ASPIRASI DAERAH

Pengembang di NTB Butuh Kepastian RTRW dan RDTR

Administrator | Senin, 04 Februari 2019 - 11:21:13 WIB | dibaca: 1006 pembaca

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRW) di Indonesia menjadi arah kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah negara yang dijadikan acuan untuk perencanaan jangka panjang. Selain RTRW, arah kebijakan juga diperinci dengan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).

Sayangnya, kedua hal tersebut di Indonesia menjadi masalah pelik ditambah lagi sekian tahun kerap berubah. Kondisi itu sangat dirasakan pengembang dan pelaku usaha properti di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

Ketua DPD Realestat Indonesia (REI) NTB, Heri Susanto mengatakan masalah RTRW dan RDTR menjadi masalah yang sangat menghantui pembangunan properti khususnya perumahan di daerah tersebut. Sehingga dibutuhkan koordinasi lebih lanjut di tingkat provinsi maupun pusat.

“RTRW baru diatur berdasarkan zonasi dan itu belum cukup. Ditambah lagi, masalah RTRW setiap daerah saat ini menjadi tanggung jawab pusat yang artinya makin butuh waktu yang lebih panjang untuk menuntaskannya,” keluh Heri kepada RealEstat, baru-baru ini.

Padahal dengan adanya rencana pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Mandalika Lombok misalnya RTRW dan RDTR menjadi penting untuk kepastian hukum bagi investor. Demikian juga di sektor perumahan, ungkap Heri, setidaknya akan ada 10 ribu pekerja di bidang pariwisata yang membutuhkan rumah. untuk memenuhi kebutuhan itulah RTRW dan RDTR yang rinci akan sangat meringankan tugas pengembang.

Saat ini, belum adanya detail tata ruang sering menjadi masalah dalam pembangunan properti, karena belum ada peruntukan yang jelas mengenai peruntukkan tanah di NTB. Kalau warna RDTR masih abu-abu, kata Heri, di kemudian hari biasanya bakal ada masalah dan pengurusannya butuh lobi dan negosiasi yang panjang.

Pengembangan Homestay
Selain masalah tata ruang yang membutuhkan dukungan provinsi dan pemerintah pusat, REI NTB juga berharap pemerintah bisa memberikan kemudahan dan subsidi bunga yang rendah agar masyarakat bisa mengembangkan homestay demi kebutuhan pariwisata KEK di Lombok.

“Kebutuhan homestay untuk menunjang pariwisata di Lombok sangat besar, sehingga bila ada program dari pemerintah pusat untuk pembangunan homestay saya kira banyak yang berminat. Kemarin sudah ada kerjasama DPP REI dengan Kementerian Pariwisata, mungkin ini dapat direalisasikan dulu di NTB,” ujar Heri.

Sementara untuk kontribusi dalam pembangunan rumah rakyat bersubsidi, REI NTB pada tahun ini menargetkan pembangunan 10 ribu rumah atau naik 100% dibandingkan realisasi pada 2017 sebanyak 5.000 unit.

“Tahun kemarin kami menargetkan membangun 2.000 rumah dan Alhamdulillah yang terbangun 5.000 unit. Sedangkan tahun ini Bank BTN saja targetnya bisa merealisasikan akad untuk 7.000 unit atau setara Rp 1 triliun di NTB. Saya kira target 10 ribu unit itu realistis,” kata Heri.

Meski sepanjang kuartal I 2018, REI NTB tidak bisa merealisasikan pembangunan karena ada kendala regulasi, namun asosiasi ini masih optimis mampu mencapai target yang dipatok. Saat ini harga rumah MBR di NTB dipatok sebesar Rp 148,500 juta.

Terkait kemudahan perizinan, meski sudah ada PP 64 tentang kemudahan pembanguan rumah bagi MBR, nyatanya baru 20% dari seluruh pemerintah kota dan pemerintah kabupaten di NTB yang memberi kemudahan. Bahkan, menurut Heri, di beberapa daerah penyangga yang dekat dengan ibukota provinsi, pembangunan rumah bagi MBR juga masih sangat sulit dari sisi perizinan.

“Padahal, animo masyarakat untuk memiliki rumah tinggi, pengembang bahkan sudah mendaftar ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) akan membangun lebih dari 10 ribu rumah, namun pemerintah daerah mungkin belum bisa memberikan kemudahan,” kata Heri.

Adapun pembangunan rumah komersial di NTB juga masih lesu, berbeda jauh dengan perhotelan yang saat ini okupansinya rata-rata mencapai 50% pada hari-hari biasa, dan lebih dari 100% pada musim puncak liburan (peak season).

“Kalau rumah komersial harganya memang situasional, sehingga kenaikan harga tanah dan material bisa menyesuaikan. Ditentukan pengembang, tergantung luas, dan kualitas bangunan. Namun rumah subsidi pemerintah yang atur (harganya), sehingga kenaikan kedua komponen itu sangat memengaruhi,” ujar Heri. (Teti Purwanti)