SEPUTAR DAERAH

Pengembang di Maluku Butuh Kepastian Status Tanah

Administrator | Selasa, 09 Juni 2020 - 10:03:40 WIB | dibaca: 581 pembaca

Provinsi Maluku dengan total wilayah administratif seluas 712.480 km2 hanya memiliki 7,6% daratan yang tersebar di 1.412 pulau. Luas daratan relatif kecil serta total jumlah penduduk yang hanya sekitar 1,77 juta jiwa membuat industri properti di daerah ini sulit bertumbuh.

Hal itu diungkapkan Ketua DPD Realestat Indonesia (REI) Maluku A.E Rizal Sangadji, usai terpilih kembali secara aklamasi dalam Musyawarah Daerah (Musda) ke-V REI Maluku di Sekretariat DPP REI, Jakarta, Senin (25/11).

“Luas wilayah relatif kecil dan jumlah penduduk yang juga tidak terlalu besar itu mempersulit upaya pengembangan bisnis perumahan di Maluku. Namun, program penyediaan hunian bagi masyarakat di sana harus terus dijalankan karena inilah bidang usaha yang kita geluti,” ucap Rizal kepada Majalah RealEstat.

Dikatakan, beratnya tantangan yang dihadapi memaksa sejumlah pelaku pembangunan perumahan di Maluku berjibaku supaya tetap dapat bertahan. Dalam beberapa tahun lalu terakhir diakui banyak pengembang di Maluku yang beralih ke bisnis lain karena susahnya penjualan rumah di daerah tersebut, ditambah lagi habisnya kuota FLPP sejak pertengahan tahun ini.

Meski begitu, namun minat pengembang dari luar Maluku ternyata justru masih tinggi. Saat ini ada dua perusahaan pengembang dari luar daerah yang mencoba peruntungannya di Maluku.

“Ada pengembang nasional dari Jakarta dan satu lagi pengembang rumah bersubsidi asal Papua Barat yang berencana membangun proyek properti di Kota Ambon,” tutur Rizal.

Hanya saja, Rizal mengingatkan, pengembang yang ingin masuk ke Ambon untuk lebih berhati-hati dalam penyediaan lahannya karena ketidakpastian status lahan masih kerap terjadi di Ambon.

“Status lahannya dibilang jelas ya jelas, dibilang tidak jelas juga tidak. Banyak dari lahan di Maluku, khususnya di Kota Ambon berstatus tanah ulayat. Jadi ketika pengembang ingin melakukan peningkatan status hak atas tanah, tiba-tiba bisa dipalang oleh masyarakat adat setempat,” ungkap dia.

Plt Sekretaris Jenderal DPP REI Rahmad Yadi mempertanyakan apa yang menjadi landasan aturan dari penutupan lahan oleh masyarakat adat, dan apakah sudah ada upaya hukum maupun pendekatan terhadap masyarakat adat oleh REI.

“Atau kah pemangku adat setempat mengetahui aksi pemalangan yang dilakukan warganya,” tanya Rahmad.

Berdasarkan pengalaman di lapangan, sebut Rizal, status kepemilikan yang sah dan diterbitkan oleh Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) berupa sertipikat tanah ternyata masih bisa digugat bahkan dapat digugurkan dengan adanya status eigendom verponding.

“Walau pun posisi kita benar, tapi kita tetap harus menghadapi gugatan hukum tersebut. Kalau pun menggugurkan, tapi gugatan itu menghambat proses bisnis kita karena pihak perbankan maupun calon pembeli tidak akan mau ambil risiko,” jelas dia.

Musda Ditengah Keterbatasan
Lebih jauh Rizal meminta maaf karena agenda organisasi REI Maluku terpaksa diselenggarakan di Jakarta. Hal ini karena kondisi Kota Ambon yang belum kondusif seiring masih sering terjadi bencana alam gempa bumi.

Sesuai data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), pasca gempa tektonik magnitudo 6,5 pada 26 September 2019 silam telah terjadi sedikitnya 2.000 kali gempa susulan.

Kendati sebagian besar gempa susulan berskala kecil atau dibawah magnitudo 6,5, tercatat ada sejumlah gempa susulan dengan magnitudo cukup besar. Antara lain magnitudo 5,2 pada 10 Oktober 2019 dan 5,1 pada 12 November 2019.

“Musda V REI Maluku semula dijadwalkan pada tanggal 16 November 2019, dan kami sudah pesan akomodasi. Namun terpaksa digagalkan mengingat adanya kondisi force majeur berupa gempa tektonik yang dapat mengancam keselamatan jiwa,” tutup Rizal. (Oki Baren)