ASPIRASI DAERAH

REI Sudah Bangun 3.000 Rumah Subsidi di Kalteng

Administrator | Rabu, 11 September 2019 - 15:22:17 WIB | dibaca: 936 pembaca

Ketua DPD REI Kalteng, Frans Martinus

Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Kalimantan Tengah sampai awal Mei 2019 telah membangun sebanyak 3.000 unit rumah subsidi di sejumlah lokasi di daerah tersebut. Jumlah itu setara dengan separuh target asosiasi ini di Kalteng.

Ketua DPD REI Kalteng, Frans Martinus menyebutkan sejak awal tahun hingga awal Mei 2019 sudah dan sedang dibangun sebanyak 3.000 rumah subsidi. Capaian itu cukup baik, mengingat target yang ditetapkan REI Kalteng sekitar 6.000 unit sepanjang 2019. Target tersebut meningkat dibanding realisasi pada 2018 sebanyak 5.500 unit rumah subsidi.

“Tahun ini target naik 20%, dan kami yakin target dapat tercapai, meski tahun ini sedikit ada pengaruh dari suhu politik khususnya Pemilu 2019,” kata dia, baru-baru ini. Saat ini sedang dilakukan tahap pembangunan di Kelurahan Petuk Katimpun serta beberapa lokasi lain yang tersebat di 13 kabupaten lain di daerah itu.

Harga Tanah Melambung
Menurut Frans, respon masyarakat terhadap Program Sejuta Rumah (PSR) cukup baik, sehingga pihaknya terus merangkul perbankan untuk dapat menyalurkan KPR FLPP. Hingga saat ini, diakuinya, dukungan perbankan di Kalteng terhadap PSR sangat positif.

“Tapi memang program ini belum semua ditanggapi pemerintah daerah dengan baik terlebih dalam proses perizinan. Kemudahan dan penyederhanaan yang diberikan pemerintah pusat belum diterapkan oleh pemda,” keluh Frans.

Diungkapkan, ada persepsi dan tafsir yang berbeda terkait soal luas lahan minimal untuk perumahan oleh pemda, yang berbeda dengan peraturan dari Kementrian. Misalnya menurut aturan pemerintah pusat, pembangunan kavling perumahan bisa diatas tanah seluas 90 meter persegi dan maksimal 200 meter persegi.

Sedangkan untuk di Kalteng, pembangunan kavling perumahan minimal luas tanah yang harus disiapkan 200 meter per segi.

“Itu cukup menyulitkan pengembang, apalagi harga tanah sekarang semakin tinggi. Isu perpindahan ibukota negara ke Kalteng juga turun mendongkrak harga tanah di daerah tersebut akibat ulah spekulan,” kata Frans.

Dia mengatakan sebagian besar pembeli rumah subsidi di provinsi tersebut adalah Aparatur Sipil Negara (ASN), kemudian karyawan swasta, buruh, dan sektor informal.

Kendala lain yang cukup serius dalam pembangunan rumah MBR di provinsi tersebut adalah belum tuntasnya Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) di Kalimantan Tengah sehingga menyebabkan pengembang tidak dapat leluasa mencari lahan untuk pengembangan perumahan, karena bukan tidak mungkin tanah yang diperoleh masuk dalam kawasan hutan produksi.

“Artinya, kami pengembang harus benar-benar jeli melihat tanah yang telah dibebaskan apakah bisa dibangun perumahan atau tidak. Koordinasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus kuat dan sangat penting, sehingga tidak menjadi masalah di kemudian hari,” ungkap Frans.

Diakui selama ini sering terjadi ada lahan yang sudah lama menjadi area perumahan dan permukiman dan sudah padat penghuni, tapi kemudian malah masuk dalam kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK). Ini sangat merepotkan, karena kalau pun mau diubah harus diurus berjenjang hingga ke tingkat pusat dan butuh waktu lama.

Menurut dia, ada banyak persoalan pertanahan yang harus segera dicarikan solusi agar tidak menimbulkan gesekan di tengah masyarakat.

Program Sejuta Rumah di Kalimantan Tengah sempat ditanggapi salah oleh masyarakat di daerah tersebut. Pasalnya di tahun pertama program ini dicanangkan masyarakat setempat menilai pemerintah akan membagi-bagi rumah gratis.

REI Kalimantan Tengah pun harus berjuang keras untuk mengedukasi dan memberi penjelasan kepada masyarakat bahwa masyarakat tetap harus membeli namun dengan banyak kemudahan yang diberikan pemerintah. (Rinaldi)