TOPIK UTAMA

Urusan Perumahan Butuh Lembaga Kuat

Administrator | Selasa, 10 Desember 2019 - 15:26:30 WIB | dibaca: 836 pembaca

Foto: Istimewa

Kebutuhan masyarakat terhadap tempat tinggal terus meningkat. Namun, upaya pemerintah dalam menyediakan perumahan rakyat sangat terbatas. Berdasarkan data pemerintah, kapasitas fiskal negara hanya mampu menyediakan 2% dari total APBN untuk membangun rumah termasuk memberikan stimulant prasarana, sarana dan utilitas.

Itu berarti anggaran pemerintah hanya menjangkau 30% dari nilai kebutuhan perumahan subsidi bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan Masyarakat Pra Sejahtera (MPS). Sisanya, pemerintah mengandalkan peran serta pengembang swasta, perbankan dan masyarakat dalam menyediakan hunian.

Demikian juga akses masyarakat terhadap pembiayaan perumahan masih sangat lemah. Angkanya ratio outstanding KPR terhadap PDB masih rendah, hanya sekitar 2,9%. Relatif tertinggal dari negara ASEAN lainnya seperti Thailand 22,3%, atau Malaysia 38,4%.

Padahal, dari sisi ekonomi, industri perumahan dan pembangunan perkotaan (properti) efektif menjadi pemacu pertumbuhan ekonomi. Karena industri ini menyerap tenaga kerja cukup besar dan menumbuhkan lebih seratusan jenis industri turunan seperti bahan bangunan, material elektrikal dan sebagainya.

Faktanya, data defisit perumahan di tahun 2019 mencapai 7,63 juta unit (backlog kepemilikan) dan 2,38 juta unit rumah tidak layak huni, akibat bencana dan luas permukiman kumuh sebesar 10.000 hektar. Data tersebut belum mencakup perkembangan rumah tangga baru menikah setiap tahunnya yang membutuhkan rumah sekitar 700.000 unit.

Dengan kondisi yang memprihatinkan tersebut, berbagai pemangku kepentingan (stakeholder) perumahan sepakat bahwa diperlukan upaya untuk mengefektifkan urusan perumahan dan pembangunan perkotaan dengan memperhatikan hambatan dan tantangan yang aktual.

“Penting sekali untuk mengokohkan urusan dan kelembagaan perumahan rakyat dan pembangunan perkotaan bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagaimana mandat konstitusi” ungkap Sekretaris The HUD Institute, Muhammad Joni, dalam pengantar acara talkshow bertema “Mengokohkan Urusan Perumahan Rakyat dan Pengembangan Kawasan Perkotaan” yang diselengarakan The HUD Institute dan Forum Wartawan Perumahan Rakyat (Forwapera) di Jakarta, Kamis (29/8/2019).

Pakar Perumahan dan Permukiman dari Institute Teknologi Bandung, Jehansyah Siregar menegaskan saat ini memang dibutuhkan pembenahan struktural dan inovasi, serta program yang kompeten dari pemerintah, guna memenuhi kebutuhan perumahan bagi masyarakat MBR.

“Karena kondisi darurat perumahan rakyat di Indonesia ini sudah tidak tertanggulangi lagi, dimana angka kekurangan rumah terus bertambah setiap tahun,” kata Jehansyah di acara yang sama.

Menurut dia, kelembagaan terkait urusan perumahan rakyat hanya stabil di masa orde baru, yaitu dari tahun 1978 hingga tahun 1988. Sejak itu on-off sampai pada 2004 Kementerian Perumahan Rakyat dihidupkan kembali di era Presiden SBY, dan di 2014 off lagi.

“Pertanyaannya, mengapa dibentuk dan dilikuidasi, ini harus dievaluasi. Apakah urusan perumahan rakyat itu tidak penting?,” tegas Jehansyah.

Padahal secara prinsip, lanjut Jehansyah, urusan perumahan rakyat adalah hak dasar warga negara, hak asasi manusia yang telah diadopsi dalam pasal 26 UUD 1945.

“Implikasinya apa terhadap tugas dan peran pemerintah menjalankan konstitusi? Hak dasar itu kalau bisa dipenuhi besok, ya harus dipenuhi. Kalau hari ini masih ada orang tidak punya tempat tinggal, berarti pemerintah sudah melanggar HAM,” paparnya.

Dia mengkritik kinerja pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang selama hampir lima tahun ini kurang optimal dalam menyediakan kebutuhan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Program yang dijalankan umumnya hanya menyentuh lapisan teratas dan menyisakan sebagian besar kelompok masyarakat yang tidak mampu menjangkau rumah sederhana dari program tersebut. Hasilnya, masih banyak masyarakat tidak mampu tidak memiliki rumah dan juga akhirnya mereka hidup di lingkungan atau kawasan tak layak huni yang kondisinya padat dan kumuh.

Ketua Umum DPP Apersi, Junaidi Abdillah menilai secara kelembagaan urusan perumahan rakyat saat ini hanya sekadarnya saja, padahal itu merupakan hak dasar.

“Perumahan rakyat itu ngurusin manusia, di Pekerjaan Umum urusannya beda. Ketika ada hal sensitif, responnya beda. Kalau bicara perumahan, masih dalam usulan, tapi kalau infrastruktur kok bisa jalan terus. Anggaran infrastruktur dibicarakan dari awal, tapi program perumahan tidak. Ini mengkhawatirkan,” tutur dia.

Junaidi pun berharap ada lembaga yang khusus mengurus perumahan rakyat karena hal itu merupakan hak dasar warga negara. Saat ini justru banyak aturan yang menjadi beban penyedia perumahan rakyat. Padahal swasta sifatnya membantu beban pemerintah dalam menyediakan rumah rakyat. “Contohnya SLF (sertifikat layak fungsi-red), itu belum semua daerah bisa, tapi dipaksakan untuk diterapkan,” jelas Junaidi.

Lintas Sektoral
Sementara Ketua Umum DPP Himperra, Endang Kawidjaja mengatakan persoalan perumahan rakyat bukan saja pada kelembagaannya, melainkan pada PIC (personal in charge)-nya.

“Apapun namanya, harus konsisten. Tupoksi yang diemban 85% harus urusi MBR. Selebihnya bisa untuk yang lain, porsinya bisa untuk urusan tata ruang dan tanah,” kata Endang.

Endang mencontohkan banyak aturan yang dibuat secara dadakan dan juga membuat pengembang menjadi kebingungan. Seperti Peraturan Menteri (Permen) Nomor 11/PRT/M/2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah (PPJB), dimana PPJB untuk rumah tapak dan hunian vertikal disamakan aturannya.

Lebih lanjut Endang menjelaskan jika ingin dikuatkan lembaga perumahan, maka harus di isi oleh gabungan dari staf atau personal dari beberapa kementerian lain. Dimana dalam bisnis properti atau perumahan ini regulasinya menyangkut lintas sektoral.

“Untuk itu di dalam lembaganya harus ada personal dari kementerian lain seperti Kemendagri, Kemenkeu, BPN sehingga dalam kordinasi lebih mudah dan tidak tersebar dibeberapa kementerian,” ujar Endang.

Sementara itu, Dirjen Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Khalawi AH yang membacakan sambutan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan bahwa menjadi hak semuanya untuk memberikan sumbangsih perbaikan ke depan.

Kementerian memandang sistem yang ada sekarang ini dengan berbagai kekurangannya cukup efektif dengan kolaborasi luar biasa diantara stakeholder yakni pemerintah, swasta, perbankan, dan masyarakat.

“Kami akan selesaikan program pak Jokowi, setelah itu jadi hak menteri yang akan datang, memperbaiki konsep atau mengokohkan kelembagaan,” tutur Khalawi. (Rinaldi)