Regulasi

Pemilikan Hunian Asing

Regulasi Alami Lompatan

Administrator | Kamis, 15 Juni 2017 - 15:24:51 WIB | dibaca: 962 pembaca

DPP REI sangat menaruh harapan besar terhadap terbitnya regulasi tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia.

Dalam pandangan Wakil Ketua Umum REI, Ignesjz Kemalawarta, ada empat hal yang disetujui oleh pemerintah kaitannya dengan dibuka keran pemilikan asing, yakni pertama, peningkatan ekonomi dengan bergulirnya kegiatan pembangunan akibat adanya pasar baru, kedua, peningkatan lapangan kerja dan 174 industri pendukung sejalan dengan meningkatnya pembangunan rumah dan apartemen atau rumah susun (rusun).

Ketiga, pemasukan pajak-pajak baru dengan adanya segmen baru, dan keempat, menghentikan praktik perjanjian bawah tangan yang tidak memberi pemasukan bagi negara.

“Beberapa waktu lalu pemerintah melalui Kementerian Agraria/Badan Pertanahan Nasional telah mengeluarkan Peraturan Menteri Agraria no 29/2016 tentang tatacara pengalihan Hak Pakai. Peraturan ini menggenapi beberapa peraturan sebelumnya terkait upaya membuka keran pemilikan asing di Indonesia,” ujarnya kepada majalah REI medio awal November 2016.

Ignesjz mengungkapkan, setelah PP 103/2015 yang mengatur beberapa hal, seperti definisi asing, Hak Pakai bagi asing, jangka waktu Hak Pakai, pewarisan asing dan tatacara pengalihan setelah tidak tinggal di Indonesia, pemerintah melanjutkan dengan mengeluarkan Permen ATR/BPN 13/2016 yang disempurnakan dalam permen ATR/BPN 29/2016.

Permen ini intinya mengatur Hak Pakai dapat dikenakan hak tanggungan, batasan luas, harga, pembelian dan tatacara pengalihan dengan terjadinya transaksi oleh asing untuk rumah tapak dan apartemen atau rusun. Dengan demikian, katanya, sudah hampir rampung semua regulasi terkait pembelian hunian untuk asing sampai saat ini dan menjadi lompatan yang sangat jauh  dalam pembuatan regulasi oleh pemerintah.

Hanya saja, disayangkan karena Undang-Undang Pokok Agraria atau UU PA tidak bisa diubah maka Ignesjz berharap yang semula terjadi penyederhanaan hak atas tanah menjadi Hak Milik (untuk lokal) dan Hak Pakai (untuk lokal dan asing) belum dapat direalisasikan, namun dengan memperhatikan rambu-rambu perundangan sudah berhasil diperoleh lompatan yang jauh dalam hal regulasi pemilikan asing di Indonesia.

“Dengan demikian WNA yang ingin memiliki hunian tempat tinggal di Indonesia pada dasarnya selangkah lagi akan sudah dapat melakukan transaksi,” katanya.

Hanya saja, Ignesjz menggaris-bawahi bahwa WNA bisa memiliki hunian tempat tinggal di Indonesia  dengan kondisi untuk proses pembelian dan perolehan status Hak Pakai; pertama, WNA yang  memiliki paspor dan visa (merupakan izin kunjungan) dapat membeli properti hunian tempat tinggal di Indonesia.

Kedua, dalam kasus rumah tapak, setelah terjadi AJB BPN akan merubah sertifikat tanah menjadi Hak Pakai, ketiga dalam kasus apartemen atau rusun setelah transaksi AJB BPN akan menerbitkan Sertifikat Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun dan keempat, Hak Pakai berlaku 30 tahun, dapat diperbaharui 20 tahun dan diperpanjang 30 tahun (jangka waktu Hak Pakai sama dengan HGB) dengan total 80 tahun.

Pembeli WNA, katanya dapat memilih mengurus izin tinggal dengan lima alternatif, yakni: izin tinggal kunjungan, izin tinggal terbatas, izin tinggal tetap, izin tinggal diplomat dan izin tinggal dinas.

“Untuk Pembeli WNA yang tidak akan tinggal di Indonesia dapat membeli hunian tempat tinggal dengan minimal satu tahun sekali mengunjungi Indonesia. Diharapkan Direktorat Imigrasi dapat menyederhanakan proses izin tinggal. Karena itu masih diperlukan sinkronisasi antara jangka waktu izin tinggal dengan mekanisme terkait hak atas tanah,” terangnya.

Igneszj memberikan dua pandangan yang dapat dilakukan pemerintah sebagai terobosan untuk memikirkan pangsa asing yang tidak berkedudukan di Indonesia untuk memiliki properti. Pasalnya, selain pangsa asing yang berkedudukan di Indonesia, ada juga pangsa asing yang tidak berkedudukan di Indonesia berminat untuk membeli properti tanpa harus bekerja atau berkedudukan di Indonesia, layaknya yang dilakukan oleh Malaysia, Singapore, Hongkong, dan Vietnam.

Pada bagian lain Ignesjz menyoroti masih belum tuntasnya mengenai penjaminan Hak Pakai meskipun UU sudah menyatakanHak Pakai dapat dibebani hak tanggungan. Menurutnya, permasalahan terletak pada saat default dan hak pakai dijual ke lokal dimana proses pengalihan hak dan waktu pengalihan yang lama dikhawatirkan akan menurunkan nilai asset.

Sebab itu diperlukan ketentuan yang clear untuk mengatasi saat default dimana status hak  yang diusulkan otomatis beralih ke HGB dan dapat dijual ke warga lokal karena sejauh ini asing tidak bisa membeli secondary property.

Berkait dengan adanya penyempurnaan regulasi pemilikan asing, mewakili REI Ignesjz mengharapkan dilakukan sosialisasi Permen 29 /2016 pada level Kanwil Kementerian ATR/BPN agar penjualan properti bagi asing di daerah-daerah potensial dapat ditangani Kanwil ATR/BPN setempat.

Penyederhanaan proses izin tinggal di Imigrasi termasuk ketentuan terkait NPWP bagi asing serta aturan penegasan terkait waktu Hak Pakai dan waktu izin tinggal regulasi KunHam/Imigrasi yang berdampak hukum pemilikan properti).

Kemudian membuat ketentuan yang memudahkan perbankan melakukan eksekusi jaminan dalam kondisi default secara cepat dan tidak menurunkan nilainya, dan bilamana memungkinkan, mengingat pangsa asing membutuhkan kepastian maka diusulkan perpanjangan HGB dapat dilakukan sekaligus dimuka berikut pembayarannya dan pemerintah melakukan kontrol atas pengunaan properti yang dibeli apakah masih digunakan sesuai tujuan semula atau sudah ditelantarkan atau alih fungsi pada akhir tahun ke 30 dan 50.