Regulasi

Milenial Butuh Intervensi Pemerintah untuk Miliki Rumah

Administrator | Senin, 11 Maret 2019 - 14:28:54 WIB | dibaca: 1049 pembaca

Generasi milenial atau yang lahir antara tahun 1981-1994 ternyata belum sepenuhnya menjadi perhatian pemerintah dan otoritas perbankan, sebagai sasaran kebijakan, guna bisa membeli atau memiliki rumah. Padahal, potensi pasar kelompok ini cukup besar, di sisi lain mereka adalah generasi penerus bangsa yang perlu diperhatikan oleh pemerintah.

Jumlah generasi milenial cukup signiikan. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), generasi milenial pada 2020 akan mencapai 35% dari total populasi rakyat Indonesia atau sebanyak 75 juta jiwa. Mereka juga menjadi pangsa terbesar dari angkatan kerja di Indonesia saat ini yang jumlahnya diperkirakan lebih dari 22,5 juta orang.

Ketua DPD Realestat Indonesia (REI) DKI Jakarta, Amran Nukman mengungkapkan sebenarnya perhatian pemerintah kepada generasi milenial sudah ada di beberapa sektor. Presiden Jokowi bahkan dalam beberapa kesempatan sering mengatakan kalau generasi milenial merupakan tulang punggung ekonomi Indonesia di masa depan.

Yang ironis, ada riset yang mempublikasikan kalau ternyata akibat harga rumah yang tidak sebanding dengan pendapatan kelompok milenial, maka mereka terancam tidak bisa memiliki rumah pada 2020.

“Nah, ini tentu perlu perhatian serius dari pemerintah dan otoritas perbankan. Perlu ada intervensi atau campur tangan pembuat regulasi misalnya bagaimana mereka mendapatkan insentif atau paket-paket kebijakan perumahan. Sampai sekarang belum ada intervensi dari regulator yang menyentuh pengadaan rumah bagi generasi milenial. Ini mendesak sekali,” kata Amran kepada wartawan, baru-baru ini.

Kecenderungan selama ini, spend uang generasi milenial itu berbeda dengan generasi sebelumnya. Kalau generasi sebelumnya ingin menabung dan punya aset, maka sebaliknya generasi milenial meski lebih suka menggunakan uang untuk kebutuhan gaya hidup seperti gadget, internet friendly, travelling dan sebagainya. Mereka, kata Amran, lebih suka pergi mencari tempat-tempat yang instagramable.

Oleh karena itu, dibutuhkan edukasi dan intervensi pemerintah supaya generasi muda ini tidak menghabiskan uangnya untuk sekadar gaya hidup, dan mengabaikan kebutuhan masa depan termasuk rumah.

Menurut Amran, mayoritas milenial incomenya berada di range Rp 5 juta hingga Rp 15 juta per bulan, sehingga potensi mereka besar sekali. Namun dari sisi regulasi pemerintah, mereka tidak bisa mendapatkan subsidi perumahan dari pemerintah, sementara untuk membeli rumah komersial dengan harga Rp 300 juta hingga Rp 500 juta pun sulit khususnya kesulitan menyediakan uang muka.

Untuk itu, REI DKI mengusulkan supaya generasi milenial bisa memiliki hunian, sebaiknya mereka diberi fasilitas membeli rumah semi-MBR atau KPR FLPP Plus dengan harga Rp 140 juta – Rp 500 juta dengan cara diberikan 50% dari apa yang diterima kelompok subsidi FLPP.

“Kita harus bisa menarik generasi milenial ini untuk membeli hunian supaya itu menjadi aset produktif bagi mereka. Kalau tidak, maka generasi ini bisa menggerus devisa karena mereka cenderung lebih memilih traveling ke luar negeri,” ungkap dia.

Perlu Diselamatkan
Besarnya potensi pasar perumahan generasi milenial diakui pula oleh Ketua Kehormatan REI Lukman Purnomosidi. Karena itu, menurut dia, harus disikapi otoritas perbankan dengan memberikan berbagai kemudahan.

Regulator, kata Lukman, harus membuat formulasi skim-skim baru bagi generasi milenial agar mereka mampu memiliki rumah sendiri. Dia berkeyakinan meski anak muda makin sulit membeli rumah, namun mereka bisa diselamatkan dengan insentif khusus agar bisa membeli rumah dengan rentang harga Rp 200 juta hingga Rp 500 juta.

“Mereka mampu kok mencicil Rp 3 juta hingga Rp 6 juta per bulan. Namun, harus diberi insentif supaya aware untuk membeli rumah,” imbuhnya.

Ketua DPP REI periode 2004-2007 itu berharap segera ada kebijakan di sektor perumahan untuk milenial sehingga bisa juga mengubah kebiasaan dan gaya hidup konsumtif mereka dan mengalihkan kesadaran akan kebutuhan atas hunian. Kebutuhan kelompok produktif ini justru jangan sampai terabaikan. Mereka perlu didengar dan diperhatikan.

Menurut Lukman, sekarang untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) sudah ada KPR FLPP. Seyogyanya insentif juga diberikan kepada kelompok milenial ini. Skimnya bisa dibicarakan, misalnya kalau MBR diberikan insentif subsidi 100%, milenial cukup 50%-nya saja dari yang berikan kepada MBR karena penghasilan milenial sudah lebih baik. (Rinaldi)