AKTUAL

Pemindahan Ibukota, Akankah Terwujud?

Administrator | Kamis, 11 Juli 2019 - 10:45:06 WIB | dibaca: 559 pembaca

Foto: Istimewa

Rapat terbatas (ratas) yang dipimpin Presiden Joko Widodo (Jokowi) di kantor presiden, Jakarta, Senin (29/4) tiba-tiba saja menggulirkan kembali wacana pemindahan ibukota. Isu ini pernah mencuat kencang dua tahun lalu, meski akhirnya senyap.

Saat pembukaan ratas tersebut, Jokowi menekankan bahwa gagasan pemindahan ibukota dari Jakarta sudah muncul lama, yakni pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

“Wacana ini timbul tenggelam karena tidak pernah diputuskan dan dijalankan secara terencana dan matang,” ujar Jokowi.

Dia menyebutkan ada tiga kandidat lokasi ibukota baru Republik Indonesia. Namun dia mengaku belum memutuskan lokasi finalnya, meski lebih cenderung memilih Pulau Kalimantan. Alasannya karena Kalimantan berada persis di tengah-tengah wilayah Indonesia.

“Bisa di Sumatra, tapi kok nanti yang timur jauh, di Sulawesi agak tengah tapi di barat juga kurang, di Kalimantan kok di tengah-tengah,” terang Jokowi seperti dikutip dari Kontan.

Beberapa hal menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk menetapkan lokasi. Antara lain mengenai lingkungan, air, dan kebencanaan. Kemudian dia juga mengungkapkan perlu melihat kemungkinan dalam pengembangan ibukota baru tersebut. Tidak hanya penentuan lokasi, pembahasan pemindahan ibu kota juga membahas sisi kebijakan. Kebijakan tersebut disusun untuk jangka panjang.

Presiden Jokowi menambahkan bahwa pemindahan ibukota bukan tentang simbolis semata, melainkan ada faktor ekonomi. Jakarta dinilai tak bisa memikul fungsi pusat pemerintah, pelayanan publik, dan bisnis.

Wacana pemindahan ini terkait kemajuan ekonomi Indonesia di masa depan. Negara lain seperti Kazakhstan dan Malaysia turut menjadi contoh perpindahan ibu kota. “Pembahasan ini tidak hanya mempertimbangkan manfaat jangka pendek semata, namun, terutama kebutuhan dan kepentingan negara dalam perjalanan menuju negara maju,” ujar Jokowi.

Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro menyebut diperkirakan butuh dana sekitar Rp 466 triliun untuk pengembangan ibukota baru seluas 40.000 hektar.

“Kita mencoba membuat estimasi besarnya pembiayaan tadi dimana skenario satu diperkirakan butuh biaya Rp 466 triliun atau 33 miliar dollar AS,“ kata Bambang.

Lahan seluas 40.000 hektar dibutuhkan jika jumlah penduduk mencapai 1,5 juta jiwa yang terdiri dari seluruh aparatur sipil negara yang bekerja di kementerian dan lembaga, lembaga legislatif dan yudikatif, pelaku ekonomi, dan anggota TNI dan Polri yang turut bermigrasi ke ibukota baru.

Sedangkan skenario kedua, dengan keperluan luas lahan yang lebih kecil, yakni 30.000 hektar, diperkirakan membutuhkan butuh biaya Rp 323 triliun atau 23 miliar dollar AS. Adapun jumlah orang yang bermigrasi yakni 870.000 jiwa. 

“Pembiayaan pembangunan ibukota baru sebesar Rp 466 triliun itu memiliki porsi sekitar Rp 250 triliun dari pemerintah, dan sisanya oleh pihak swasta,” ujar Bambang.

Bappenas sudah mengkonfirmasi kepada Menteri Keuangan bahwa biaya tersebut masih dalam batas yang wajar karena pemerintah bisa melakukan kerja sama baik dengan BUMN, swasta secara langsung, maupun kerja sama dalam bentuk KPBU atau Kerja sama Pemerintah-Badan Usaha.

Dukungan Swasta
Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) menyambut baik rencana pemerintah untuk memindahkan ibukota termasuk keinginan pemerintah melibatkan peran swasta.

Wakil Ketua Umum DPP REI bidang Tata Ruang, Kawasan dan Properti Ramah Lingkungan, Hari Ganie mengakui saat ini Kota Jakarta memikul banyak sekali beban dari mulai sebagai ibu kota negara, pusat administrasi pemerintahan, pusat bisnis dan investasi, pusat keuangan, jasa dan perdagangan. Beban kota yang menumpuk di satu lokasi membawa konsekuensi buruk.

Salah satunya kemacetan lalu lintas yang semakin hari semakin parah, tingkat urbanisasi yang tinggi, ancaman banjir, memburuknya sanitasi, kekumuhan dan banyak hal lain yang berujung pada berkurangnya rasa kenyamanan penduduknya.

Namun di sisi lain dia juga meyakini untuk memindahkan ibu kota negara juga bukan persoalan mudah. Tidak bisa dengan tiba-tiba dipindah, karena fungsi-fungsi Kota Jakarta tadi melekat dan sulit dipisahkan dalam seketika.

“Tentu ini perlu kajian, evaluasi, dan perencanaan yang sangat matang, sehingga perpindahan ibu kota ini tidak mengganggu aktivitas masyarakat. Termasuk sistem infrastruktur yang terintegrasi yang mendukung kegiatan pemerintahan di lokasi baru nantinya, ungkap Hari Ganie.

Sekiranya pemindahan ibu kota negara benar-benar terjadi, ungkap Hari Ganie, REI tentu berharap bisa berperan banyak dalam mendukung penyediaan fasilitas kota terutama perumahan. Menurut dia, pemindahan ibu kota misalnya ke Pulau Kalimantan, itu sama halnya dengan membuka dan mengembangkan satu kota baru.

“Ini kan polanya sama dengan pengembangan kota baru (township). Di situ perlu pengembangan infrastruktur dasar, fasilitas penunjang kota, bahkan perumahan. Nah, anggota REI yang jumlahnya lebih dari 5.200 perusahaan di 34 provinsi kompetensinya di situ. Kami punya sumber daya yang komplit dalam pengembangan satu kota baru,” tegas alumnus Jurusan Planologi ITB Bandung tersebut.

Selain itu, tambah Hari Ganie, proyek yang dikerjakan pengembang anggota REI di seluruh Indonesia itu bersifat multiproduk. REI merupakan asosiasi terbesar yang membangun rumah murah di Indonesia.

Di sisi lain banyak perusahaan properti anggota REI juga memiliki peng-alaman dan reputasi yang baik dalam membangun township. Dia bahkan memastikan sebagian besar dari pengembang kota baru di Indonesia adalah anggota REI.

Kalau betul nanti pemindahan ibu kota ini menjadi keputusan politik pemerintah, dia melihat hal itu sebagai peluang bagi pengembang anggota REI terlebih yang sudah punya track record dalam pengembangan kota baru.

“Jadi kalau ditanya bagaimana REI melihat rencana pemindahan ibu kota, maka kami tentu tidak dalam posisi dukung atau tidak dukung. Tapi kami mendukung setiap rencana pemerintah sesuai kompetensi REI dalam bidang pengembangan kawasan properti. Kami siap diminta masukan dan dilibatkan terkait kajian tersebut, ujar Hari Ganie.

Aspek Hukum
Sementara itu, Pengamat Hukum Properti Muhammad Joni berpendapat dari sisi hukum rencana pemindahan ibukota itu sebaiknya tidak dilakukan secara tergopoh-gopoh.

“Ini bukan hanya urusan membangun kawasan sebagai pusat untuk menjalankan pemerintahan saja, tetapi ada soal hukum di sana. Bahkan ini urusan konstitusi, yang bertaut pula dengan sejarah perjuangan dan sejarah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,” tegas Joni yang dihubungi, baru-baru ini.

Dia menjelaskan, secara hukum saat ini sudah ada dan masih berlaku UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU 29/2007).

Dengan ketentuan ini maka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terdiri atas lembagalembaga negara sesuai konstitusi berkedudukan hukum di ibukota negara. Bukan ibukota pemerintah.

Kemudian, ikhwal ibukota NKRI adalah isu hukum, bahkan isu hukum yang tidak biasa karena berlatar sejarah perjuangan, alibi sejarah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

“Bagaimana pun perumusan konstitusi dan ideologi negara, tidak lepas dari latar sejarah bangsa itu sendiri. Sebab itu jangan membangun opini parsial dan teknis fisik perihal pemindahan ibukota negara,” tegas pengacara yang juga menjabat Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI) itu.

Joni mengingatkan bahwa ibukota negara bukan hanya ibukota pemerintah apalagi hanya dipahami kawasan tempat menyelenggarakan “pusat pemerintahan”. Pemerintah tidak idemditto Negara, ujar dia. Sebab negara bukan hanya eksekutif. Karena itu ibukota NKRI terkait langsung dengan kedudukan hukum (domisili) lembaga-lembaga negara dalam kerangka NKRI.

Termasuk pula lembaga negara tambahan (state auxiliary body) seperti bank sentral, sehingga perlu diluruskan pemahaman bahwa ibukota negara cq ibukota NKRI tidak bisa diminimalisir hanya ibukota pemerintahan. (Rinaldi)