RISET

Perlambatan Ekonomi, Gedung Perkantoran Diluar CBD Kini Jadi Pilihan

Administrator | Rabu, 30 September 2020 - 15:44:10 WIB | dibaca: 696 pembaca

Foto: Istimewa

Gedung perkantoran di luar kawasan Central Business District (CBD) Jakarta bisa menjadi pilihan bagi perusahaan-perusahaan baru di tengah situasi perlambatan ekonomi dunia yang kini terjadi.

Selain karena biaya operasional yang lebih rendah dibandingkan dengan yang ada di area CBD, beberapa kawasan non-CBD sekarang telah memiliki akses dan koneksi yang cukup baik ke CBD dengan beroperasinya mass rapid transport (MRT).

“Beroperasinya MRT mendorong banyak perusahaan mencari ruang kantor di kawasan non-CBD di masa mendatang karena akses menjadi lebih mudah. Terlebih lagi di tengah situasi ekonomi global yang kurang baik, termasuk ekses dari merebaknya pendemi CoronaVirus,” kata Kepala Riset dan Konsultasi Savills Indonesia, Anton Sitorus kepada Majalah RealEstat, baru-baru ini.

Perusahaan riset properti itu memperkirakan ada sekitar 431.000 meter persegi ruang kantor baru di luar CBD hingga 2023. Itulah mengapa kawasan non-CBD akan menjadi pilihan utama bagi banyak perusahaan baru yang ingin berkantor di Jakarta.

Sebagian besar pasokan perkantoran baru di kawasan non-CBD berlokasi di Jakarta Pusat yakni sebesar 36%, disusul Jakarta Selatan (35%), Jakarta Utara (18%) dan Jakarta Barat (10%). 

“Kami melihat adanya agresifitas pembangunan di Jakarta Selatan, sehingga ke depan kemungkinan akan menyalip Jakarta Pusat sebagai kontributor terbesar pasokan perkantoran di non-CBD Jakarta di masa mendatang,” papar Anton yang juga anggota Badan Riset DPP Realestat Indonesia (REI) tersebut.

Secara segmentasi, proyek perkantoran Grade B tetap menjadi mayoritas dengan persentase mencapai 74% dari seluruh pasokan hingga 2023. Sekitar 25% masuk kategori Grade A sedangkan sisanya diklasifikasikan sebagai Grade C.

Di sisi permintaan, perusahaan-perusahaan berbasis teknologi seperti fintech, e-commerce dan co-working operator diperkirakan masih akan menjadi pasar terbesar, bahkan diperkirakan akan memperluas penggunaan ruang kantor di non-CBD Jakarta.

“Dari pasokan baru sekitar 431.000 meter persegi itu, lebih dari setengahnya akan masuk di tahun ini,” ujar Anton.

Harga Sewa
Dia menambahkan, stok yang melimpah belum diikuti dengan permintaan pasar. Akibatnya, harga sewa ruang kantor di non-CBD diproyeksikan akan tetap di bawah tekanan dalam jangka pendek. 

Savills memproyeksi harga sewa perkantoran di non-CBD akan bergerak naik di 2021 dan secara bertahap meningkat di periode berikutnya antara 2%-6% per tahun.

Di 2019, secara keseluruhan sewa rata-rata ruang kantor di non-CBD stabil di kisaran Rp127.000 per meter persegi per bulan. Permintaan yang lemah sepanjang tahun lalu membuat pengelola sangat konservatif terkait harga sewa.

Jakarta Selatan menikmati tarif sewa tertinggi dibanding wilayah non-CBD lainnya dengan kisaran sewa Rp 144.800 per meter persegi per bulan. Sedangkan di Jakarta Barat, rata-rata berkisar Rp 118.600 per meter persegi per bulan. 

Kemudian Jakarta Pusat Rp 101.400 per meter persegi per bulan, dan Jakarta Timur terendah yakni Rp 87.500 per meter persegi per bulan.

“Sementara terjadi penurunan sewa di Jakarta Utara sebagai proses penyeimbangan pasar setelah sewa sempat melonjak di 2018. Tahun lalu sewanya sekitar Rp 109.700 per
meter persegi per bulan,” ungkap Anton.

Pasokan Membaik
Sepanjang 2019, pasokan gedung kantor di non-CBD lebih tinggi dibandingkan 2018. Setidaknya ada tujuh perkantoran baru yang selesai pada tahun lalu, dengan total luas 144.600 meter persegi.

“Lebih tinggi dibandingkan pasokan di 2018 karena saat itu banyak proyek yang sempat tertunda penyelesainnya,” kata Anton.

Beberapa proyek perkantoran baru di non-CBD Jakarta adalah One Belpark Office Tower, Midpoint Place, Salim & ASG Office HQ, Pakuwon Tower, Waskita Rajawali Tower, HK Office Tower dan Citra.

North Tower. Empat proyek diantaranya berlokasi di Jakarta Selatan, sisanya di wilayah lainnya.

Dari sisi lokasi, sepanjang 2019 pasokan memang didominasi wilayah Jakarta Selatan dengan persentase 55% dari total pasokan. Disusul Jakarta Barat (16%), Jakarta Pusat 15%, Jakarta Utara sekitar 13% dan Jakarta Timur hanya 1%.

Penyerapan bersih (net take up) keseluruhan pada 2019 mencapai total sekitar 76.500 meter persegi, sedikit lebih rendah dibandingkan 2018. Penyerapan bersih tertinggi tercatat di Jakarta Selatan yakni sekitar 55% dari total net take up 2019.

“Penyerapan di Jakarta Selatan tertinggi tahun lalu, khususnya di sepanjang jalan TB Simatupang. Koridor ini memang dianggap sebagai yang paling populer di non-CBD Jakarta untuk perkantoran. Suplai dan permintaannya tetap kuat namun juga relatif ketat,” rinci Anton.

Selanjutnya, penyerapan tertinggi ada di Jakarta Pusat sekitar 22% dari total penyerapan bersih. Disusul Jakarta Barat, Jakarta Utara dan Jakarta Timur.

Perluas Ruang
Sementara itu, di 2019 sejumlah operator ruang kerja bersama (co-working space) telah memperluas portofolio mereka di area non-CBD.

Diantaranya adalah UnionSpace, GoWork, CoHive, Connext, Kolega, dan WeWork. WeWork membuka cabang pertama di non-CBD di Jakarta Selatan dengan menempati ruang seluas 4.000 meter persegi.

Memang, dalam beberapa tahun terakhir aktivitas co-working space berkembang pesat di tengan tren pola bekerja yang berubah terutama dari para generasi milenial.

“Generasi muda lebih suka ruang kerja bersama dibandingkan kantor konvensional karena dapat mengakomodasi gaya hidup mereka yang lebih fleksibel dan kreatif. Mereka suka desain ruang dan tata letak yang modern, dan fasilitas semuanya disediakan di tempat kerja,” kata Anton.

Meski demikian, menurut Savills Indonesia, model bisnis ini belum terbukti keberlanjutannya di Indonesia karena secara umum kinerja dari operator co-working space dari sisi keuntungan belum memuaskan. Situasi itu antara lain diperlihatkan dari kegagalan WeWork untuk go public di 2019.

Saat ini, bisnis co-working space masih dapat berlanjut karena didukung oleh dana yang cukup dari investor.

Selain itu, penyedia juga mencoba mengurangi biaya pemeliharaan melalui kerjasama dengan pengelola atau pemilik gedung. Antara lain pemilik gedung menyiapkan ruangannya, sedang operator co-working bertanggungjawab atas operasionalnya. Keuntungan kemudian akan dibagi sesuai dengan perjanjian mereka. (Rinaldi)