Regulasi

Terbukalah dan Toleransi

Administrator | Senin, 16 Mei 2016 - 14:33:28 WIB | dibaca: 3423 pembaca

Mualim wijoyo, Ketua Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Rumah Susun Indonesia (P3RSI)

Berbagai persoalan dalam pengelolaan rumah susun atau apartemen sedikit demi sedikit mulai terselesaikan. Setidaknya, ada tiga hal mendasar dalam pengelolaan rumah susun yang selama ini kerap jadi sumber konflik antara penghuni rumah susun dan badan pengelola rumah susun, yang sudah disepakati.

Ketiga hal itu persoalan service charge atau iuran pengelolaan lingkungan, skema pembayaran listrik dan skema kepengurusan Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (P3RSI).

Menurut Mualim Wijoyo, Ketua P3RSI, solusi atas persoalan service charge itu sebenarnya sederhana, yakni ada keterbukaan dan transparansi dari pengelola gedung kepada pemilik dan penghuni unit di gedung tersebut dalam hal biaya pengelolaan gedung, seperti biaya keamanan, kenyamanan, berbagai fasilitas, lift, pompa air dan sebagainya.

Dasar hukum dari penarikan IPL ini, di antaranya adalah UU No 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun dan Peraturan Pemerintah No 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun.

“Persoalan service charge ini umumnya marak terjadi di Rusunami. Karena merupakan rumah susun bersubsidi, pemilik dan penghuni umumnya beranggapan iuran pengelolaan gedungnya murah,” kata Mualim saat dihubungi, Jumat, 19 Februari 2016.

Padahal, iuran pengelolaan gedung itu terlepas dari bersubsidi atau tidaknya. Pasalnya, besaran iuran itu tergantung pada pengeluaran untuk operasional pengelolaan dan perawatan gedung dibagi luasan gedung keseluruhan. “Maka otomatis, semakin luas unit yang dihuni, semakin besar iurannya,” ujarnya.

Mualim berharap, untuk minimalisir ketidakpuasan yang berujung konflik dengan pemilik atau penghuni unit rumah susun, pengelola harus transparan dan siap diaudit dalam pengelolaan iuran tersebut.

Dalam hal skema pembayaran listrik di rumah susun, dikatakan Mualim, pemerintah, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 31 Tahun 2015 tentang Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Bangunan Dalam Kawasan Terbatas, yang dalam hal ini antara lain gedung perkantoran dan unit rumah susun atau apartemen.

Pada aturan yang berlaku sejak Oktober 2015 tersebut, bila badan pengelola mengambil keuntungan dalam hal penarikan iuran listrik dari masing-masing unit, maka badan pengelola rumah susun harus mempunyai Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (IUPTL).

Terkait bedanya tarif listrik antara yang dikenakan badan pengelola rumah susun dengan yang dikenakan PLN, menurut Mualim, hal itu karena badan pengelola juga harus menyediakan fasilitas listrik di area bersama, seperti koridor, taman, tempat parkir dan area yang dipergunakan bersama lainnya.

“Lagi-lagi ini dituntut keterbukaan dan transparansi dari badan pengelola rumah susun untuk memberi informasi dan kejelasan mengenai komponen pembiayaan listrik tersebut,” katanya.

Ke depan, PLN berencana menerbitkan rekening tagihan langsung ke pemilik atau penghuni unit rumah susun, tentunya dengan tetap memperhitungkan biaya yang dikeluarkan badan pengelola rumah susun. Selama ini, PLN menerbitkan rekening tagihan hanya untuk badan pengelola dan badan pengelola menerbitkan rekening listrik sendiri untuk penghuni atau pemilik unit rumah susun. “Ini untuk standarisasi rekening tagihan listrik,” ungkapnya.

Sedangkan persoalan kepengurusan P3RSI, ditegaskan Mualim, mewakili penghuni atau pemilik unit rumah susun. Kalaupun ada pegawai dari pengembang yang membangun rumah susun tersebut menjadi pengurus P3RSI adalah mewakili pribadi masing-masing. Namun, diakui Mualim, pengembang rumah susun mempunyai hak menempatkan wakilnya di P3RSI bila di rumah susun tersebut masih ada unit yang belum terjual dan masih menjadi milik pengembang. “Wakil pengembang di P3RSI tersebut semata-mata untuk menjaga aset pengembang yang belum terjual.”

Namun, ditegaskan pula oleh Mualim, keberadaan wakil pengembang di P3RSI ada manfaatnya, yakni bila terjadi sesuatu hal mengenai gedung rumah susun itu, misalnya, runtuh, bocor, kebanjiran, atau lainnya. “Kalau tidak ada perwakilan pengembang, siapa yang tanggung jawab bila terjadi hal-hal seperti itu,” jelasnya.

Tak hanya soal regulasi seperti hal-hal tersebut di atas, tinggal di rumah susun juga dihadapkan pada persoalan etika bergaul, dan tata tertib yang tentunya berbeda dengan pemukiman rumah tapak. Ketika seseorang atau satu keluarga memutuskan untuk tinggal di rumah susun atau apartemen, ada tata tertib tertulis dan tidak tertulis yang wajib disepakati, misalnya tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan selama tinggal di rumah susun.

“Misalnya, harus sepakat tidak boleh memelihara anjing atau binatang piaraan, tidak boleh menyetel TV atau musik keraskeras dan lainnya, bila ada tamu ingin berenang diperbolehkan asal didampingi penghuni rumah susun.”

Selain menyepakati hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan, penghuni rumah susun juga dituntut untuk memiliki toleransi dan tenggang rasa yang tinggi. Hal ini karena secara fisik, unit-unit di rumah susun saling berdampingan, baik ke kiri, ke kanan, ke atas dan ke bawah.

Mualim agak membantah anggapan, bahwa penghuni rumah susun atau apartemen cenderung individualis dibanding yang tinggal di rumah tapak. Menurutnya, kehidupan saat ini memang menuntut suami istri sama-sama kerja dan pulang malam sehingga sedikit waktu untuk bergaul dengan tetangga.

“Pengalaman saya tinggal di apartemen, kembali ke orangnya masing-masing, kalau pada dasarnya seseorang itu senang bergaul, ya tinggal di apartemen pun ia pasti tetap bergaul dengan sesama penghuni lainnya,” terangnya.

Di beberapa apartemen dan rumah susun, dibentuk paguyuban penghuni yang mengadakan berbagai kegiatan, seperti gathering, sekadar kumpul-kumpul dan lainnya.  

Namun Mualim mengakui ada sedikit perbedaan antara apartemen kelas menengah ke bawah dan kelas menengah ke atas. “Kelas menengah ke bawah cenderung lebih banyak mengeluh akan kehidupan di apartemen atau rumah susun karena bisa disebut, di rumah susun kelas menengah ke bawah itu lebih crowded, lebih tidak nyaman.”