AKTUAL

Pendanaan Bisnis Proptech di Asia Pasifik Menurun

Administrator | Rabu, 07 Oktober 2020 - 15:03:44 WIB | dibaca: 274 pembaca

Foto: Istimewa

Penelitian perusahaan riset properti, Jones Lang Lasalle (JLL) yang didukung Tech In Asia mengungkapkan pendanaan untuk perusahaan rintisan di bidang teknologi properti (property technology/proptech) di Asia Pasifik mengalami penurunan di 2019. Kondisi itu lebih karena berkurangnya minat Venture Capital (VC) yang biasa menyuntikkan dana ke bisnis tersebut.

Director of Proptech JLL Asia Pasifik Jordan Kostelac mengatakan setelah meraih pendanaan lebih dari US$$1 miliar pada 2018, perusahaan-perusahaan rintisan di bidang proptech mengalami penurunan volume pendanaan sebesar 38,4 persen pada 2019. Tahun lalu, start-up di bidang teknologi properti di wilayah Asia Pasifik hanya meraih pendanaan sebesar US$ 625,9 juta.

Selain itu, jumlah kesepakatan pendanaan juga berkurang dari 50 kesepakatan pada 2018, menjadi hanya 38 kesepakatan pada 2019. Meskipun demikian, dia mengatakan bahwa angka-angka tersebut hanya menunjukkan minat venture capital (VC) dan kurang mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi di industri realestat.

Secara umum proptech sendiri didefinisikan sebagai penggunaan teknologi informasi untuk membantu pengguna melakukan pencarian, pembelian, penjualan, dan pengelolaan real estat. Saat ini bentuknya beragam, mulai dari situs listing properti, platform virtual reality untuk meningkatkan pengalaman pengguna, sistem penyewaan, hingga pendanaan properti.

Ditambahkan Kostelac, minat terhadap Proptech di Asia Pasifik sebetulnya masih terus tumbuh dan para pemain lama saat ini lebih menggunakan pendekatan strategis dan terintegrasi, ketimbang menggunakan jalur investasi melalui VC.

“Industri realestat relatif terlambat dalam menghadapi revolusi teknologi. Hal ini memberikan kesempatan bagi perusahaan besar dan perusahaan realestat untuk berinovasi dan berinvestasi secara internal dalam teknologi,” tutur dia dalam laporannya, baru-baru ini.

Kostelac menambahkan di Asia Pasifik adopsi teknologi bagi perusahaan dinilai sangat cepat lantaran sifat pasar yang dinamis. Banyak perusahaan memasuki kemitraan sambil meningkatkan uji coba dan penerapan teknologi baru dalam portofolio mereka. Misalnya, JLL memiliki solusi teknologi yang luas dan juga telah mendirikan Global Centre of Expertise for Technology, Data and Information Management dua tahun lalu.

“Fasilitas ini ditujukan untuk mengembangkan solusi baru dengan memanfaatkan teknologi terbaru yang tersedia,” kata dia.

Sebelumnya, Jones Lang LaSalle menyebut 179 startup di Asia Pasifik memperoleh investasi mencapai US$ 4,8 miliar (sekitar Rp 67 triliun) atau lebih dari 60 persen dari total investasi proptech di dunia selama periode 2013 hingga 2017. Dari angka tersebut, China dan Hongkong menyerap US$ 3 miliar (atau sekitar Rp 42 triliun).

Pasar Indonesia
Bagi Indonesia, pasar proptech sangat menjanjikan. Meski industri properti nasional mengalami perlambatan dalam empat tahun terakhir sebagaimana yang juga dialami oleh sebagian negara di Asia, tetapi potensi bisnisnya dinilai masih cukup besar.

Terlebih bila mengingat pertumbuhan ekonomi yang masih positif, dan didukung dengan jumlah populasi generasi produktif dan kelas menengah Indonesia memiliki daya beli dan kebutuhan terhadap hunian.

Di Indonesia, sejumlah perusahaan proptech sudah bermunculan dan eksis. Awal 2018 misalnya, pengembang situs properti asal Singapura 99.co resmi mengumumkan akuisisinya terhadap platform lokal Urbanindo. Layanan 99.co terus tancap gas dan menjadi platform untuk perantara transaksi jual-beli realestat.

REA Group dengan platform Rumah123 juga lebih dahulu eksis, bahkan seiring langkah 99.co mengakuisisi iProperty yang termasuk di dalamnya Rumah123, kedua brand ini pun berkolaborasi untuk menguasai bisnis proptech di Asia Tenggara.

Selain dua grup perusahaan tersebut, di Indonesia juga beroperasi unit bisnis milik PropertyGuru. Mereka menjalankan dua situs, yakni Rumah.com dan Rumahdijual.com yang diakuisisi pada akhir 2015 lalu. Di Indonesia, operasionalnya turut didukung konglomerasi EMTEK Group.

Lamudi juga turut jadi pengembang situs listing properti yang mengudara di Indonesia. Mereka hadir sejak 2014 dan setahun kemudian mengakuisisi platform PropertyKita. Terakhir, muncul PropertyInside dengan platform listing, database dan informasi properti.

Menurut Direktur Eksekutif PropertyInside.id, Erwin J Koto peluang proptech di Indonesia sebenarnya tidak hanya seputar listing dan database semata karena masih banyak sektor lain yang belum tergarap secara digital.

“Kami melihat proptech di Indonesia masih berkutat pada listing dan database, padahal masih banyak subsektor lain yang bisa dikembangkan. Mulai dari arsitektur digital, design interior digital, sampai toko bahan bangunan digital. Ini semua menjadi  celah berkembangnya bisnis proptech ini di masa mendatang,” papar Erwin.

Lebih lanjut, Erwin menjelaskan PropertyInside.id akan mengambil peluang proptech di segmen informasi dan pemasaran. Dia menyebutkan ada peluang di segmen ini ditambah lagi telah terjadi shifting pada industri media dan periklanan dari yang konservatif ke digital. (Teti/Rinaldi)