ASPIRASI DAERAH

REI Bali Terus Dorong Regulasi Hunian Vertikal

Administrator | Selasa, 15 Januari 2019 - 15:04:47 WIB | dibaca: 954 pembaca

Ketua DPD REI Bali, Agus Pande Widura

Melihat situasi tersebut, DPD Realestat Indonesia (REI) Bali tidak tinggal diam. Menyadari harga tanah yang semakin mahal dan harga rumah yang semakin tidak terjangkau khususnya bagi kalangan muda, maka rumah vertikal (apartemen) menjadi satu-satunya solusi.

Sayangnya, belum ada regulasi yang jelas mengenai pembangunan hunian vertikal di Bali, padahal banyak kondominium hotel (kondotel) sudah dibangun di daerah tersebut.

Ketua DPD REI Bali, Agus Pande Widura mengatakan, pihaknya berencana ingin membangun apartemen tanpa meninggalkan ciri khas budaya Pulau Dewata guna menyiasati harga lahan yang mahal. Menurut dia, di Bali sudah lama dibangun kondotel, sehingga apartemen hunian juga seharusnya bisa. REI memastikan pembangunan hunian vertikal tidak akan keluar dari Tri Hita Karana sesuai arahan ahli budaya dan agama di Bali.

Tri Hita Karana merupakan filosofi masyarakat Bali yang berlandaskan tiga hubungan harmonis manusia dengan Tuhan, alam atau lingkungan dan sesama manusia. Salah satunya dicerminkan dengan adanya peraturan yang selama ini berlaku di Bali terkait tinggi bangunan yang tidak boleh melebihi 15 meter, atau setara 4-5 lantai.

“Kami mendorong adanya kebijakan yang memperbolehkan pembangunan hunian vertikal namun tetap sesuai budaya di Bali. Pembangunan apartemen tentu akan menjadi solusi agar penggunaan tanah jadi lebih efisien,” ungkap Agus kepada Majalah RealEstat, baru-baru ini.

Dia menyebutkan, Pemerintah Daerah (Pemda) Bali cukup baik menerima masukan REI. Saat ini sudah mulai ada pembahasan mengenai rencana pembangunan apartemen dengan konsep low-rise. Meski tentu saja kendalanya sangat banyak, termasuk zonasi.

Saat ini harga tanah di Denpasar minimal Rp 600 juta per are. Sedangkan di daerah penyangga dengan jarak tempuh 2,5 jam dari Denpasar harga tanah berkisar Rp 40 jutaan per are.

Dengan harga tersebut, menurut Pande, seharusnya Bali mendapatkan harga jual yang sama dengan Papua untuk rumah subsidi bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yakni sekitar Rp 195 juta per unit.

Rumah Subsidi
Tahun ini, REI Bali menargetkan pembangunan 5.000 unit rumah, yang terdiri dari 3.500 unit rumah untuk MBR dan sisanya non-MBR. REI saat ini baru bisa membangun di empat kabupaten/kota dari sembilan kabupaten/kota yang ada di Bali yakni di Buleleng, Jembrana, Tabanan, dan Karang Asem. Keempat daerah itu menjadi kosentrasi pembangunan rumah subsidi di Pulau Dewata.

Adapun kendala di daerah lain adalah masalah perizinan dan juga harga lahan yang masih terus dibahas bersama pemerintah daerah setempat.

“Banyak yang harus dibenahi namun kita tetap bersemangat dan untuk mencapai target yang sudah ditetapkan,” jelas Agus.

Selain pemerintah daerah, REI Bali juga melakukan pendekatan dengan perbankan seperti, Bank BTN, Bank BNI, dan Bank Mandiri. Sejauh ini porsi paling banyak dari segi pembiayaan rumah subsidi didominasi oleh Bank BTN. Sementara bank lain masih minim, apalagi bank-bank penyalur Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) lainnya hampir tidak ada.

REI Bali, ungkap dia, akan terus melakukan komunikasi dan koordinasi dengan perbankan di daerah tersebut guna mendukung industri properti di pulau itu berjalan dengan baik. (Teti Purwanti)