TOPIK UTAMA

Balada Perumahan Bersubsidi

Was-Was, Kuota Flpp Makin Terbatas

Administrator | Kamis, 09 Juli 2020 - 11:03:12 WIB | dibaca: 761 pembaca

Was-was, itulah perasaan yang saat ini dirasakan oleh masyarakat calon pembeli dan pengembang rumah subsidi di seluruh indonesia. Bagaimana tidak, setelah tahun lalu penyaluran KPR FLPP terhenti di pertengahan tahun, sekarang kejadian serupa kemungkinan bakal kembali terjadi.

Tahun ini, habisnya kuota KPR Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) bahkan diprediksi habis lebih awal dibandingkan tahun lalu yaitu di April 2020.

Pemerintah mengalokasikan anggaran FLPP sebesar Rp 11 triliun pada 2020 untuk memfasilitasi 102.500 unit rumah subsidi. Meski dibandingkan 2019 anggaran FLPP yang disediakan meningkat, namun diperkirakan hanya cukup untuk membangun 98 ribu unit rumah lantaran Rp 2 triliun dari alokasi subsidi 2020 telah dipakai untuk menutupi kekurangan FLPP pada 2019.

“Anggaran tahun ini itu hanya tersisa untuk kuota 86 ribu rumah saja. Padahal kebutuhan tahun ini setidaknya mencapai 260 ribu unit dengan anggaran sekitar Rp 29 triliun. Jadi perkiraan kami mungkin sudah habis di April 2020,” ujar Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida kepada Majalah RealEstat di ruang kerjanya, baru-baru ini.

Kuota yang tersedia pada tahun ini, kata Totok, jelas sangat minim mengingat kebutuhan masyarakat terhadap hunian setiap tahun trennya memang terus bertambah. Rata-rata kebutuhan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) paling sedikit sekitar 300 ribu unit per tahun. Artinya, kuota yang disiapkan pemerintah di 2020 masih jauh dari angka ideal kebutuhan.

Dia menegaskan bahwa penyediaan rumah bersubsidi ditujukan untuk membantu masyarakat kelas menengah ke bawah yang membutuhkan hunian layak. Sementara posisi pengembang swasta termasuk REI hanya membantu pemerintah menyediakan rumah yang layak sesuai spesifikasi dari pemerintah. Namun sayangnya, hingga saat ini belum ada solusi yang disampaikan pemerintah terkait cara mengatasi kekurangan anggaran rumah bersubsidi tersebut.

“REI bersama sejumlah asosiasi pengembang properti telah menyiapkan dan menyampaikan beberapa alternatif untuk bisa dipilih pemerintah dalam mengatasi anggaran FLPP yang minim ini. Tetapi sampai sekarang belum terlihat langkah solusi yang diambil,” kata Totok.

Diakui saat ini tidak hanya masyarakat MBR sebagai calon pembeli yang was-was, tetapi pengembang juga bingung. Sebab Bank BTN tahun ini hanya mendapat jatah kuota sekitar 28 ribu unit. Menurut Totok, jumlah kuota untuk BTN itu diperkirakan di Februari sudah habis.

Dengan jumlah pengembang rumah subsidi sekitar 9.000 perusahaan saja, maka kalau dibagi rata setiap pengembang hanya kebagian jatah 2-3 unit rumah saja di tahun ini. Padahal kuota ini sudah ditunggu sejak tahun lalu. REI saja, tahun ini menargetkan pembangunan sebanyak 200 ribu rumah bersubsidi.

REI, menurut Totok, tetap akan memperjuangkan adanya kuota tambahan FLPP tahun ini. Salah satunya telah menyampaikan persoalan ini kepada Komisi V DPR RI. Namun diakui langkah itu akan butuh proses panjang.

Upaya lain, kalau kuota benar-benar habis dan penambahan kuota tidak dapat dilakukan pemerintah maka langkah ekstrim terakhir sebaiknya subsidi perumahan dihapuskan saja. REI sedang mempertimbangkan dan mengkaji opsi ini daripada setiap saat masyarakat dan pengembang menghadapi ketidakpastian.

“Sekalian saja, daripada rakyat dikasih permen tetapi cuma bungkusnya doang. Subsidi itu kan buat rakyat, bukan untuk pengembang,” tegas Totok.

Situasi yang terjadi saat ini, menurut dia, sudah masuk taraf tidak sehat, sehingga lebih baik kalau penyediaan rumah rakyat bisa tanpa memakai uang negara. Pemerintah mungkin dapat membantu dengan memberikan kelonggaran atau subsidi pajak saja kepada masyarakat. Lewat cara ini balada ketidakpastian kuota FLPP tidak perlu terulang lagi setiap tahunnya.

“Jadi developer cukup masuk asosiasi, nanti asosiasi lakukan pembinaan. Kalau ada developer yang tidak benar maka pemerintah tinggal komunikasi ke asosiasi. Nantinya asosiasi cukup berkoordinasi ke Ditjen Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR terkait aturan pembangunan, spesifikasi bangunan dan lain-lain,” papar Totok.

REI tidak berharap pasokan rumah untuk MBR stagnan, namun jika terus tanpa kepastian secara otomatis pengembang tentu akan menghentikan sendiri pembangunan rumah.

Menurut Totok, ketidakpastian kuota FLPP ini jika tidak diatasi justru berpotensi menganggu perekonomian nasional. Selain masyarakat tidak dapat memiliki rumah, juga banyak kredit konstruksi pengembang yang macet karena tidak ada realisasi penjualan selama berbulan-bulan. Itu artinya non-performing loan (NPL) bank akan meningkat, dan secara sistematis bakal menganggu perekonomian nasional.

Penyebabnya bukan karena pengembang swasta, kata dia, namun akibat ketidaksiapan pemerintah.

“Sebetulnya kan rumah untuk MBR ini kewajiban pemerintah, tetapi negara meminta dukungan swasta ya kami bantu. Tetapi sekarang kok sistemnya dipersulit dan semakin kemari tambah sulit,” keluh Totok.

Langkah Antisipasi
Wakil Ketua Umum Koordinator DPP REI bidang Perumahan Subsidi dan Perumahan Aparatur Pemerintah, Moeroed menyebutkan kuota FLPP yang tidak pasti ini membuat keresahan di masyarakat. Tahun ini idealnya anggaran FLPP sebesar Rp 29 triliun, namun yang tersedia hanya Rp 11 triliun.

“Tentu ini membuat masyarakat jadi kecewa dan resah, padahal niatnya kan mau membantu masyarakat. Bayangkan kalau April nanti kuota subsidi sudah habis, maka masyarakat yang membeli dari Mei-Desember itu harus membeli tanpa subsidi. Kemudian di awal tahun 2021 ada lagi kuota subsidinya,” ujar Moeroed kepada Majalah RealEstat, baru-baru ini.

Sebagai langkah antisipasi jika penambahan anggaran kuota FLPP tidak dapat terealisasi, REI sudah mengusulkan dan mendorong kepada pemerintah untuk mengurangi tenor cicilan KPR FLPP menjadi hanya 7-8 tahun saja dengan bunga tetap 5 persen, sehingga jumlah penerima subsidi semakin banyak.

Usulan lain, REI mengajukan supaya dilakukan penerapan suku bunga berjenjang kepada penerima subsidi perumahan. Masukan ini sudah disampaikan langsung saat REI beraudiensi kepada Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin beberapa waktu lalu.

Dengan pola ini, menurut Moeroed, untuk konsumen dengan penghasilan maksimal sebesar Rp 4 juta disediakan subsidi anggaran sebesar Rp1 triliun yang diperkirakan dapat meng-cover subsidi untuk 10 ribu rumah. Kelompok ini tetap diberikan kemudahan uang muka 1 persen, bunga 5 persen dan tenor cicilan sampai dengan 20 tahun.

Kemudian anggaran sebesar Rp10 triliun dialokasikan kepada kelompok masyarakat dengan penghasilan maksimal hingga Rp 5 juta mengingat UMR pekerja di beberapa kota sudah mengalami kenaikan.

Untuk kelompok masyarakat ini bunga FLPP bisa dikenakan sebesar 7 persen dengan tenor 20 tahun. REI memperkirakan langkah itu dapat mengcover sekitar 150 ribu unit rumah subsidi.

“Kalau pola ini bisa dilakukan, maka kuota FLPP tahun ini bisa bertambah menjadi sekitar160 ribu unit. Itu lumayan membantu masyarakat yang sudah siap akad kredit namun terkendala kuota yang tidak pasti,” kata dia.

Kemudian, REI juga mengusulkan supaya subsidi selisih bunga (SSB) yang sudah dihentikan pemerintah penyalurannya tetap dijalankan. Salah satu cara dengan memakai dana subsidi bantuan uang muka (SBUM) sebesar Rp 600 miliar yang kabarnya sudah masuk dalam APBN 2020.

“Dana SBUM Rp 600 miliar itu kalau dialokasikan ke SSB bisa meng-cover 150 ribu unit rumah. Itu langkah-langkah solusi yang sebenarnya mungkin dilakukan pemerintah,” kata Moeroed.

Direktur Utama Bank Tabungan Negara (BTN) Pahala Mansury mengatakan kuota FLPP 2020 yang ditetapkan masih tidak akan mampu memenuhi permintaan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Sementara itu, Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Eko Djoeli Heripoerwanto menyebutkan alokasi dana FLPP pada 2020 sebesar Rp 11 triliun untuk 102.500 unit rumah.

Dia mengakui memang ada persoalan keterbatasan anggaran. Pemerintah, kata dia, sedang membahas alokasi anggaran FLPP sehingga bisa memenuhi kebutuhan MBR pada tahun ini.

Menurut Eko, selama ini dalam proses pembangunan rumah pengembang lebih dulu membangun tanpa melihat kuota FLPP. Artinya, pengembang bisa membangun kapan saja ketika ada permintaan. Padahal kuota alokasi FLPP-nya di perbankan sudah habis.

“Nanti tidak bisa lagi seperti itu. Setiap pembangunan rumah harus melalui persetujuan pemerintah terlebih dulu supaya tidak terjadi kelebihan,” kata dia.

Per 23 Desember 2019, terdapat 19 asosiasi pengembang perumahan serta 13.618 pengembang perumahan yang telah terdaftar di dalam Sistem Informasi Registrasi Pengembang atau SIRENG. (Rinaldi)Â