TOPIK KHUSUS

Waspadai Faktor Suku Bunga & Perpajakan di 2019

Administrator | Jumat, 15 Maret 2019 - 09:38:55 WIB | dibaca: 1575 pembaca

Foto: Istimewa

Sektor propert i sangat terpengaruh terhadap kebijakan makro ekonomi, karena itu harus diwaspadai di 2019. Sepert i diketahui, sepanjang 2018 pemerintah berupaya keras untuk mengendalikan nilai tukar rupiah, menahan tingkat suku bunga yang cenderung meningkat, sert a menghadapi likuiditas global yang cukup ketat.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menegaskan sektor properti akan mengalami tantangan paling sulit di 2019. Bahkan dia menyebutkan sektor ini menghadapi bayang-bayang ketidakpastian akibat pertumbuhan ekonomi yang melambat, tren suku bunga acuan yang tinggi dan likuiditas yang ketat.

Secara global, perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China serta kebijakan bank sentral AS The Federal Reserve menjadi dua hal yang paling menjadi perhatian.

“Setidaknya ada dua faktor yang patut diwaspadai sektor properti pada 2019 yaitu pergerakan nilai suku bunga dan kebijakan perpajakan,” ucap Sri Mulyadi dalam paparan property outlook 2019 di Jakarta, baru-baru ini.

Suku bunga, tambah dia, perlu diwaspadai mengingat daya tarik dinamika global. The Fed misalnya masih berencana menaikkan suku bunga dan jumlah uang dolar AS yang beredar akan semakin terbatas ke depan. Sikap AS tersebut dan perang dagang dengan China dinilai akan mengakibatkan resesi ekonomi dunia yang akan sangat memengaruhi sektor properti.

Kedua faktor tadi akan berdampak ke negara lain termasuk Indonesia, sehingga perlu antisipasi melalui kebijakan suku bunga di dalam negeri. Menurut Sri, kalau dolar terus menguat maka nilai tukar rupiah akan tertekan. Jika itu terjadi maka potensi kenaikan suku bunga acuan di dalam negeri juga bakal tinggi dan kemungkinan diikuti kenaikan bunga kredit. Inilah ancaman yang perlu diwaspadai sektor properti.

Sedangkan terkait faktor perpajakan, dia mengatakan semua rezim perpajakan akan sangat menentukan pertumbuhan sektor properti. Oleh karena itu, pemerintah akan selalu meninjau ulang kebijakan perpajakan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan dan berkeadilan.

“Kementerian Keuangan akan tetap memperhatikan pertumbuhan industri properti dan konstruksi dalam menetapkan kebijakan perpajakan,” tegas Menteri Sri.

Menurut dia, pertumbuhan sektor properti penting karena industri ini memiliki multiplier effect yang besar, dimana ada 174 industri lain yang mengikuti. Pemerintah, kata Menteri Sri, sejatinya telah memberikan banyak insentif untuk menopang pertumbuhan sektor properti yang diprediksi akan mengalami kondisi ketidakpastian.

Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) menyambut baik sejumlah langkah kebijakan moneter dan fiskal yang sudah dilakukan pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan. Berbagai langkah seperti pelonggaran aturan Loan to Value (LTV) dan relaksasi perpajakan diharapkan dapat segera terealisasi dan dirasakan di lapangan.

Ketua Umum DPP REI, Soelaeman Soemawinata berharap pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mengantisipasi tren meningkatnya suku bunga kredit, karena sektor properti selama ini sudah cukup banyak berkontribusi dalam menggerakkan perekonomian nasional, menciptakan lapangan kerja dan menumbuhkan banyak sekali sentra-sentra ekonomi masyarakat.

“Pemerintah harus bisa menyikapi tren suku bunga yang diprediksi naik pada 2019. Kami akan sangat berterima kasih kalau pemerintah bisa mempertahankan suku bunga minimal,” ungkap Soelaeman atau akrab disapa Eman itu.

Dia mengakui, tren kenaikan suku bunga dan pengetatan likuiditas bank akan membuat sektor properti terpuruk. Kondisi itu tidak hanya memukul pengembang, tetapi juga konsumen. Dari sisi pengembang, kenaikan beban bunga kredit sangat dilematis karena developer dipaksa menaikkan harga jual properti, padahal pasar belum begitu bagus. 

Cara lain pengembang biasa memperkecil tipe rumah yang dibangun untuk menekan biaya produksi. Sebagai contoh rumah harga Rp 400 juta yang seharusnya dibangun tipe 45 menjadi hanya tipe 40.

“Sementara dari sisi konsumen, kalau suku bunga naik yang berarti daya belinya menurun karena KPRnya jadi lebih tinggi, sehingga daya cicil mereka menurun,” papar Eman.

Sekali lagi, REI mengharapkan di 2019 bunga kredit bisa lebih stabil. Setidaknya, kata dia, bisa bertahan seperti kondisi sekarang. Dengan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) sekarang sebesar 6%, menurut Eman, bunga KPR berada di kisaran 12%-13%, dan itu sudah cukup menguntungkan bagi perbankan.

Menurut dia, pengembang properti saat ini sangat membutuhkan dukungan dari perbankan untuk meringankan beban bunga kredit konstruksi maupun Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Tekanan suku bunga pinjaman dan fluktuasi nilai tukar rupiah diakui menambah beban pengembang di tengah kondisi pasar yang kurang menguntungkan.

Sementara itu, Eman juga berharap tidak ada lagi pengetatan pajak di industri properti selama 2019. Menurut dia, saat ini ekonomi Indonesia dalam kondisi yang kurang baik, sehingga isu buruk apapun mudah sekali “digoreng” sehingga berimbas negatif terhadap pemulihan sektor properti.

Sektor Pariwisata
Head of Research and Consultancy Savills Indonesia, Anton Sitorus mengaku sependapat bahwa tantangan sektor properti ke depan adalah menyangkut suku bunga kredit yang berpotensi naik. Ini menjadi tugas berat pemerintah selaku pembuat kebijakan (regulator) untuk mempertahankan nilai tukar rupiah dan suku bunga pinjaman tetap terkendali. “Empat tahun terakhir target penjualan pengembang tidak tercapai. Itu satu masalah krusial, sehingga sektor ini perlu didukung lebih banyak kebijakan yang lebih propasar,” kata Anton.

Salah satu potensi sektor properti yang belum dimaksimalkan namun dianggap bisa menjadi solusi mengatasi kelesuan pasar adalah meningkatkan pengembangan di sektor pariwisata.

“Perbaiki industri pariwisata nasional, terlebih sektor perhotelan. Karena di sana ada potensi yang sangat besar, namun belum digarap optimal,” papar dia.

Direktur Riset CORE Indonesia, Piter R. Abdullah mengungkapkan sektor properti memang akan terpengaruh dengan kenaikan suku bunga. Namun dia melihat kenaikan suku bunga BI belum terlalu tinggi sehingga pengaruh kepada penyaluran kredit belum signifikan, termasuk di sektor properti.

“Saya justru mengkhawatirkan kemampuan kelompok masyarakat menengah bawah dalam membeli rumah. Kelompok ini akan cenderung menahan pembelian sehingga berpengaruh terhadap permintaan kredit properti,” ungkap Piter.

Ekonom BCA David Sumual memprediksi pertumbuhan investasi properti diprediksi maasih akan tumbuh moderat karena tekanan ekonomi global dan potensi kenaikan suku bunga.

Selain itu, prospek properti pada 2019 diprediksi akan terjadi pocket bubble di beberapa segmen dan lokasi tertentu, seperti pasokan yang berlebih pada perkantoran masih akan berlanjut hingga 2019. Dia memperkirakan properti akan kembali booming pada dua tahun hingga tiga tahun ke depan. (Teti Purwanti)