TOPIK UTAMA

UU Pertanahan Untuk Kepastian Hukum

Administrator | Rabu, 06 November 2019 - 10:55:37 WIB | dibaca: 1066 pembaca

Foto: Istimewa

Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) mendukung penuh pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) pertanahan menjadi undang-undang pada September tahun ini.

Ada tiga poin utama yang menjadi fokus asosiasi tertua dan terbesar di Indonesia tersebut dalam pembahasan RUU Pertanahan yakni mengenai jangka waktu kepemilikan hunian untuk orang asing, definisi tanah terlantar, dan kepastian penyelesaian sengketa tanah. Ketiga hal itu dinilai menjadi kunci untuk kepastian berusaha.

Sekretaris Jenderal DPP REI, Paulus Totok Lusida meminta agar DPR RI segera mengesahkan RUU Pertanahan yang sudah hampir tuntas dibahas di Komisi II DPR-RI, dan ditargetkan rampung untuk disahkan pada September mendatang. Jika ada sesuatu yang kurang detil atau perlu aturan teknis itu bisa dilaksanakan di peraturan pemerintah PP) atau peraturan menteri (Permen).

“Dibandingkan UU, PP atau Permen itu kan lebih mudah direvisi sehingga mudah disesuaikan dengan tuntutan zaman,” ungkap Totok kepada wartawan di Jakarta, baru-baru ini.

REI mengharapkan pengesahan RUU Pertanahan jangan ditunda lagi, karena kalau diundur dan diserahkan pembahasannya kepada anggota DPR-RI yang baru, maka nantinya pembahasan akan dimulai dari nol kembali.

Menurut Totok, REI beberapa bulan lalu sudah dipanggil oleh Komisi II DPR-RI. Di dalam rapat dengar pendapat itu disampaikan beberapa hal yang menjadi konsentrasi REI, termasuk tiga poin utama yang disebutkan tadi. Diakui Totok, dalam rapat tersebut ada pihak yang pro dan kontra terkait detil isi RUU Pertanahan.

Hal itu dianggap wajar, namun dia memastikan bahwa REI akan lebih mengedepankan kepentingan bersama menyangkut kepastian hukum bagi dunia usaha dan masyarakat.

“Kenapa UU Pertanahan ini penting, karena tanah itu menyangkut hajat hidup manusia. Selama orang masih di atas bumi, maka dia butuh kepastian hukum terhadap tanah yang dimilikinya,” ungkap Totok.

Di sisi lain, dia berpendapat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 yang selama ini menjadi acuan dalam pengelolaan dan status hukum pertanahan sudah berusia hampir 60 tahun, sehingga membutuhkan penyesuaian untuk mengakomodir kondisi, kebutuhan dan dinamika masyarakat yang sudah banyak berubah.

Bagi REI, kata Totok, UU Pertanahan baru juga dibutuhkan untuk memberikan kepastian investasi mengingat tanah merupakan aset atau modal usaha yang utama. Sebelumnya, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sudah menargetkan RUU Pertanahan rampung pada September 2019.

Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil mengatakan RUU Pertanahan ini untuk melengkapi UUPA Nomor 5 Tahun 1960 sehingga lebih mengakomodir dinamika yang terjadi di lapangan.

“UUPA harus dilengkapi dengan peraturan yang lebih spesialis atau spesifik mengenai perkembangan pertanahan saat ini,” ujar Sofyan Djalil, baru-baru ini.

Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Pertanahan Herman Khaeron mengatakan pemerintah dan DPR sudah menyepakati enam dari 15 bab dalam draf RUU. Dia mengklaim keenam bab itu merupakan poin-poin yang paling utama. “Enam bab sudah diselesaikan, separuh pasal ada di situ. Isinya sangat substansial,” kata dia.

Salah satu poin yang dibahas adalah jangka waktu dan luas yang diberikan untuk Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) kepada perusahaan demi menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif, sekaligus juga bermanfaat untuk masyarakat sekitar.

Kemudian, pemerintah juga akan membentuk bank tanah guna mencegah spekulan. Dengan demikian pengelolaan tanah negara diharapkan lebih tertata. Bank tanah diharapkan memberi kepastian terkait tanah negara yang biasanya jadi sumber konflik.

RUU Pertanahan ini juga berupaya membenahi beragam persoalan pertanahan. Mulai konflik lahan, harga tanah terlampau tinggi, kepemilikan tumpang tindih (sertifikat ganda), disparitas antar kawasan, dan lain-lain. Kemudian pengaturan hak atas tanah, pendaftaran tanah menuju single land administration system, dan modernisasi pengelolaan tanah.

Kemauan Politik Pemerintah
Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI) Muhammad Joni menilai banyak perkembangan zaman khususnya di industri properti yang kini membutuhkan regulasi yang lebih konkrit. Dia misalnya menyoroti mengenai lazimnya bangunan tinggi di Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia. Developer minta ketinggian lebih, misalnya dari 30 lantai menjadi 40 lantai. Nah, untuk ruang di atas lantai 30 itu melekat hak apa?

“Apakah masuk domein Hak Guna Ruang Angkasa (HGRA) versi Pasal 48 UUPA, atau berbasis HGB saja, atau domein izin pemanfaatan ruang versi regulasi penataan ruang?. Bagaimana pula untuk yang membangun ke bawah? Apalagi ke bawah laut seperti otoritas Conrad Maldives Rangali Island yang memberi hak atas proyek ‘Muraka’? Ini semua sekarang butuh jawaban hukum,” kata Joni yang juga Sekretaris The HUD Institute.

Kondisi di lapangan saat ini, menurut dia, sudah ada mal di bawah lapangan Karebosi di Makassar. Ada juga ruang bawah tanah di salah satu hotel di Jakarta yang isinya bukan hanya tempat parkir, namun isinya kios, toko dan ruang kantor. Ada jalur MRT Jakarta yang berada di bawah tanah dan di atas tanah. Joni menyebutkan, semua itu ada soal hukum yang menarik dengan tantangan “law in change” dalam fase perubahan subsider pembaruan aturan.

Oleh karena itu, dia mendorong di dalam RUU Pertanahan yang sedang dibahas Komisi II DPR-RI perlu membuat norma baru yang mengatur ruang atas tanah (RAT) dan ruang bawah tanah (RBT). Aturan ini tentu saja berkaitan erat dengan kepentingan pelaku usaha realestat, operator transportasi, pengusaha hotel, publik dan pemerintah daerah.

“Saran saya fungsi sosial atas RBT maupun RAT baik bertitelkan HGB maupun Hak Pakai, harus eksplisit membuat mandat dan pengaturannya dalam RUU Pertanahan,” tegas praktisi hukum properti tersebut.

Sementara itu, Managing Partner LHK Lawfirm Amri Lubis yang banyak menanggani proses pembebasan lahan dan sengketa tanah menekankan perlunya RUU Pertanahan mulai menganut stelsel positif dalam sistem pendaftaran tanah. Artinya sertifikat tanah menjadi alat pembuktian kepemilikan yang tidak dapat dibatalkan, dalam hal letak tanah berada dalam wilayah pendaftaran tanah yang telah lengkap.

“Saya melihat sudah ada political will pemerintah untuk memberikan kepastian hukum hak-hak atas tanah. Ini yang patut didukung,” kata Amri yang sudah 25 tahun membantu banyak perusahaan properti swasta asing dalam pembebasan lahan, saat dihubungi di Jakarta, baru-baru ini.

Selama ini banyak sengketa tanah yang terjadi bahkan kasusnya berlarut-larut cukup lama. Namun di sisi lain, pengembang juga tidak perlu khawatir berlebihan untuk melakukan pembelian tanah. Dimana pengembang sebaiknya melakukan legal audit dalam kegiatan pembebasan lahan yang dilakukan dengan menggunakan jasa konsultan hukum yang berpengalaman.

Dengan melakukan legal audit, kata dia, maka risiko hukum dapat teridentifikasi, terukur dan dapat dievaluasi untuk kepentingan mitigasi risiko hukumnya. (Rinaldi)