TOPIK UTAMA

"Sulit Teriak, Banyak Pengembang Sudah Sesak Nafas"

Administrator | Senin, 09 November 2020 - 15:21:00 WIB | dibaca: 418 pembaca

Kebijakan diluar kebiasaan (extraordinary) juga diperlukan industri properti di segmen komersial. Berbagai aturan yang dibuat pemerintah hingga saat ini masih “menyandera” pengembang sehingga mendesak adanya intervensi pemerintah untuk menyelamatkan industri properti nasional dari keambrukan.

Menurut Chief Executive Officer (CEO) PT Ciputra Development Tbk Budiarsa Sastrawinata, pemerintah perlu menerbitkan aturan-aturan yang tidak biasa guna menyelamatkan industri properti. Saat ini sudah banyak pengembang yang merasakan dampak penurunan penjualan akibat merebaknya pandemi.

“Sekarang banyak pengembang yang sudah sesak napas, bahkan ada yang mau teriak tetapi suara sudah hilang,” ungkap Budiarsa.

CEO Lippo Group James Riady berharap industri properti Indonesia dapat menjadi tulang punggung pembangunan bangsa dan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, sisi permintaan (demand side)-nya harus didorong. Akan sangat membantu, ungkap dia, jika dari pemerintah ada yang berkenan menjadi cheerleaders atau pemandu yang memberi semangat kepada pelaku usaha properti untuk melewati masa-masa sulit ini.

Nantinya cheerleaders ini yang akan terus membicarakan investasi properti, bagaimana supaya orang mau membeli rumah, menyampaikan terus-menerus bahwa investasi properti itu bagus.

“Kalau di RRC, di sana orang ingin punya rumah dan pemerintah memberikan apa saja supaya orang bisa membeli rumah. Tetapi di Indonesia, rata-rata warga negara justru takut untuk membeli rumah dengan beragam alasan terutama terkait pajak,” ungkap dia.

Oleh karena itu, James berharap hambatan-hambatan itu dapat dihilangkan. Selain aturan perpajakan yang dianggap “menakutkan” tadi, aturan mengenai kebijakan pembiayaan juga menjadi kendala.

Dia memberi contoh perbankan di negara lain bisa memberikan KPR hingga 20 tahun tetapi dengan syarat yang tidak banyak, lazimnya hanya lima yakni KTP, NPWP, surat kelurga, surat nikah, dan slip penghasilan. Hal itu memudahkan orang yang ingin membeli rumah. Tetapi di Indonesia, perbankan justru kadang meminta lebih banyak syarat tidak hanya kepada konsumen tetapi juga kepada pengembang. Akad KPR pun sering lebih lama, sehingga membebani konsumen dan pengembang.

CEO/Executive Director Sinarmas Land Muktar Widjaja mengharapkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah membantu melancarkan cashflow pengembang dengan melonggarkan aturan perpajakan.

Dia misalnya menyoroti soal pengenaan PPN Final atas sewa bangunan sebesar 10%, pengenaan PPN untuk kantor seluas lebih dari 200 meter persegi, serta pemerintah daerah yang masih menerapkan tarif tinggi untuk BPHTB, serta perhitungan PBB yang lebih mahal dari harga rumah.

“Keadaan begini sekarang pengembang lagi banting harga, ya kalau bisa 1-2 tahun ke depan ditunda. Dibayar tetapi ditunda hingga selesai Covid-19. Imbas besar dari Covid-19 ini semua pengembang sudah merasakannya,” ungkap Muktar.

Sementara itu, Direktur Utama PT Intiland Development Tbk Hendro Gondokusumo menyoroti masalah Permen PUPR Nomor 11/PRT/M/2019 tentang Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang belum memberikan perlindungan dan kepastian usaha bagi pelaku usaha.

Menurut dia, ada tiga persoalan penting dalam Permen PPJB itu yang kurang tepat. Pertama mengenai perizinan, dimana seakan menyamaratakan prosedur penerbitan izin di seluruh daerah di Indonesia, padahal yang terjadi di lapangan berbeda. Ada aturan syarat dan informasi pemasaran mengharuskan adanya Sertifikat Hak Atas Tanah dan IMB sebelum pengembang melakukan penjualan, sehingga menyulitkan. Hendro berharap ketentuan ini bisa direlaksasi.

Kemudian soal syarat keterbangunan 20% dihitung dari jumlah yang dipasarkan ketika hendak melakukan pre-sale, menurut Hendro, ketentuan itu sangat berat terutama untuk high rise building yang biasanya juga mengandalkan dana pembangunan dari pre-sale, bahkan progress pre-sale menjadi salah satu pertimbangan terkait kelanjutan sebuah proyek high rise building.

“Terakhir soal ketentuan yang memberi hak pembeli melakukan pembatalan. Ini sangat tidak mungkin, apalagi pembeli hanya dikenakan denda 10%. Kalau aturan ini tetap diberlakukan, mungkin akan banyak pengembang yang bangkrut. Untuk itu, kami meminta aturan ini ditinjau kembali,” tegas Hendro.

Ketua Umum DPP REI, Paulus Totok Lusida menyebutkan ada beberapa persoalan di segmen properti komersial yang dihadapi anggota REI. Namun yang berkaitan dengan Kementerian ATR/BPN ada dua masalah yang ingin disampaikan yakni menyangkut Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang berubah setelah izin dikeluarkan sehingga menghambat proses sertifikasi tanah dan pembangunan.

“REI meminta adanya kepastian hukum, terutama bagi lokasi yang telah memiliki izin usaha jika terjadi perubahan peruntukan ruang akibat Peninjauan Kembali (PK) dan dokumen Tata Ruang serta Izin Lokasi/Sertipikat yang telah dimiliki tidak digugat pihak lain,” ujar Totok.

Selain itu, mengenai ketentuan Tanah Terlantar. Menurut dia, kerugian atas adanya tanah terlantar diakibatkan oleh spekulan, dan bukan pengembang yang memiliki izin usaha dan izin lokasi yang jelas. Untuk itu, indikasi tanah terlantar seharusnya dikecualikan terhadap tanah milik pengembang yang merupakan persediaan (inventory).

Kemudian mengenai Permen PPJB, REI meminta pembatalan sepihak oleh pembeli tidak dipatok sebesar10%, karena ada biayabiaya lain yang sudah dibayarkan pengembang kepada pihak ketiga. Perlu juga dijelaskan dan diatur pembatalan karena pengembang atau bank yang tidak memberi persetujuan KPR. REI menilai perlunya keseimbangan posisi antara pengembang dan calon pembeli dalam aturan PPJB.

Inventarisisasi Masalah
Menanggapi keluhan pengembang anggota REI, Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil mengakui banyak sekali masalah terkait industri properti, karena kebijakan masa lalu dan sebagainya. Pemerintah sadar sekali tentang kondisi itu, sehingga saat ini diperkenalkan Omnibus Law melalui RUU Cipta Kerja.

“Sekarang ini banyak regulasi yang tidak tepat dan memborgol dunia usaha, untuk itu kami minta tim legal REI membuat checklist masalah mana saja yang mengganggu industri properti supaya pemerintah bisa membuka high way hingga industri properti bisa lebih komprehensif,” ujar Menteri Sofyan yang juga menyatakan kesiapan menjadi cheerleader bagi industri properti sekaligus menyampaikan harapan-harapan REI kepada Menko Perekonomian.

Berkaitan dengan tanah terlantar, Menteri Sofyan meminta REI membuat daftar tanah-tanah milik anggotanya sebagai bahan evaluasi kementerian. Setelah didaftar (list) kemudiann diidentifikasi dan dibuatkan kategorinya.

“Kita akan masukkan tanah terlantar dalam sistem elektronik di BPN, sehingga lahan yang bukan tanah terlantar akan kita lepas, tetapi kalau memang itu tanah terlantar dan tidak diurus maka akan diberlakukan selayaknya tanah terlantar,” kata Menteri Sofyan. (Rinaldi/Teti)
 
Sumber: