AKTUAL

Darurat Program Sejuta Rumah

Pengembang Tuntut Tambahan Kuota FLPP Cair

Administrator | Kamis, 09 Januari 2020 - 10:28:46 WIB | dibaca: 583 pembaca

Program Sejuta Rumah (PSR) terancam gagal jika penambahan kuota fasilitas likuiditas pembiayaan properti (flpp) yang saat ini menipis tidak segera dicairkan. Kondisi darurat ini perlu segera disikapi pemerintah dengan hadir mendengar dan melihat langsung kondisi konsumen dan pengembang di lapangan.

“Kami sangat berharap pemerintah dapat secepatnya mengeluarkan tambahan kuota FLPP karena saat ini kondisinya sudah sangat membahayakan. Jangan lupa ada 174 industri ikutan yang terkait industri properti,” ungkap Ketua Komtap Kadin Properti, Setyo Maharso di Jakarta, baru-baru ini.

Dia mengungkapkan bahwa semua pihak, termasuk pemerintah perlu menjaga stabilitas industri properti Indonesia dan memastikan Program Sejuta Rumah tahun ini dapat tercapai.

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia bidang properti Hendro S. Gondokusumo menambahkan ada tiga jenis industri yang bisa menggerakkan perekonomian rakyat secara massal, yakni infrastruktur, pariwisata dan properti. Ketiga jenis industri ini akan bisa masuk sampai ke pelosok Indonesia dan membangkitkan perekonomian secara masif.

“Jadi, penting sekali bisa menjaga keberlangsungan industri properti agar stabil. Salah satunya dengan penambahan kuota FLPP ini,” ujar dia.

Ketua Umum DPP REI Soelaeman Soemawinata berharap Kementerian Keuangan (Kemenkeu) secepatnya dapat merealisasikan tambahan kouta FLPP karena urgensinya tinggi dari sisi konsumen. Begitu juga dari sisi developer, banyak pengembang yang sudah membangun dengan menggunakan kredit bank untuk pengerjaan konstruksi, sehingga kalau tidak terealisasi maka beban bunganya akan tetap ditanggung pengembang.

“Jika pengembang tidak mampu membayar, maka NPL (rasio kredit bermasalah) tinggi dan akan menganggu kinerja bank. Kalau itu terjadi, maka berdampak besar terhadap perekonomian nasional,” ungkap Eman, demikian dia akrab dipanggil.

Dia menambahkan, REI didukung asosiasi lain seperti Himperra dan Apersi sudah melakukan sejumlah upaya sejak awal mencuat informasi habisnya kuota KPR FLPP di Bank BTN. Kementerian PUPR kemudian merespon aduan itu dengan menyurati Kementerian Keuangan untuk menambah kuota KPR FLPP sebesar Rp 8,6 triliun atau setara untuk 80.000 hingga 100.000 unit rumah. 

Bahkan dalam pertemuan terakhir dengan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono pada Minggu (25/8/2019) lalu dirinya, ungkap Eman, kembali mempertanyakan informasi mengenai tambahan kuota tersebut. Dimana Menteri PUPR menyebutkan sudah ada jawaban positif dari Kemenkeu bahwa kuota akan ditambah. 

“Saya sangat terenyuh dengan kondisi yang dihadapi teman-teman pengembang terlebih dari daerah, tetapi sampai saat ini kami memang masih menunggu informasi terkait tambahan kuota FLPP. Karena sekarang sudah masuk domain pemerintah, tetapi yang jelas REI akan terus memantau dan mengawal persoalan ini sampai tuntas,” kata Eman.

REI mengaku sudah berkirim surat ke Kemenkeu, dan sedang berusaha membuat janji untuk bertemu dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani sehingga dapat menyampaikan kondisi yang terjadi di lapangan baik dari sisi konsumen yang tertunda menempati rumahnya, juga kerisauan pengembang.

Sementara itu, Ketua DPD REI Jawa Barat, Joko Suranto mengatakan pemerintah seharusnya tidak terlalu banyak melakukan pengaturan yang bersifat sangat teknis sehingga membuat gerak pengembang sangat sempit dan terbatas.

“Kami adalah pengembang, bukan kontraktor. Pengembang mempunyai konsep dan kapasitas untuk mengembangkan sesuatu dari yang tiada menjadi ada, dari yang tidak bernilai menjadi bernilai,” kata dia.

Sebaiknya, sambung Joko, pemerintah mengatur kebijakan saja di hulu, sedangkan pihaknya sebagai organisasi akan mengikuti kebijakan tersebut di hilir.

Ketua Umum Pengembang Indonesia (PI) Barkah Hidayat mengatakan, sebanyak 85% anggota PI adalah pengembang perumahan FLPP yang sangat rentan terhadap pergerakan pembiayaan konsumen. “Jika pembiayaan terhambat maka akan ada multiplier effect ke stakeholder lain yaitu perbankan, kontraktor, vendor dan akhirnya ke konsumen juga,”
ucap Barkah.

Oleh karena itu, sambung Barkah Hidayat, ke depan agar tidak terjadi lagi hal seperti ini, sebaiknya angka kuota FLPP tidak ditentukan sepihak oleh pemerintah namun berdasarkan data bersama seluruh organisasi. Dengan begitu, kata dia, akan diketahui berapa besar kebutuhan sebenarnya.

Ancam Demo
Di tempat terpisah, dalam Rakor Apersi 2019, Ketua Umum DPP Apersi Junaidi Abdillah mendesak pemerintah untuk memberikan kepastian terkait tambahan kuota FLPP. Menurut dia, mayoritas anggota Apersi yang tersebar di 28 propinsi di Indonesia mengaku kecewa kepada pemerintah.

Bahkan, jika belum ada kejelasan mengenai penambahahan kuota FLPP itu, Apersi dalam waktu dekat ini mengancam akan turun ke jalan untuk mendesak pemerintah segera mencairkan penambahan kuota FLPP.

“Sebanyak 98.000 unit rumah yang dibangun oleh anggota kami dengan kondisi sudah ready stock di seluruh Indonesia saat ini tidak bisa akad kredit. Itu berarti, hampir 100.000 kepala keluarga masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) berikut keluarganya terancam tidak memiliki rumah. Pemerintah harus hadir,” tegas dia.

Bahkan, kata Junaidi, saat ini sudah ada dua perusahaan pengembang anggota Apersi yang akan menjual aset-asetnya karena terancam bangkrut atau gulung tikar akibat tidak bisa melakukan penjualan rumah. Duh, kemana pemerintah? (Rinaldi)