AKTUAL

Menanti Skema KPBU untuk Sektor Perumahan Rakyat

Administrator | Rabu, 20 Februari 2019 - 10:38:36 WIB | dibaca: 1673 pembaca

Keterbatasan dan melonjaknya harga lahan menjadi salah satu masalah klasik di bidang perumahan. Padahal, pada 2019 pemerintah ingin menurunkan angka kekurangan pasokan (backlog) rumah menjadi 5,4 juta saja. Untuk itu, berbagai cara dilakukan guna memastikan pencapaian target tersebut.

Salah satunya langkah yang disiapkan pemerintah adalah melalui skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). KPBU di bidang perumahan adalah partisipasi sektor swasta dalam investasi penyediaan perumahan (khususnya rusunawa atau rusunami) bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) di atas lahan pemerintah berdasarkan perjanjian kerjasama antara pemerintah dan badan usaha.

Skema ini sudah dijalankan untuk pembangunan infrastruktur seperti jalan tol dan bendungan, dan segera diberlakukan pula di sektor perumahan rakyat.

Tak tanggung-tanggung untuk memuluskan skema KPBU di bidang perumahan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) juga meluncurkan program Land Banking System bekerjasama dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.

Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR, Khalawi Abdul Hamid menyatakan Land Banking System yang sedang dikerjakan oleh Kementerian PUPR berbeda dengan program Bank Tanah Nasional atau Batanas. Dia beralasan, saat ini PUPR sangat membutuhkan penambahan lahan, sementara Batanas umumnya menyediakan tanah yang diprioritaskan untuk infrastruktur.

“Jadi kita punya stok tanah juga, yang kita bisa gunakan, misalnya kita ada KPBU,” jelas Khalawi, baru-baru ini.

Dia menyatakan, pola Land Banking System ini masih dalam pembahasan dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Ada pun Batanas yang masih belum rampung karena perlu sinkronisasi dengan Kementerian Keuangan. Dia berharap, konsep Land Banking System yang sedang digarap ini tidak menambah beban fiskal negara.

“Maka kita pakai pola KPBU untuk mendorong saja swasta, pemerintah supportingnya. Karena ini pola yang efektif untuk negara berkembang,” terang Khalawi.

Dia menjelaskan KPBU yang disiapkan terdiri dari dua pola. Pola pertama yang disiapkan adalah pemerintah menyediakan tanah dan swasta akan membangun. Sedangkan pada pola kedua, tanah dan bangunan dilakukan oleh swasta, dan pemerintah akan memberikan infrastruktur bisa berupa jalan, air baku, air minum, dan lain-lain.

“Kami sudah siapkan empat lokasi pilot project. Mudah-mudahan bisa diluncurkan pada akhir tahun ini satu proyek,” jelas Khalawi.

Secara rinci, Khalawi menjelaskan kemungkinan besar yang bisa diluncurkan adalah kerjasama dengan asosiasi Realestat Indonesia (REI) di Jonggol, Jawa Barat dengan lahan seluas 180 hektar. Selain itu ada pula di Bogor, tanah seluas 33 hektar milik Kementerian PUPR yang akan dibangun oleh pihak swasta.

Lahan ketiga yang disiapkan adalah milik Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung seluas 2 hektar. Karena lahannya yang kecil, maka menurut Khalawi sangat cocok dijadikan proyek percontohan untuk KPBU di bidang perumahan.

“Saat ini sudah banyak yang tertarik, dari luar negeri misalnya ada China dan Korea. Namun, kami akan dahulukan pengembang lokal,” jelas Khalawi.

Sedangkan secara regulasi, Kementerian PUPR tengah menyiapkan Peraturan Menteri (Permen) PUPR yang akan jadi payung hukum atas investasi yang akan dilakukan. Adapun payung hukum ini juga akan mengatur bagaimana badan usaha membangun kawasan tersebut.

Menurut Khalawi, swasta tentu tidak mau kalau hanya membangun rumah untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Sehingga payung hukum yang akan dibuat juga akan mengakomodir mengenai pengembalian investasi yang sudah dikeluarkan oleh investor. Agar rencana ini bisa terlaksana, Kementerian PUPR juga tengah melakukan sosialisasi dengan asosiasi, BPKM, dan Kementerian ATR/BPN.

Kendalikan Harga Tanah
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian ATR/BPN, Himawan Arief Sugoto mengungkapkan saat ini kondisi kenaikan harga rumah di Indonesia telah mencapai kisaran 200% per tahun. Intervensi pasar yang dilakukan pemerintah dengan menyediakan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) FLPP dengan bunga rendah juga belum mampu mendorong daya beli masyarakat sehingga masih banyak yang kesulitan memiliki rumah.

Pemerintah tidak bisa mengendalikan harga konstruksi, namun pemerintah sebenarnya bisa memastikan harga tanah. Salah satu cara adalah dengan membuat Bank Tanah.

“Oleh karena itu dibutuhkan Bank Tanah untuk mengendalikan harga tanah, sehingga harga rumah lebih terjangkau,” kata dia. 

Bank Tanah yang nantinya berbentuk Badan Layanan Umum (BLU), lanjut Himawan, berfungsi sebagai pengelola dan penyedia tanah secara nasional untuk kepentingan umum dan kepentingan pembangunan yang sumber objek tanahnya berasal dari Tanah Cadangan Umum Negara, Tanah Terlantar, Tanah Pelepasan Kawasan Hutan, Tanah Timbul, Tumbuh, maupun bekas pertambangan, Tanah proses dari pengadaan langsung, Tanah yang terkena kebijakan tata ruang, Tanah Hibah, tukar menukar, hasil Konsolidasi Tanah serta tanah perolehan lainnya yang sah.

“Pemanfaatan tanah tersebut dapat diberikan dalam bentuk Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai diatas HPL atas nama Bank Tanah Nasional,” ujar Himawan yang pernah menjabat Direktur Utama Perum Perumnas tersebut.

Direktur Jenderal Pengadaan Tanah Arie Yuriwin mengatakan untuk menjalankan Program Strategis Nasional (PSN) sejumlah 245 proyek pada dasarnya pemerintah sangat kesulitan untuk membebaskan tanahnya. Contoh saja Bandara Kulonprogo dimana dalam dokumen perencanaan perkiraan biaya pengadaan tanahnya sekitar Rp 1,8 triliun, namun pada akhirnya pemerintah harus menyediakan dana sekitar Rp 4,13 triliun.

“Itu dikarenakan Pemerintah tidak menyiapkan tanah terlebih dahulu sebelum membangun yang mengakibatkan besarnya biaya untuk pengadaan tanah,” ungkap dia.

Untuk itu, menurut Arie, diperlukan Bank Tanah untuk menjamin ketersediaan tanah untuk berbagai keperluan pembangunan di masa mendatang. (Teti Purwanti)