Regulasi

Payung Hukum Disiapkan

Skema KPBU Perumahan Ditargetkan Berlaku Tahun Depan

Administrator | Selasa, 26 Februari 2019 - 15:14:08 WIB | dibaca: 790 pembaca

Sekretaris Direktorat Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR, Dadang Rukmana, mengungkapkan saat ini konsep KPBU sedang dimatangkan sehingga dapat mulai diberlakukan pada tahun depan guna mengoptimalkan pemanfaatan lahan untuk dibangun rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

“Kami mengupayakan skema ini tahun depan sudah bisa berjalan. Saat ini studinya masih berjalan dan kami terus mengidentifikasi lahan-lahan yang ada untuk dikerjasamakan,” kata Dadang kepada Majalah RealEstat, baru-baru ini.

Setidaknya, ujar dia, sudah ada 38 lahan yang sangat mungkin untuk dikembangkan menjadi perumahan rakyat dengan skema KPBU. Lahan-lahan tersebut berlokasi di seluruh Indonesia, mayoritas ada di perkotaan dan sekitar perkotaan, bahkan beberapa ada di lokasi primer.

Secara pribadi, Dadang mengaku sangat terbuka agar pengembang swasta bisa berperan dalam pengembangan lahan-lahan tersebut. Lelang bisa dibuka baik kepada swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti yang sudah dilakukan pemerintah untuk pembangunan jalan tol.

“Sekarang masih feasibility study (FS) dan kalau memang bisa baru market sounding. Karena itulah pengembang perkotaan juga sangat dimungkinkan, bukan hanya rumah tapak, namun mixed use development,” papar dia.

Payung Hukum
Mengenai payung hukum KPBU bidang perumahan ini, disebutkan Dadang, masih disusun dan direncanakan dalam bentuk peraturan presiden (Perpres). Selain mengatur konsep kerjasama, di dalam Perpres ini juga akan diatur posisi Perumnas sebagai BUMN di bidang perumahan sebagai badan yang akan mengelola apartemen yang dimiliki pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah.

Sementara itu, Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR Khalawi Abdul Hamid, mengungkapkan pembangunan dengan sinergi KPBU dapat menghemat uang negara. Karena selama ini pemerintah telah memiliki aset negara, namun belum dimanfaatkan.

Menurut dia, kemungkinan pola skemanya akan mencontoh KPBU yang sudah berlangsung lebih dulu di Direktorat Jenderal Bina Marga dan Cipta Karya. “Minimal tiga pilot project-nya yang akan dijalankan, mungkin pertama di Pontianak,” sebut Khalawi.

Dikatakan, banyak area bekas tambang yang sudah tidak digunakan lagi di Kalimantan. Khalawi menilai, lebih baik di lokasi tersebut dibangun perumahan untuk MBR.

Selain di Pontianak, Khalawi juga mengungkapkan kemungkinan kerjasama dengan Realestat Indonesia (REI) di Jonggol, Jawa Barat dengan lahan sekitar 180 hektare (ha). Ada pula di Bogor tanah seluas 33 ha milik Kementerian PUPR yang akan dibangun pihak swasta.

Lahan ketiga yang disiapkan adalah milik Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung seluas 2 ha. Karena lahannya yang kecil, kata Khalawi, sangat cocok dijadikan proyek percontohan untuk KPBU di bidang perumahan.

“Saat ini sudah banyak yang tertarik, dari luar negeri misalnya ada China dan Korea Selatan. Namun kami akan dahulukan pengembang lokal,” tegas dia. Terkait payung hukum yang sedang disiapkan, nantinya akan mengatur bagaimana badan usaha membangun kawasan tersebut.

Pasalnya, menurut Khalawi, swasta tentu tidak mau kalau hanya membangun rumah untuk MBR, sehingga regulasi yang akan dibuat juga akan mengakomodir mengenai pengembalian investasi yang sudah dikeluarkan oleh investor swasta.

Kementerian PUPR akan terus melakukan sosialisasi kepada asosiasi pengembang, BPKM, dan Kementerian ATR/BPN.

Sementara itu, Ketua Umum DPP REI Soelaeman Soemawinata mengatakan skema KPBU yang disiapkan Kementerian PUPR juga bisa dikembangkan bukan hanya untuk proyek-proyek yang bersifat rumah rakyat, namun juga di sektor komersial.

“Karena saat ini masih dalam kajian, maka kajiannya dapat diperluas dengan menambah aspek pertumbuhan ekonomi sebagai tolak ukurnya. Sehingga bisa lebih luas, KPBU bukan hanya untuk rumah rakyat, tapi juga komersial,” ungkap Eman, demikian dia akrab disapa.

Misalnya, pemerintah bekerjasama dengan swasta untuk memanfaatkan lahan yang dimiliki di tengah kota menjadi area komersial maupun apartemen mewah. Eman mengaku, harga lahan tinggi menjadi tantangan terbesar bagi sebagian besar pengembang. Oleh karena itu, pengembang sulit menghadirkan rumah dengan harga terjangkau hanya untuk MBR.

Lain halnya bila lahan di tengah kota dikerjasamakan untuk sektor komersial, maka pemerintah dan swasta dapat saling menghitung potensi keuntungan yang diperoleh dengan sistem bagi hasil.

“Dihitung baik secara skema keuangan yang clear saja. Dan itu returnnya seperti apa kepada pemerintah, karena di areal situ kan tidak mungkin untuk masyarakat bawah. Kita apartemen juga mau seperti itu, tapi kalau sasaran utama untuk MBR juga tidak ada masalah,” tutur dia.

Menurut Eman, dengan memasukkan pertumbuhan ekonomi sebagai tolok ukur, maka hal ini akan sejalan dengan keinginan pemerintah dalam menambah lapangan kerja baru bagi masyarakat. (Teti Purwanti)