ISU PASAR

Butuh Intervensi Pemerintah

Administrator | Selasa, 02 Juni 2020 - 13:31:47 WIB | dibaca: 1360 pembaca

Wakil Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) bidang Kawasan Industri, Sadeni Hendarman

Kementerian Perindustrian mengungkapkan pembangunan kawasan imdustri di luar Jawa cukup bagus. Saat ini sebanyak 18 kawasan industri sedang disiapkan, dengan progress 8 kawasan industri dalam tahap konstruksi dan 10 masih tahap perencanaan. Namun capaian tersebut masih jauh dari rencana awal dimana di periode 2014-2019 ditargetkan pembangunan 100 kawasan industri baru.

Wakil Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) bidang Kawasan Industri, Sadeni Hendarman menilai dulu pemerintah pada 2014 berencana membangun 100 kawasan industri terutama di luar Pulau Jawa. Sayangnya target itu masih sulit terpenuhi.

“Dulu kan targetnya 100 kota industri ya, tetapi sekarang mungkin baru tercapai 25% saja. Idealnya sudah terpenuhi 50%, sehingga di periode kedua Pak Jokowi sudah terlihat dampaknya secara ekonomi,” kata Sadeni kepada Majalah RealEstat.

Dia menganalisa, lambatnya progress pembangunan kawasan dan kota industri karena belum adanya dukungan penuh pemerintah terutama dalam proses pembebasan lahan. Menurut Sadeni, idealnya luas kawasan industri adalah 100 hektar hingga 1000 hektar. Lahan seluas itu tidak mudah untuk dibebaskan, meski pengembang kawasan memiliki modal yang besar.

“Karena pembebasan tanah di Indonesia aturannya enggak gampang, di lapangan faktor like and dislike masih kuat. Proses pembebasan dan perizinan masih banyak kendala di lapangan. Demikian juga soal harga, spekulasi tinggi sekali. Harga hari ini dengan besok itu bisa berubah jauh sekali, karena tidak ada patokan dan kontrol harga,” keluh Sadeni.

Seperti diketahui, kawasan industri saat ini lebih banyak dikembangkan swasta dibandingkan pemerintah. Padahal, idealnya pemerintah perlu mengambil peran lebih besar, sehingga biaya perizinan dan pembebasan lahan bisa ditekan, karena pemerintah memiliki kewenangan mengontrol harga lahan. Tetapi nyatanya pemerintah tidak mau maju.

Disebutkan pengembangan kawasan industri di zaman Presiden Suharto awalnya diserahkan kepada perusahaan plat merah, namun karena tidak jalanjalan, kemudian pada 1989 dikeluarkan regulasi dapat dikelola oleh swasta. Masalahnya, ungkap Sadeni, begitu diserahkan ke swasta maka harga tanahnya naik dari Rp 20 ribu per meter persegi menjadi Rp 300 ribu per m2. Seperti yang dia alami sendiri saat membangun kawasan industri di Semarang, Jawa Tengah.

“Yang tadinya dihitung untung, jadi enggak untung. Belum lagi kalau harus menguruk tanahnya. Seharusnya kan ada patokan harga di tengahtengah misalnya,” ungkap pengembang senior itu.

Oleh karena itu, REI menekankan supaya pengembangan kawasan industri lebih cepat dan sesuai keinginan Presiden Jokowi, maka intervensi pemerintah diperlukan. Misalnya untuk pengembangan kawasan industri, setelah lokasi ditentukan ada satu patokan harga yang menjadi acuan pengembang. Karena kalau terjadi spekulasi tanah, maka investasi yang seharusnya feasible dilakukan, akhirnya menjadi rugi.

“Pengalaman sekarang, begitu ditetapkan sebagai kawasan industri maka harga langsung naik. Sekarang kan akses informasi cepat, media bebas, ada televisi, ada medsos. Begitu satu kawasan dibebaskan, langsung harga naik beberapa kali lipat,” ungkap Sadeni.

Untuk itu, REI berharap kiranya untuk pembebasan lahan butuh intervensi pemerintah, termasuk dalam pengurusan perizinan. Kalau dua persoalan ini bisa diatasi, dia yakin target pembangunan kawasan industri dapat terealisasi. (Rinaldi)