Berita

REI: Perumahan Non-Subsidi Juga Perlu Terobosan

Administrator | Selasa, 18 Februari 2020 - 11:16:22 WIB | dibaca: 529 pembaca

Foto: Istimewa

JAKARTA – Pasar properti sudah bergerak stagnan sejak 2013 lalu, hal ini tak hanya membebani pengembang kecil, tetapi juga pengembang besar yang membangun hunian non-subsidi.

“Kalau rumah non-subsidi dulu hanya tergantung dari makroekonomi, sekarang ada beban juga dari regulasi. Sehingga tak hanya rumah subsisi, yang non-subsidi juga perlu kita perjuangkan,” kata Ketua Umum Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida saat ditemui Bisnis, Selasa (11/2/2020).

Menurut Totok, ada sejumlah regulasi yang sampai saat ini masih menjadi penghambat besar bagi pengembang non-subsidi antara lain adalah aturan terkait Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). 

Menurutnya, ketimpangan antara hak pembeli dan pengembang masih menjadi beban berat bagi pengembang.

“Misalnya pengembang sudah sesuai jadwal, kalau ada yang membatalkan pembeli hanya dipotong 10%. Padahal kalau kita disuruh mengembalikan 90% itu enggak mudah,” ucapnya. 

Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa dana yang sudah dibayarkan pembeli akan langsung ditanamkan ke proyek yang tengah dibangun. Lebih merugikan lagi jika proyeknya merupakan highrise building atau rumah toko yang jadi satu kesatuan.

“Kalau yang membatalkan cuma satu unit ini kan berat,” lanjutnya. 

Selain itu, Totok mengungkapkan aturan one man one vote di rumah susun dan apartemen dianggap dapat menghambat investasi karena pemilik merasa tidak diperlakukan secara adil. 

“Kalau satu apartemen yang laku hanya 10 unit, artinya 10 unit itu menentukan nasib dari 1.000 unit sisanya. Bagaimana orang berani investasi?” imbuhnya. 

Totok menyebut, pihak REI terus memperjuangkan nasib para pengembang dengan mengadakan diskusi terkait berbagai persoalan yang dihadapi bersama pemerintah.

Dia juga berharap agar ke depannya pelaku industri bisa diajak mendiskusikan aturan yang sedang disusun dari awal hingga selesai agar dapat memperkecil risiko ketimpangan setelah aturan diterbitkan. 

“Jadi pemerintah sering kali kalau susun aturan kami [REI] enggak diajak, tetapi begitu harmonisasi dan terbit, keluarnya beda,” ungkapnya.
 
Sumber: