GAGASAN

Tapera: Waspadai Tikungan Zaman, Patuhi Rambu Hukum!

Administrator | Jumat, 23 Oktober 2020 - 14:03:04 WIB | dibaca: 493 pembaca

Foto: Istimewa

Oleh: Muhammad Joni, SH, MH, Managing Director Smart Property Consulting (SPC), Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute), dan Managing Partner Law Office Joni & Tanamas


Tahniah Tapera. Setelah ditunggu lama, PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) akhirnya terbit juga. Mengingat, PP Nomor 25 Tahun 2020 ini sudah telat dari tenggat waktu dua tahun sejak 2016.

Pun, terbitnya PP Tapera di tengah kondisi pandemi Covid-19 memberi “tanda” agar kita cermat membaca tantangan sosial-ekonomi tak terduga yang mungkin akan “melanda” Tapera.

Diundangkan 20 Mei 2020 menjelang Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah, PP Tapera seakan berkata tanpa suara: ‘walau pandemi melanda, peraturan tetap harus diterbitkan’. Analog adagium ‘walau langit runtuh, hukum harus ditegakkan’.

Jika memakai sosiologi pemikiran (meminjam sosiology of knowledge dari Karl Mannheim dalam buku ‘Ideologi dan Utopia’) pada masyarakat yang kini terimbas efek pandemi, akankah gejala Tapera itu berat? Sebab, tarif simpanan 3% dari upah/ gaji/penghasilan (Pasal 15 PP Tapera), dan pembiayaan Tapera yang dikhususkan hanya untuk segmen masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), belum memiliki rumah, dan rumah pertama.

Atau logikanya dibalik-optimistik, bahwa pandemi Covid-19 adalah momentum 100-an tahun yang menyuruh orang-orang di rumah saja itu, mewantiwanti akan urgensinya sistem pembiayaan termasuk perumahan?

Bak tikungan jalan lintas Sumatera yang membutuhkan ketelatenan, kewaspadaan dan kecermatan tingkat tinggi, maka sentosa mengelola Tapera musti tabah dan loyal pada rambu-rambu hukum yang ada. Dengan kepatuhan hukum yang ketat, kiranya banyak persoalan menanti institusi produk UU Nomor 4 Tahun 2016 (UU Tapera) yang menjadi “integrator” sistem pembiayaan perumahan rakyat itu.

Ini sekaligus menjadi peluang membuktikan ketangguhan Tapera. Ibarat tamsil kelok tajam tikungan zaman, maka pengelolaan Tapera perlu piawai menunggang gelombang, berpengalaman serbaserbi lapangan, dan patuhi “abc-xyz” regulasi. Bila perlu dikawal navigasi corporate lawyer dan litigator yang teruji ikhwal kompetensi.

Sejak awal, pelembagaan Tapera memang terbebani agenda transformasi sistem kelembagaan, wewenang dan regulasi. Juga, kekayaan dan perbendaharaan, sistem subsider mekanisme kerja dan bisnis model, organisasi dan sumberdaya manusia.

Meski seberat itu, saya percaya mission standing penting itu (bukan sekadar pekerjaan) tidak akan dikeluhkan otoritas Tapera. Betapa tidak, karena UU Tapera bukan mulai dari nol. Bukan pula satu tenaga mesin malah tiga mesin sekaligus yakni Komisioner, Komite dan Badan Pengelola (BP).

Tapera akan mengambil alih pembiayaan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dan aset Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Taperum PNS) yang dikelola Bapertarum PNS (vide Pasal 61 ayat (1) UU Tapera). Ambil-alih dan melikuidasinya memiliki ikhtiar tersendiri. Berikut ujian perdana pengerahan iuran pekerja dan pemberi kerja menjadi Dana Tapera.

Mengemban tugas integrasi institusi pembiayaan perumahan itu berat, apalagi pada era perdana, maka pastilah makin berat. Walau di sisi lain, masih ada pembiayaan sejenis misalnya BPJS Ketenagakerjaan (Naker) dengan skim layanan tambahan –yang belum menyatu ke Tapera. Ya, sejarah Tapera memang berliku sejak pembahasan RUU pun sampai disahkan ketuk palu sebagai UU.

Sejak separo hari pertama pengesahan UU Tapera, publik dan stakeholder belum reda meng-kritisi UU Tapera. Sempat suara kencang hendak menguji UU Tapera itu. Kritik atas masuknya Manajer Investasi (MI) yang usaha komersial ke badan publik Tapera yang berasas nirlaba. Juga, tidak adanya wakil unsur pekerja dan pemberi kerja (sebagai pemilik dana amanat) pada Komite Tapera. Sebab, jika dibandingkan dana amanat BPJS Naker, ada representasi pekerja dan pemberi kerja.

Kritisi lain menyangkut ikhwal unsur Otoritas Jasa Keuangan (OJK) –yang mustinya melakukan pengawasan--justru masuk ke dalam Komite Tapera (vide Pasal 54 ayat (1) huruf d UU Tapera). Soal ini, kiranya tikungan zaman yang perlu disikapi jeli, sebab sewaktu-waktu bisa berujung pada pengujian materil UU Tapera ke Mahkamah Konstitusi.

Soal laten itu bisa mencuat seketika tatkala kinerja Tapera tidak kinclong-mencorong, abai MBR, atau kurang perform dibandingkan pendahulunya. Ya, poin ini memang sebaiknya tidak diabaikan atau dianggap angin lalu.

Tabrakan Frontal
Jangan pula dilupa, bahwa amanat pembentukan UU Tapera berasal dari delegasi Pasal 124 UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP). Yakni dalam rangka pengembangan sistem pembiayaan perumahan dan kawasan permukiman (vide Pasal 121 UU PKP). Sebab itu, garis“nasab” Tapera adalah UU PKP. Program Tapera tidak boleh “rabun jauh”, ahistoris, lepas rantai genetis, apalagi bertabrakan frontal dengan UU PKP.

Misalnya perlu waspada dalam hal pemupukan dana pada “bentuk investasi lain yang aman dan menguntungkan sesuai dengan peraturan perundang- undangan” (vide Pasal 21 ayat (3) huruf e dan ayat (4) huruf e UU Tapera; dan Pasal 27 ayat (2)huruf e dan ayat (3) huruf e PP No. 25/2020).

Penting diingatkan lagi, pemupukan dana Tapera dibatasi dan terikat rambu Pasal 143 UU PKP. Rambu hukum yang mengatur larangan investasi dana dari pemupukan dana tabungan perumahan cq. dana Tapera selain untuk kegiatan perumahan dan kawasan permukiman.

Dipilihnya istilah tabrakan frontal bukan tanpa alasan, karena adanya ancaman sanksi pidana atau denda berdasarkan Pasal 160 UU PKP. Godaan investasi di luar kepentingan perumahan dan permukiman berikut ancaman sanksi hukum pidana versi Pasal 143 UU PKP itu adalah rambu tikungan zaman. Patuhilah rambu. Waspadalah, bersama “navigator” dan dukungan masyarakat!

Sebagai institusi yang lahir di tengah tikungan zaman dan PP Tapera yang terbit di era pendemik, BP Tapera, Komite Tapera, Komisioner Tapera musti ekstra tangguh menjawab kompleks permasalahan pembiayaan perumahan rakyat, baik pengerahan, pemupukan maupun pemanfaatan.

Akankah trio-tenaga mesin Tapera itu bagaikan “super hero” budiman yang mengatasi soal warga Tapera? Bukan dengan cara biasa-biasa, namun proaktif, lugas, tuntas dan lekas. Sebab, institusi itu berurusan dengan amanat konstitusi dan hak asasi manusia atas tempat tinggal, serta kepentingan publik subsider MBR.

Demi aman dari tikungan zaman dan berbuah sejarah cerah, maka otoritas Tapera tidak bisa hadir dengan performa yang sekadar ada juncto biasa-biasa!

Ekspektasi masyarakat di tengah deru kritik dan tikungan zaman itu menuntut trio-tenaga mesin Tapera plus Manajer Investasi, Bank Kustodian, Bank atau Perusahaan Pembiayaan yang dibunyikan dalam UU Tapera, musti tangkas dalam soal pemanfaatan dana Tapera. Demi meluasakan seluas-luasnya pembiayaan perumahan MBR formal dan informal, bukan melulu demi menggemukkan aset dan pemupukan dana Tapera belaka.

Malahan patut membuat kebijakan afirmatif pada kelompok MBR informal --yang dari era ke era tersisih dibanding MBR formal. Jangan menunggu MBR informal mendaftar via aplikasi Tapera! Pro-aktif jemput bola. Mengapa?

Sebab, soal Tapera ini mandat konstitusi, HAM, kepentingan publik, perintah UU PKP --yang bukan dalam relasi business as usual belaka. Meski pun, jangan salah sangka potensi MBR informal itu tidak kecil, jika merujuk Hernado de Soto.

Jangan pula MBR informal yang selama ini tersisih dibandingkan MBR formal, ehh..., dengan program Tapera pelayanan kepada MBR informal terus tertunda. Apalagi segmen MBR informal tercecer sejak tahun pertama operasi pelayanan pembiayaan Tapera. Apa kata rakyat nanti!, jika meminjam istilah Proklamator Bung Hatta.

Paragraf itu bermaksud “watawashau bil haq” dan bukan tanpa alasan. Tersiar pernyataan pers Komisioner BP Tapera yang berbunyi: “pelayanan Program Tapera tahap awal akan difokuskan pada PNS eks peserta Taperum-PNS maupun PNS baru”. Tidak dijelaskan maksud pelayanan itu kepesertaan atau fokus pembiayaan Tapera?

Jika yang dimaksudkan pembiayaan perumahan Tapera, maka soal itu menambah lagi tikungan buatan Tapera. Mengapa? Karena lagi-lagi mengabaikan MBR informal yang patut diduga bertendensi vis a vis asas. larangan nondiskriminasi, juncto senjang dari asas keadilan dan pemerataan (vide Pasal 2 huruf b UU PKP). Hak konstitusional bertempat tinggal dalam UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) melekat dengan frasa setiap orang (for all). Penting dicatat, asas nondiskriminasi diakui universal dalam setiap dokumen/instrumen HAM internasional utama.

Kepastian target sasaran dengan asas berkeadilan dan pemerataan itu penting. Sulit menerima alasan sumir jika otoritas Tapera memulai agenda perdana yang lebih mudah. Bukankah wewenang besar dan triotenaga mesin dan tiga lembaga penunjang diberikan UU Tapera? Pun, hal itu musti terbit sebagai kebijakan Komite Tapera (Pasal 57 huruf a UU Tapera) dengan aktif meminta masukan para pihak berkepentingan (stakeholder) untuk pemanfaatan dana amanat itu. Maaf, bukan dengan siaran pers sepihak saja.

Majelis pembaca, terbitnya PP Tapera pada momentum sekarang, dengan PSBB dan perintah aturan #dirumahaja di tengah kausal pendemi Covid-19, hal itu menjadi hikmah dan alibi milenium yang menasihati negeri ini. Bahwa walaupun tugas Tapera itu berat, pembiayaan perumahan bagi MBR adalah musti, musti, dan musti! Bukan utopia, jangan tunda kegembiraan MBR itu. Tabik.