kolaborasi antar seluruh pemangku kepentingan.

“Pemerintah tidak bisa bergerak sendiri, pun demikian dengan pelaku usaha swasta. Oleh karenanya perlu perubahan paradigma, dengan memegang teguh prinsip kolaborasi,” kata Amran dalam diskusi yang sama.

Pembangunan perumahan, menurut dia, merupakan urusan yang sulit (complicated) dan juga rumit (complex). Tidak bisa diselesaikan hanya dengan membagi urusan dan tidak ada lembaga atau dinas yang bisa menangganinya sendirian. Dibutuhkan sebuah sistem yang dapat memastikan seluruh komponen pembangunan seperti lahan, pembiayaan, infrastruktur dasar, dan penghidupan berkelanjutan dapat tersedia atau terwujud. RIN