INFO DPD REI
Pengembang Aceh Kaji Opsi Tinggalkan Rumah Subsidi

Pengembang anggota Dewan Pengurus Daerah Realestat Indonesia (DPD REI) Aceh selama ini sangat fokus dalam membangun perumahan bersubsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Namun, sejak 2020 perizinan rumah subsidi semakin sulit dan pembangunan mulai tersendat.
Ketua DPD REI Aceh, Muhammad Nofal menyebutkan pengembang anggota REI Aceh paling banyak membangun rumah subsidi selama periode 2016 hingga 2019. Namun setelah itu, semakin sedikit yang dibangun karena terlalu banyak hambatan regulasi baik aturan pemerintah maupun perbankan.
“Semakin kemari, regulasi dalam pem-bangunan rumah subsidi semakin banyak, rumit dan membingungkan. Ini memengaruhi semangat pengembang rumah subsidi untuk membangun,” ujar Nofal kepada Majalah Real- Estat Indonesia, baru-baru ini.
Dijelaskan, masalah utama saat ini yang paling menyulitkan pengembang adalah terkait kebijakan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) sebagai pengganti Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang sampai saat ini tidak pasti kapan dapat dikeluarkan.
Bahkan kini jelang akhir tahun, masalah ber-tambah setelah pengumuman kenaikan bahan bakar minyak (BBM) karena bakal membuat harga-harga material melonjak tinggi. Apalagi, bahan material bangunan di Aceh sebagian be-sar harus dibeli dari Medan, Sumatera Utara.
“Ini harga barang material naik terus. Se-belum naik BBM pun harga besi dan semen sudah naik, sekarang BBM naik jadi semakin gila-gilaan (kenaikan material). Produksi rumah sekarang makin terganggu,” jelas Nofal.
Padahal, diakui pasar rumah subsidi sangat bagus di Aceh. Kebutuhan backlog juga cukup tinggi terutama di daerah sekitar Kota Banda Aceh seperti di Aceh Besar. Tetapi akibat masa-lah regulasi ini sangat menghambat dan bukan tidak mungkin target REI Aceh sebanyak 2.000 unit rumah subsidi di 2022 sulit tercapai.
“Mungkin kami terpaksa koreksi target men-jadi 1.500 unit, mengingat hingga akhir Agustus capaian belum sampai 1.000 unit,” jelas Nofal.
Beralih ke Komersial
Kesulitan perizinan dan bahan material ini membuat pengembang di provinsi paling ujung barat Indonesia itu mulai beralih mem-bangun rumah komersial dengan “rasa” subsidi untuk mengejar cashflow. Meski belum bisa menyamai pasar subsidi secara jumlah, namun penjualan sudah sangat baik.
“Yang paling banyak dicari adalah rumah di harga Rp200 juta hingga Rp300 juta. Itu yang terbesar karena harganya tidak jauh dari harga rumah subsidi. Bahkan harga Rp700 juta hingga Rp1,2 miliar juga mulai ada yang cari,” ujarnya.
Oleh karena itu, Nofal sudah mengajukan ide ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk membuat skema baru untuk aturan rumah subsidi. Dia mengusulkan agar suku bunga rumah bagi MBR ada yang sebesar 7% (di atas bunga subsidi sekarang sebesar 5%) namun luasan bangunannya lebih besar dari rumah subsidi. Selain itu, harga jualnya juga diserahkan ke pasar, namun dibatasi ambang atasnya.
Di sisi lain Nofal melihat, pada tahun ini pangsa pasar rumah komersial justru tumbuh hingga 20% dengan hunian seharga maksimal Rp250 juta per unit.
“Tahun depan jika perizinan tidak membaik, pengembang REI di Aceh mungkin akan me-milih opsi beralih ke rumah non-subsidi saja dan hanya menjual ready stock rumah subsidi yang ada,” tegas Nofal.
Dia meminta pemerintah dalam hal ini Kementerian PUPR untuk melakukan evaluasi dan melihat kenyataan bahwa capaian rumah subsidi semakin menurun. Menurut Nofal, ganti atau tunda saja perizinan yang kontraproduktif.
Terlebih, di Aceh tidak seperti daerah lain yang didukung pembiayaan dari bank konvesional. Di Aceh saat ini hanya mengandalkan dua bank syariah untuk akad kredit sehingga pilihannya sangat terbatas. (Teti Purwanti)
Sumber:

- Sebelum Inflasi Tinggi, Yuk Beli Properti!
- Pandemi Ubah Persepsi Konsumen
- Ekspatriat Terbatas, Apartemen Sewa Juga Tertahan
- Menanti Titik Balik Pasar Apartemen
- 32 Penerima Raih Properti Indonesia Award 2022