LEADERSHIP

Transformasi Kepemimpinan

Administrator | Rabu, 12 Juli 2017 - 10:12:07 WIB | dibaca: 4443 pembaca

Oleh: Dharmesti Sindhunatha Founder - EQlibrium

Kita semua tahu bahwa Transformasi Kepemimpinan dalam satu organisasi adalah satu proses yang tidak bisa kita hindari. Tapi seberapa efektif satu organisasi bisa melakukan proses perubahan kepemimpinan, sering menjadi tantangan. Bahkan  riset mengatakan bahwa dua pertiga proses transformasi dalam organisasi mengalami kegagalan. Transformasi kepemimpinan akan sangat berdampak kepada sistem manajemen dan budaya organisasi yang berjalan. Dan perubahan ini sangat rentan dengan resistensi sehingga akhirnya menimbulkan gejolak yang berpotensi menurunkan produktifitas organisasi.

Apa usaha yang bisa kita lakukan agar proses transformasi kepemimpinan dapat berjalan seiring dengan produktifitas yang diharapkan?

1. Pendekatan “Bottom – Up” dan “Top-Down”

Proses “Bottom-Up” dalam satu transformasi kepemimpinan adalah dimana pemimpin melakukan komunikasi dengan karyawan di semua level.  Cari tahu apa yang menjadi harapan, ekspektasi, dan kekhawatiran mereka. Proses ini juga untuk mengetahui kelemahan, kekuatan dan potensi dari anak buah. Komunikasi ini bisa dilakukan dengan mengkombinasikan berbagai cara, misalnya membentuk  task force,  survey,   focus  group,  pertemuan  one-on-one, dan sebagainya.

Seluruh informasi yang diperoleh menjadi modal yang sangat penting bagi pemimpin dalam mencanangkan strategi organisasi yang didukung oleh seluruh karyawan. Dan srategi yang dihasilkan dari proses Bottom-Up ini hanya akan bisa berjalan suskes bila terjadi proses  Top-Down yang konsisten. Komitmen Pemimpin dalam menjalankan rencana, kebijakan dan strategi perusahaan akan menciptakan motivasi,  sense of belonging dan kepercayaan karyawan kepada organisasi dan pemimpinnya.

2. Sadari dampak perubahan

Dalam proses transformasi kepemimpinan, sangat penting pemimpin menyadari dampak perubahan yang sering berkontradiksi satu sama lain. Misalnya, eksekusi strategi yang baru akan memicu semangat pembaharuan yang bisa menimbulkan gejolak dan hal ini bisa berkontradiksi dengan keinginan karyawan untuk bekerja dengan situasi yang stabil. Konflik lain yang bisa muncul adalah keinginan untuk ber Inovasi dengan cepat dan kebutuhan karyawan untuk beroperasi dengan regulasi yang jelas. Atau digitalisasi versus padat karya demi terciptanya keadilan sosial.

Berbagai situasi paradoks ini harus disikapi dengan komunikasi terus menerus yang terbuka dan transparan sehingga seluruh karyawan merasa terlibat dan diikutsertakan dalam mencari solusi terbaik. Proses ini tidak mudah dan tidak secara instan mengatasi ketegangan yang muncul tetapi karyawan akan merasa didengar, mempunyai informasi yang up to date sehingga bisa secara pro-aktif bekerja sama untuk mencapai tujuan organisasi.

3. Bentuk Champion Team

Pemimpin tidak bisa bekerja sendiri. Untuk organisasi yang sudah cukup besar, diperlukan koordinasi untuk memastikan transformasi berjalan secara menyeluruh. Ciptakan champion Team di berbagai level yang bisa menjadi duta perusahaan dalam mengkomunikasikan dan mengeksekusikan strategi perusahaan.

4. Tingkatkan kemampuan organisasi

Transformasi kepemimpinan yang memunculkan strategi baru harus juga dibarengi dengan peningkatan sumber daya organisasi untuk bisa berhasil. Peningkatan sumber daya ini bisa berupa peningkatan kapital, perbaikan sistem dan proses, serta membangun potensi sumber daya manusianya dari sisi teknis maupun dalam hal mengelola emosi untuk dapat berkomunikasi dan berkolaborasi secara efektif.

5. Proses belajar yang berkesinambungan

Sering rencana dan strategi organisasi hanya sebuah retorika semata. Karena dalam kenyataannya proses eksekusi memerlukan pemimpin yang mempunyai komitmen tinggi untuk terus menerus melakukan proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang melibatkan seluruh unsur organisasi. Secara konsisten dan rutin menganalisa keberhasilan dan kegagalan. Mengakui apabila terjadi kesalahan dan melakukan langkah-langkah perbaikan, bukan lari dari masalah dan bersikap defensif.

Kemampuan untuk melakukan proses “planning, acting, reflecting–and planning again” menunjukan jiwa kepemimpinan yang sebenarnya.

Melaksanakan langkah-langkah diatas dengan melibatkan seluruh karyawan sebagai satu usaha bersama akan menimbulkan sikap optimis dan daya juang yang tinggi dari seluruh jajaran organisasi dalam menghadapi tantangan selama proses transformasi kepemimpinan berlangsung.