ISU PASAR

Optimisme Pasar Properti Membaik di Paruh Kedua 2017

Administrator | Kamis, 19 Oktober 2017 - 11:00:39 WIB | dibaca: 880 pembaca

Terkendalinya tingkat inflasi 5,1% persen dengan nilai tukar rupiah yang bercokol di level Rp13,200 per dollar Amerika Serikat diyakini bakal memperkuat sinyal perbaikan ekonomi nasional pada Semester II 2017.

Kondisi ini menambah optimisme sejumlah kalangan bahwa sektor properti dan perbankan di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) segera tumbuh signifikan.

Ke depan tidak ada alasan bagi industri properti di Jabodetabek tetap lesu darah, seiring masih tingginya tingkat kebutuhan rumah dengan angka backlog (kesenjangan antara kebutuhan dan pasokan) rumah sebesar 11,38 juta unit di tahun 2015, ditambah berbagai kemudahan transaksi seperti bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) single digit dan down payment (DP) ringan hingga di bawah 5%. Bahkan, kolaborasi perbankan dan developer pada sejumlah proyeknya berani menawarkan DP 0%.

Wakil Pemimpin Divisi Penjualan Konsumer PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk, Yuki N Winanto menyebut bahwa kondisi tersebut merupakan peluang tersendiri bagi developer. Sebab, industri properti memiliki potensi besar untuk segera bangkit.

“Bagi industri perbankan sendiri, saat ini prosentasi KPR merupakan yang terbesar dibandingkan dengan kredit sektor lainnya,” sebutnya dalam diskusi Indonesia Housing Forum: “Peluang dan Tantangan Industri Properti di Jabodetabek Semester II-2017” di Hotel Ambahara, Jakarta Selatan, baru-baru ini.

Yuki tidak menyangkal bila selama ini antara satu bank dengan lainnya menawarkan KPR dengan platform dan bunga yang berbeda. Sebab, sumber dana yang didapat masing-masing bank juga berbeda. “Mustahil bank mau merugi, memberikan kredit dengan bunga dibawah cost off fun (biaya dana) yang mereka dapatkan dari pihak ketiga,” imbuhnya.

Pernyataan yang sama diungkapkan Sutadi Prayitno, Kepala Divisi Konsumer PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Dia memprediksi bahwa industri properti nasional ke depan bakal tumbuh sebesar 12%-13% seiring dengan kian jelasnya tanda-tanda perbaikan ekonomi. “Bila optimisme industri properti secara bertahap dan konsisten bisa diwujudkan mulai paruh kedua tahun ini, diharapkan backlog rumah akan tuntas pada 2030 mendatang,” katanya.

Sutadi mengungkapkan, selama ini pihaknya terus berupaya mengatasi stagnasi pasar yang terjadi di beberapa wilayah. Selain menawarkan program-program yang lebih kreatif dan inovatif kepada nasabah, kini layanan KPR Bank BRI juga menyebar lebih luas ke hampir 500 kantor cabang di seluruh Indonesia.

Hasilnya terbilang fantastis, dimana sepanjang periode Januari – April 2017, portofolio KPR-nya meningkat hingga dua kali lipat dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. “Tahun lalu angka KPR kami masih sebesar Rp400 – 500 miliar per bulan, selama empat bulan ini rata-rata mencapai Rp850 – 950 miliar per bulan,” imbuhnya.

BUTUH KREATIVITAS
Sementara Wakil Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) Mary Octo Sihombing dalam diskusi yang sama mengemukakan optimisme pasar properti di Indonesia terlebih di Jabodetabek akan terus bertumbuh.

Menurut dia ada beberapa kondisi yang dibutuhkan untuk mendorong bergeraknya sektor properti antara lain kondisi makro ekonomi yang kondusif, tingkat suku bunga kredit dan stabilitas nilai tukar, daya beli dan investment confidence, serta pembangunan infrastruktur.

“Fundamental ekonomi kita bagus, sementara pertumbuhan ekonomi secara bertahap diperkirakan akan mencapai 6% pada 2019. Ini tentu modal kuat untuk pertumbuhan sektor properti,” papar Mary Octo.

Dukungan lain yang memengaruhi pasar properti adalah political stabilitation, dimana tahapan pilkada di 100 lebih daerah yang baru saja berlangsung berjalan lancar dan aman. Hal ini, kata Mary Octo, cukup bagus karena membawa efek situasi yang lebih kondusif, sehingga membawa kepercayaan terhadap pasar properti.

Digalakkannya Program Sejuta Rumah (PSR) oleh pemerintah juga menjadi peluang bagi developer. Dengan backlog perumahan yang mencapai lebih dari 11 juta unit, diakui dia, kebutuhan hunian menengah bawah masih cukup besar. Dengan kebutuhan rumah sekitar 800.000 unit per tahun, dan pasokan setiap tahunnya hanya berkisar 300.000 unit hingga 400.000 unit, dipastikan kebutuhan hunian di Indonesia masih terbuka lebar. RIN