TATA RUANG

Negara Harus Hadir Jamin Kepastian Hukum Tata Ruang

Administrator | Rabu, 20 November 2019 - 10:32:32 WIB | dibaca: 3101 pembaca

Foto: Istimewa

Rencana tata ruang wilayah (RTRW) adalah produk kesepakatan pemangku kepentingan termasuk dunia usaha yang sudah diatur ketetapannya dalam Undang-Undang (UU) No 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang. Untuk sampai kepada peraturan daerah (Perda), setidaknya proses perencanaan tata ruang melalui tahapan kajian interdisiplin (technocratic planning), partisipasi masyarakat (participatory planning), dan legislasi dengan DPRD.


Dalam UU 26/2007 disebutkan produk rencana tata ruang disusun berjenjang namun saling mendukung (komplementer), yang terdiri dari rencana umum (berbasis administrasi wilayah), yaitu RTRW Nasional, Provinsi, Kabupaten, serta Kota; dan rencana rinci sesuai dengan tingkatan tersebut. Di level kabupaten/kota, rencana rinci tersebut dinamakan sebagai RDTR dan Peraturan Zonasi.

Sebagai sebuah produk tata ruang, ada dua muatan substantif utama, yaitu rencana struktur ruang dan pola ruang. Rencana struktur ruang memuat arahan keterpaduan infrastruktur dan pusat-pusat kegiatan, sedangkan rencana pola ruang mengatur peruntukan fungsi kawasan. Dengan masa perencanaan 20 tahun, maka rencana tata ruang merupakan instrumen utama agar tidak terjadi tumpang tindih kepentingan antar sektor dan menjamin keberlanjutan pembangunan.

Oleh karena itu, rencana tata ruang yang dihasilkan tidak hanya untuk kepentingan ekonomi, tetapi juga untuk memenuhi rasa keadilan sosial serta kelestarian lingkungan alam dan budaya.

Tidak hanya berhenti di level perencanaan, tata ruang juga mengatur bagaimana ruang tersebut dimanfaatkan dan mengendalikan pemanfaatannya agar sesuai dengan rencana tersebut. Dalam pemanfaatan ruang, hal-hal terkait persoalan pertanahan, skema pembiayaan, kerjasama antar pemangku kepentingan menjadi fokus utama, disamping memberikan panduan kepada masyarakat mengenai necara penatagunaan sumber daya alamnya, apakah sudah melampaui batas daya dukung daya tampung lingkungan (threshold) atau belum.

“RTRW yang sah sesuai perda justru adalah penjamin kegiatan investasi, sehingga kegiatan masyarakat dapat sesuai dengan peruntukan nya dan dijamin keberlanjutannya. Jadi tidak benar pernyataan yang mengatakan RTRW tidak fleksibel dan menghambat,” tegas Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan (IAP), Bernardus Djonoputro di Jakarta, baru-baru ini.

Menurut dia, banyak kegiatan masyarakat mengatasnamakan investasi, yang berujung pada pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukan. Sebenarnya, ujar Bernie (demikian dia akrab dipanggil), apabila pemerintah dan pemangku kepentingan lain mengikuti rencana tata ruang, maka seharusnya tidak menjadi permasalahan. Pemerintah dalam menetapkan rencana pembangunan lima tahun pun mengacu pada rencana tata ruang, dimana dunia usaha ikut serta dan terlibat aktif dalam proses perencanaan tersebut secara transparan, demikian pula dengan masyarakat melibatkan dirinya secara aktif.

Yang jadi masalah, jelas dia, adalah upaya pengendalian dalam pemanfaatan ruang dan pemberian ijzn, ketika usaha investasi tidak sesuai dengan rencana yang ditetapkan sebelumnya.

“Negara justru harus hadir dalam memastikan kualitas proses perencanaan tata ruang nasional melalui kerjasama dengan asosiasi profesi perencana dan sekolah perencana. Sebagai pembina, pemerintah harus menegakkan praktek yang benar, bukan justru mempertanyakaan dan membingungkan publik,” ujar Bernie.

Dia menambahkan, tantangan pembangunan ke depan harus dijawab melalui perencanaan tata ruang nasional yang berfokus pada penyelarasan daya dukung ruang, ketersediaan lahan dengan target pembangunan. Dalam tingkatan regional, bagaimana perluasan usaha industri ekstratif, seperti perkebunan, perikanan dan pertanian dalam rangka ketahanan pangan dan energi dapat sinergi dan harmonis dengan pelestarian kawasan hutan dan ekosistem pesisir, termasuk usaha pertambangan dalam kawasan hutana untuk mendukung energi bersih.

Dalam aspek perkotaan, kebutuhan rencana rinci untuk mengatur kawasan bangunan tinggi, pemanfaatan ruang bawah tanah, pembangunan infrastruktur, transportasi multi-moda yang mendorong minat investasi juga harus segera dipenuhi.

Kepastian Hukum
Setidaknya lebih dari 5.000 Rencana Detil tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi di semua kota dan kabupaten yang harus diselesaikan. Juga kebutuhan percepatan OSS sesuai RDTR dan isu terkini tentang rencana pemindahan ibukota negara harus hadir untuk merealisasikan kepastian hukum tata ruang di Indonesia.

Rencana pemindahan ibukota negara dan paket kebijakan deregulasi perizinan dan insentif dalam rangka mendorong kemudahan berbisnis di Indonesia menjadi refleksi penting bagi tata ruang ke depan.

“Tata ruang tidak boleh hanya mengikuti kemauan pasar semata, tapi justru menciptakan iklim investasi yang kondusif dengan cara mengarahkan kegiatan investasi untuk menempati ruang yang sesuai dengan prinsip keberlanjutan pembangunan,” kata Bernie.

IAP juga mengingatkan pentingnya para pejabat pelaksana baik di Bappenas maupun Kementerian Agraria Tata Ruang/BPN untuk memahami perlunya upaya harmonisasi pengaturan “pengendalian ruang” dan “perencanaan” agar tahapan pembangunannya menjadi jelas. Oleh karena itu, fokus ke depan sebaiknya diarahkan pada perencanaan ruang Indonesia yang mumpuni, yang berpihak kepada kebutuhan masyarakat, dan tata ruang menjadi panglima pembangunan dan pemanfaatan ruang.

“Pemerintah harus tegas dalam mazhab perencanaan lintas matra dan lintas sektor, menjadikan tata ruang sebagai penjamin investasi yang berkelanjutan, bukan penghambat,” kata dia.

Apabila sistem penataan ruang sekarang dinilai belum efektif dan responsif terhadap investasi, ujar dia, maka perlu upaya ekstra untuk mengajak dunia usaha memahami sistem tata ruang dan pemerintah secara proaktif menterjemahkan aturan tata ruang tersebut kepada pelaku usaha. RTRW tidak anti terhadap perubahan, tetapi malah memastikan perubahan tersebut bernilai dan bermanfaat bagi semua pihak.

Perlu Perbaikan
Memang diakui setelah lebih dari satu dekade UU penataan ruang dilaksanakan, masih banyak aturan perencanaan tata ruang yang perlu diperbaiki. Kedudukan UU Penataan Ruang yang bukan merupakan payung UU sektor (UU Kehutanan, UU Kelautan, UU Pertambangan) menumpulkan ketajaman RTRW untuk memastikan investasi di berbagai sektor tersebut aman.

Sinergi UU Penataan Ruang dengan UU infrastruktur (jalan, transportasi, air, energi, dstnya) juga belum berjalan sehingga pembangunan perkotaan dan perdesaan tidak menghasilkan kualitas ruang seperti yang diharapkan. Aturan penataan ruang dengan pertanahan juga harus dipaduserasikan untuk memastikan kendala pembangunan dapat diselesaikan secara cepat.

“Kami ada lebih dari 3,500 ahli perencanaan yang bekerja di kementerian/lembaga atau pemerintah daerah, maupun diberbagai LSM, perusahaan dan konsultan. Karena latar belakang pendidikan dan sertifikasi profesinya sama, maka saya meyakini kehadiran mereka mengawal program-program pembangunan yang relevan oleh berbagai stakeholder menjadi kunci keberhasilan,” ujar Bernie. (Rinaldi)