Internasional

Taji Timor Leste

Administrator | Jumat, 15 Juli 2016 - 10:05:35 WIB | dibaca: 2724 pembaca

Terhitung sudah 14 tahun timor leste berdiri menjadi sebuah negara yang berdikari. Selama itu pula negeri berjuluk Timor Lorosae ini berbenah. Bila bisa dikata Timor Leste telah selesai dengan urusan stabilitas politik dalam negeri, namun tidak demikian dengan urusan membangun infrastruktur.

Negara penghasil minyak bumi dan gas alam ini ternyata masih bergulat dengan pembangunan infrastruktur, baik jalan, jembatan, bandara, pelabuhan dan properti pendukung seperti hotel, apartemen dan kawasan perumahan.

Timor Leste sebenarnya diuntungkan dengan mata uang yang mereka pergunakan, yakni dolar. Dengan mata uang dolar semestinya banyak dukungan finansial yang mengalir dari sejumlah negara besar. Nyatanya tidak, negara ini justru meminta investor-investor asal Indonesia untuk membenamkan modalnya.

Secara sosial, budaya dan kebiasaan ada hubungan psikologis antara Rakyat Indonesia dengan Timor Leste. Pasalnya, sejak tahun 1978 hingga 2002 Timor Leste masuk dalam kedaulatan Bangsa Indonesia, dan mereka memisahkan diri setelah dilakukan jajak pendapat karena berbagai alasan politik.

Sejak awal banyak yang meragukan bila Timor Leste memisahkan diri dari Indonesia tidak akan mampu keluar dari krisis, tetapi kenyataan berkata lain. Negeri ini justru banyak belajar dari Indonesia.

Dalam satu kesempatan, Menteri Pekerjaan Umum, Transportasi dan Komunikasi Republik Demokratik Timor Leste, Gastao Franscisco de Sousa mengungkapkan bahwa negaranya masih membutuhkan bantuan Indonesia untuk membangun. Dan pernyataan itu tidak sekadar jargon, karena sejak tahun 2011 mereka telah menjalin kerja sama dengan Pemerintah Indonesia. Setidaknya Timor Leste sudah menandatangani kerja sama untuk menerima pelatihan dan pembangunan di bidang infrastruktur dari Indonesia.

“Banyak BUMN Indonesia yang dilibatkan di Timor Leste untuk membangun jalan, jembatan dan bandara. Kami harap ada transfer
of knowledge untuk sektor privat kami,” ujarnya.

Ada 11 perusahaan kontraktor Indonesia yang membangun infrastruktur di Timor Leste, dengan total nilai proyek US$ 334 juta atau setara Rp 4,3 triliun. Perusahaan tersebut terdiri dari BUMN dan swasta. Perusahaan swasta Indonesia di Timor Leste yakni PT Duta Graha Indah, PT Pulau Mas Utama, PT Sasmito, PT Daya Mulia Turangga, PT Pandaman Putra Utama, PT Warisila Indonesia dan PT Bimavi.

Perusahaan swasta ini di antaranya membangun jembatan, markas militer, gedung kementerian, pembangkit listrik dan biara. Sedangkan BUMN yang ikut membangun; PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk, PT Waskita Karya dan PT Brantas Abipraya senilai proyek Rp 2,053 triliun.

Eit, Indonesia jangan terlalu percaya diri dulu banyak dilibatkan membangun Timor Leste, karena Negeri Tirai Bambu ternyata sudah menancapkan kukunya di negara yang dulunya Provinsi Timor Timur ini.  

Secara historis, Timor Leste dan China merupakan teman lama. Delapan abad lalu, Dinasti Ming sudah mendarat di Timor, mencari kayu gaharu. Ikatan persaudaraan itu kian kuat saat Makau dan Timor Leste sama-sama jajahan Portugal. Mobilisasi warga tak terelakkan. Hingga kini diperkirakan satu persen warga Timor Leste adalah Tionghoa.

Ketika negara lain mengarahkan bantuan demi membangun pertanian, pendidikan, atau infrastruktur di Timor Leste, China justru membangun gedung mewah, baik istana presiden, kantor kementerian luar negeri, kantor kementerian pertahanan, maupun markas angkatan bersenjata.

Tidak hanya itu, china juga membangun rumah sakit yang langsung menyentuh kebutuhan rakyat. Lebih mencolok lagi, saat kelaparan melanda, tidak kurang dari 3.000 ton beras dan 500 ton minyak goreng di donasikan. Rakyat merasakan, China adalah sahabat dalam arti sebenarnya. China telah memberikan jutaan dolar AS untuk membangun istana presiden baru, kantor kementerian luar negeri dan markas besar militer Timor Leste. Ketiga bangunan itu adalah struktur bangunan baru yang paling impresif di Dili.

Mengutip Radio BBc, Profesor Hugh White dari Pusat Studi Strategis dan Pertahanan pada Universitas Nasional Australia (ANU), mengatakan bahwa kepentingan China di Timor Leste mesti diawasi Australia.

“Orang Australia selalu sangat sensitif terhadap kekuatan-kekuatan besar yang memproyeksikan kekuatannya ke bagian dari dunia kita,” ujarnya.

Bagian yang paling disorot media Australia adalah pembelian kapal patroli kelas Shanghai buatan 1960 an oleh Timor Leste seharga US$25 juta, yang dikhawatirkan Australia sebagai meningkatnya kerja sama militer Beijing dan Dili.