TOPIK UTAMA

Stimulus Diskon Pajak Tersumbat PBG

Administrator | Senin, 11 April 2022 - 10:24:03 WIB | dibaca: 261 pembaca

Foto: Istimewa

Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) mendesak pemerintah untuk memperjelas kebijakan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) sebagai pengganti Izin Mendirikan Bangunan atau IMB. Ketidakpastian PBG justru dikhawatirkan merusak ekosistem pasokan rumah nasional.

Ketua Umum DPP REI, Paulus Totok Lusida menegaskan penerapan kebijakan PBG yang tidak jelas membuat pengembang dan masyarakat saat ini tidak bisa membangun. Pasalnya, mayoritas pemerintah daerah (pemda) belum mengeluarkan peraturan daerah (perda) terkait PBG, sementara di sisi lain IMB tidak berlaku lagi. 

Perubahan nomenklatur dari IMB menjadi PBG merupakan respons atas terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

“Meski telah berlaku dan disahkan oleh pemerintah pusat, tetapi hampir seluruh daerah belum mengubah Perda IMB menjadi Perda PBG. Ini penyebab daerah tidak dapat memungut retribusi PBG,” jelas Totok dalam Market Review IDX Channel, Senin (10/1/2022).

Untuk menyelesaikan hambatan tersebut, kata dia, semua instansi pemerintah perlu duduk bersama mencarikan solusi. REI mengaku sudah sepakat dengan beberapa instansi untuk bersama-sama mendorong pembuatan konsep Perda Retribusi PBG sebagai contoh bagi daerah.

Langkah ini untuk mempercepat proses terbitnya PBG, karena lazimnya untuk membuat perda butuh waktu yang lumayan lama.

Data Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR menyebutkan per 11 Januari 2022 dari 514 kabupaten/kota hanya tujuh daerah yang telah mengantongi Perda Retribusi PBG. Namun hanya tiga daerah yang sudah menerbitkan PBG, sedang empat lainnya sudah memiliki perda namun belum menerbitkannya.

Totok menambahkan, pihaknya REI berharap ada solusi dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mendorong percepatan penerbitan Perda Retribusi PBG.

“Kami paham perlu proses politik dalam penerbitan sebuah peraturan daerah. Namun di sisi lain, pengembang kini juga berkejaran dengan waktu karena insentif PPN DTP hanya berlaku hingga September 2022,” ungkap Totok.

Retribusi Terutang
REI mengusulkan pemda yang belum menerbitkan Perda Retribusi PBG dapat memberlakukan retribusi terutang dalam penerbitan PBG. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kemandekan dalam pelayanan penerbitan perizinan pembangunan properti di daerah.

“Pemda dapat memberlakukan retribusi terutang terhadap penerbitan PBG yang memang belum ada payung hukumnya. Usulan alternatif ini supaya tidak terjadi penundaan izin di lapangan,” kata Wakil Ketua Umum Koordinator DPP REI Bidang Perizinan, MT Junaedy seperti dikutip dari Industriproperti.com.

Menurut Junaedy, usulan penundaan pembayaran retribusi PBG itu mengacu pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 156 ayat 3 huruf G.

“UU ini memberikan kewenangan bagi kepala daerah untuk menetapkan ketentuan terkait mekanisme dan pelaksanaan permohonan penundaan pembayaran retribusi,” ujar dia.

Beleid lainnya yang juga mengatur hal serupa adalah UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah Pasal 95 ayat 2 huruf B dan Pasal 96 ayat 2. Menurut Junaedy, UU ini memberikan kewenangan kepada kepala daerah untuk memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi pajak dan retribusi.

Sementara agar pelayanan perizinan pembangunan properti tetap berjalan, pemda dapat mengacu pada UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

“Apabila kelengkapan persyaratan administrasi melebihi SLA (service level agreement) maka secara otomatis berlaku. Hal itu tidak menabrak aturan,” tegas Junaedy.

Penegasan senada diungkapkan para praktisi hukum properti.

Pengamat Hukum Properti dan Perumahan, Muhammad Joni meminta para kepala daerah untuk tidak mempersulit terbitnya PBG terlebih untuk rumah MBR (masyarakat berpenghasilan rendah).

Dia merujuk kepada hak dasar dan amanat konstitusi Pasal 28H ayat 1 UUD 1945, yang seharusnya menjadi acuan pemerintah dan pemda untuk tidak memungut retribusi dari perumahan MBR atau public housing.

“Terbitnya PBG bagi perumahan MBR justru menjadi indikator pemerintah daerah pro-MBR atau tidak. Ini harus masuk ke dalam norma standar prosedur dan kriteria (NSPK) sebagai acuan skala nasional,” kata Joni yang juga Sekretaris Umum The Housing and Urban Development (HUD) Institute kepada Industriproperti.com.

Menurutnya, pembangunan perumahan MBR merupakan kewajiban pemerintah termasuk pemerintah daerah sehingga wajib menyediakan bantuan dan kemudahan seperti diatur Pasal 54 UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Selain itu, masalah perumahan rakyat adalah urusan konkuren pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang merupakan kebutuhan dasar atau primer sebagaimana UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda.

Oleh karena itu, terkait penerbitan PBG dia mendesak agar perizinan untuk perumahan rakyat bagi MBR diskemakan tanpa beban retribusi (nol retribusi).

“Kompensasi atas nihilnya retribusi PBG untuk perumahan MBR dapat dialihkan atau disubstitusi ke fasilitas bantuan APBN seperti diatur Pasal 54 UU No.1 Tahun 2011,” tegas Joni.

Gugatan PTUN
Sementara itu, Praktisi Hukum Properti dan Perbankan Juneidi D Kamil berpendapat, sikap pemda yang menunda atau mempersulit penerbitan PBG berpotensi menimbulkan risiko hukum.

“Pemda harus menerbitkan PBG, sepanjang syarat dan ketentuan sudah dipenuhi oleh pemohon. Penundaan seperti yang saat ini terjadi sangat merugikan pemohon, sehingga bisa menjadi alasan untuk mengajukan perkara ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN),” jelas dia.

Dalam hal pemda belum memiliki Perda Retribusi PBG, menurut Juneidi, maka dapat diterbitkan dengan retribusi nol rupiah sampai ditetapkannya perda.

Di sisi lain, pemerintah pusat sudah menerbitkan PP No.16 tahun 2021, dimana pemerintah kabupaten/kota harus menyediakan layanan PBG dalam jangka waktu enam bulan sejak peraturan pemerintah ini berlaku. Artinya, jangka waktu itu telah berakhir pada 2 Agustus 2021.

“Oleh karena itu, mau tidak mau pemda harus merevisi Perda Retribusi IMB menjadi Perda Retribusi PBG agar bisa menarik retribusi layanan PBG,” tegas Juneidi. (Rinaldi)

Sumber: