
JAKARTA – Sektor properti berpeluang mengalami perkembangan yang cukup pesat di 2025. Meski beberapa tahun terakhir hanya tumbuh di kisaran 1,5%- 2%, tetapi sektor ini diyakini mampu bertumbuh lebih tinggi di tahun-tahun mendatang. Salah satu alasannya karena kehadiran Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) dan adanya program khusus perumahan seperti pembangunan Program 3 Juta Rumah per tahun.
Pengamat Properti dari Stellar Property, M. Gali Ade Nofrans mengatakan adanya kementerian baru, regulasi baru dan sederet insentif dari pemerintah dapat mendorong peningkatan penjualan properti di Indonesia.Tahun 2025 menjadi momentum transformasi industri properti di Tanah Air. Untuk itu, perlu dorongan kebijakan pemerintah yang proaktif inovatif, misalnya soal sistem perizinan satu pintu yang efisien dan subsidi tepat sasaran.
“Pergantian pemerintahan tentu membawa kebijakan strategis seperti Program 3 Juta Rumah dan insentif-insentif fiskal yang menjadi pondasi kuat bagi pertumbuhan pasar properti. Dengan kolaborasi antar pemangku kepentingan, sektor properti memiliki potensi untuk menjadi penggerak utama pertumbuhan sektor ekonomi nasional yang tahun depan ditargetkan mencapai 8%,” ujar Nofran pada diskusi Banking & Property Outlook 2025 bertajuk “Era Baru Kebangkitan Industri Properti” yang diselenggarakan Indonesia Housing Creative Forum dan Urban Forum di Thamrin Nine, Jakarta, Selasa(10/12).
Menurutnya, kehadiran Kementerian PKP mendapat sambutan positif dari para pemangku kepentingan yang juga disokong oleh perbankan. Terlebih, Kementerian PKP telah mewacanakan penambahan alokasi KPR bersubsidi pada tahun depan menjadi 800 ribu unit rumah.
Wakil Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI), Hari Ganie menjelaskan salah satu titik berat Pemerintah Prabowo-Gibran di bidang perumahan adalah penyediaan rumah layak huni di kawasan pedesaan sebanyak 2 juta unit. Angka tersebut berarti akan ada sebanyak 25 unit rumah baik baru maupun renovasi di setiap desa. Demikian pula di kawasan perkotaan yang ditargetkan sebanyak 1 juta unit. Hal ini merupakan peluang bagi dunia usaha properti termasuk pengembang. Tinggal, kata Hari Ganie, bagaimana pemerintah mencari terobosan agar program-program tersebut bisa terserap pasar dengan baik oleh masyarakat.
“Dengan jumlah penduduk yang banyak, housing backlog yang besar dan kriteria calon pembeli rumah di Indonesia yang makin beragam, maka pemerintah, pelaku usaha dan perbankan perlu kolaborasi mengatasi sumbatan dan hambatan baik dari sisi supply maupun demand-nya agar program 3 juta rumah bisa berjalan,” ujarnya.
Namun, lanjutnya, pemerintah tetap harus realistis dengan kapasitas kesanggupan pembangunan dan pembiayaan setiap tahun di kisaran 300 ribu-400 ribu unit rumah per tahun. “Diperlukan cara baru dan insentif untuk dapat mendukung program 3 juta rumah ini. Adanya insentif PPN DTP merupakan salah satu contoh regulasi yang masih dibutuhkan di 2025, karena adanya insentif PPN DTP terbukti dapat mendorong penjualan properti di tahun ini,” kata Hari.
Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Junaidi Abdillah mengatakan secara keseluruhan hal yang dilakukan Kementerian PKP lewat door to door ke lintas kementerian dan mengatasi masalah perumahan harus diberikan apresiasi. Jika pemerintah terus melakukan singkronisasi terhadap aturan-aturan yang menghambat dan menghilangkan ego sektoral, maka asosiasi tersebut optimis program 3 juta rumah bisa tercapai.
“Kementerian PKP diharapkan maksimal melakukan sinkronisasi dengan kementerian atau lembaga lain terhadap aturan yang menghambat dunia usaha dan terus melakukan terobosan, khususnya cakupan kepemilikan rumah bagi pekerja sektor informal,” ulasnya.
Junaidi berharap kuota FLPP untuk rumah MBR bisa ditambah tahun depan. Namun, pihaknya menyatakan optimis kuota FLPP di 2025 sekitar 250 ribu-350 ribu unit.”Pengalaman melihat data histori, itu kami optimis di angka antara 250 ribu sampai dengan 350 ribu untuk tahun 2025,”sebutnya.
Ketua Umum Asosiasi Srikandi Pengusaha Properti Indonesia (SRIDEPPI) Risma Gandhi menyebutkan salah satu yang harus menjadi perhatian pemerintah dalam program 3 juta rumah adalah penyediaan rumah bagi pekerja migran Indonesia (PMI). Selama ini, katanya, sangat sulit bagi pekerja migran untuk bisa memiliki rumah, padahal mereka adalah penyumbang devisi terbesar.
“Akibatnya mereka bikin rumah secara swadaya, atau pakai KPR tetapi meminjam nama saudaranya. Kementerian PKP dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) harus bisa mengupayakan dan merealisasikan kredit murah bersubsidi untuk kepemilikan rumah bagi para PMI atau pembiayaan proses penempatan melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan memberikan kredit tanpa agunan,” usulnya.
Bagi perbankan, program 3 juta rumah di era pemerintahan baru, jelas memberi sinyal positif, dan industri pembiayaan properti akan bangkit. Bank Tabungan Negara (BTN) menurut VP Subsidized Mortgage Division BTN, Nur Ridho, mengatakan pihaknya telah menyiapkan beberapa skema pembiayaan untuk mendukung program 3 juta rumah untuk rumah subsidi. Mulai dari Rumah Desa Sehat, Rumah Sejahtera, dan Rumah Perkotaan. Ketiganya memiliki masa tenor yang panjang, sampai dengan 30 tahun.
“Kami optimis. InsyaAllah program 3 juta rumah bisa dilaksanakan, dalam tempo satu tahun. BTN juga sudah mengusulkan kuota FLPP ditambah tahun depan, dari yang semula 200 ribu unit akan menjadi 400 ribu,” paparnya.
Konstruksi Modular
Di diskusi yang sama, Ketua Asosiasi Rumah Modular Indonesia (ARMI), Nicolas Kesuma mengungkapkan metode konstruksi modular menjadi solusi paling relevan bagi implementasi Program 3 Juta Rumah di tengah-tengah gencarnya upaya dunia menekan dampak pemanasan global.
Pasalnya, selain dapat menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif, memfasilitasi pertumbuhan ekonomi, konstruksi modular juga mampu memastikan keberlanjutan serta tanggung jawab sosial dan lingkungan. Sebab, metode ini mengadopsi teknologi produksi yang lebih bersih dan ramah lingkungan termasuk penggunaan energi terbarukan, pengelolaan limbah lebih baik dan pengurangan emisi. Sehingga, dapat mengurangi dampak negatif industri terhadap lingkungan.
Selain itu, perakitan jenis bangunan dari bagian-bagian (modul-modul) juga tidak menimbulkan dampak apapun terhadap lingkungan karena telah diproduksi di pabrik yang kemudian diangkut ke lokasi konstruksi untuk dipasang menjadi bangunan lengkap.
“Saat ini, modular housing menjadi solusi terbaik karena memiliki lima karakter konstruksi yang dibutuhkan industri sesuai tuntutan global. Kelima karakter itu adalah pengerjaan konstrusksi bangunan lebih cepat, kontrol kualitas bangunan terjamin, design lebih fleksibel, hemat biaya, dan ramah lingkungan,” papar Nicolas.
Sementara Akhmad Syamsuddin, Direktur Operasional PT Motive Mulia, produsen beton Merah Putih menyebutkan bahwa Program 3 Juta Rumah bukan hanya sebuah kesempatan, tetapi juga tantangan bagi semua pemangku kepentingan di industri properti. Tantangan tersebut meliputi bagaimana menyeimbangkan aspek kualitas rumah dengan harga yang terjangkau, mengingat semakin sempitnya lahan perumahan dan meningkatnya biaya konstruksi.
Oleh karena itu, kolaborasi semua pihak sangat diperlukan untuk memberikan solusi pembangunan perumahan yang berkualitas, efisien dalam hal biaya, serta memiliki waktu pembangunan yang cepat. Beton modular pracetak adalah solusi tepat untuk mendukung target pemerintah dalam penyediaan perumahan berkualitas dan terjangkau bagi masyarakat.
Sistem modular beton Merah Putih juga telah mengadopsi teknologi dan bahan ramah lingkungan yang semakin dibutuhkan dalam pembangunan masif dan berkelanjutan, sesuai dengan kebijakan pemerintah untuk pelaksanaan proyek nasional
“Solusi Prefabricated Modular Concrete akan mengurangi waktu dan biaya pembangunan secara signifikan, sehingga sangat relevan dan tepat untuk implementasi berbagai proyek hunian di kawasan perkotaan yang memerlukan pembangunan cepat dengan biaya terjangkau, seperti program 3 juta rumah ini,” sebut Akhmad. (MRI)
Sumber : https://www.industriproperti.com/nasional/program-3-juta-rumah-cerah-2025/