GAGASAN

Paradigma Baru Perumahan dan Perkotaan

Administrator | Jumat, 13 November 2020 - 11:22:21 WIB | dibaca: 1187 pembaca

Oleh: Prof. Dr. Ir. Budi Prayitno, M.Eng., Guru Besar Teknik Arsitektur dan Perencanaan UGM, dan Ketua Dewan Pakar The HUD Institute


Papan merupakan salah satu kebutuhan dasar untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat disamping sandang, pangan, pendidikan, dan kesehatan. Pemenuhan kesejahteraan rakyat berbasis hak ini dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Deklarasi Universal HAM (DUHAM) sehingga negara wajib hadir dari mulai penyusunan kebijakan, strategi, dan pembangunan perumahan rakyat.

Namun, sampai saat ini masih banyak persoalan yang perlu dibenahi dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan rakyat. Misalnya kebijakan pembiayaan perumahan rakyat berbasis subsidi, tabungan, jaminan sosial, maupun pemanfaatan skema pembiayaan sekunder perumahan masih membutuhkan penanganan yang lebih efektif.

Demikian pula kebijakan penyediaan tanah bagi perumahan rakyat dengan konsep kawasan siap bangun (Kasiba) dan lingkungan siap bangun (Lisiba) sampai saat ini masih belum menunjukkan efektivitas pelaksanaannya. Selain itu, berbagai konsep tentang pencadangan tanah dalam bentuk bank tanah juga telah dicoba untuk dikaji, namun masih perlu pengembangan lebih lanjut.

Berbagai paradigma telah digunakan untuk menyusun konsep dan teori pembangunan perumahan rakyat di perkotaan (Prayitno, 2016).

Antara lain paradigma pembangunan yang memosisikan rumah sebagai hak dasar dan hak asasi manusia membantu memperkuat kehadiran negara dalam mendorong keberpihakan di sektor papan sebagai prioritas pembangunan.

Kemudian paradigma yang memandang rumah sebagai bagian dari tata ruang dengan memasukkan fungsi hunian sebagai salah satu elemen tata kelola lingkungan yang tangguh dan berkelanjutan, tangguh terhadap bencana alam, infrastruktur dan pandemi (Prayitno, 2020).

Namun, paradigma-paradigma tersebut belum mampu mengidentifikasi faktor-faktor penting yang mengantisipasi fenomena perumahan perkotaan yang semakin masif.

Untuk itu, perlu paradigma baru yang memposisikan rumah sebagai bagian dari isu perkotaan (Habraken, 1998; Turner & Fichter, 1972), di mana lahan menjadi faktor penentu efektivitas penyediaan perumahan.

Pencadangan tanah yang dilakukan dalam proses pengadaan lahan bagi pembangunan perumahan komersial dalam skala besar semakin memperlebar jurang ketimpangan keadilan atas tanah. Proses densifikasi dan intensifikasi nilai lahan harus segera ditangani dengan prinsip keadilan melalui pendekatan kemitraan. 

Cerda dalam bukunya Teoria General de la Urbanizacion menjelaskan tentang fungsi kota yang baik adalah sebagai tempat berbagi dalam berhuni (cohabitation), (Aureli, 2011).

Kebijakan hunian berimbang mewajibkan pembangunan perumahan dengan komposisi 1:2:3, di mana pengembang yang membangun satu unit rumah mewah wajib membangun 2 unit kelas menengah dan 3 unit rumah sederhana.

Kebijakan ini dalam pelaksanaannya bisa lebih berkembang dan lebih fleksibel dimana pengembang bisa melakukan komposisi 1:3 tanpa membangun rumah kelas menengah, dan bisa juga melakukan komposisi 2:3 tanpa membangun rumah mewah atau hanya membangun rumah sederhana saja.

Dalam praktiknya, kebijakan ini masih sulit diimplementasikan mengingat perbedaan karakter daerah yang sangat beragam. Untuk itu perlu dilakukan pemetaan terhadap kemungkinan alternatif pembiayaan dan penyediaan tanah yang lain.

Salah satu peluang yang dapat dikembangkan adalah penerapan konsep nilai tangkapan lahan (land value capture) dan konsep berbagi (shared). Karena itu, pemberdayaan mekanisme pasar melalui penguatan peran kemitraan pihak swasta dan badan usaha dengan pihak pemerintah dan pemerintah daerah sangat diperlukan untuk mensinergikan aset, kelembagaan, dan regulasi.

Konsep hunian berimbang yang saat ini hanya merupakan pelimpahan tanggung jawab sosial terhadap korporasi berpeluang untuk diintegrasikan dengan pendekatan shared land value capture.

Perubahan Paradigma
Pemenuhan kesejahteraan atas papan dalam fenomena dunia yang mengkota menghadapi tantangan yang semakin kompleks dan rumit.

Perkembangan konsep penyelenggaraan perumahan rakyat yang pada awalnya hanya berupa jejaring hunian, tempat kerja dan mobilitas (Prayitno, 1998) saat ini berkembang menjadi sebuah kompeksitas ekosistem jejaring ruang huni dan mobilitas multilevel, infrastruktur, sistem penyediaan energi, sistem pengelolaan sumber daya air, dan sistem ketersediaan pangan.

Selama ini, paradigma yang dipakai masih menggunakan cara pandang parsial di mana perumahan diposisikan sebagai bagian dari pengendalian tata ruang, sebagai sebuah komoditas, dan sebagai hak yang harus dijamin perlu dikonstruksikan sebagai sebuah kesatuan fungsi perekayasaan teknis ekosistem.

Aspek sistem kepranataan (regulasi, kelembagaan, dan tata kelola) yang merupakan faktor kunci dalam menyelesaikan permasalahan dan tantangan pembangunan perumahan rakyat perlu diintegrasikan sebagai fungsi perekayasaan kebijakan. Kebijakan dan tata kelola sistem pembangunan perumahan perlu dikonsolidasikan melalui sinkronisasi hierarki kewenangan dan harmonisasi sektoral.

Penguatan inovasi kebijakan dan keberpihakan politik perumahan untuk mewujudkan program akselerasi pemenuhan kesejahteraan papan harus dilakukan melalui proses konsolidasi kebijakan intervensi pemerintah. Kebijakan politik perumahan berbasis kesejahteraan (welfare policy) perlu diintegrasikan dengan sistem mekanisme pasar.

Dominasi kekuatan pasar perumahan komersial perkotaan juga perlu diimbangi dengan penguatan peran pemerintah daerah yang memiliki kewenangan pengaturan wilayah serta penguatan peran lembaga pengatur, pembina, pengawasan, dan pengendalian perumahan dan perkotaan. Fungsi otoritas penyelenggara perumahan dan perkotaan dalam mengendalikan sistem pembiayaan dan sistem tata kelola pertanahan mutlak harus bisa disinergikan dengan sistem kompetisi mekanisme pasar secara berkeadilan.

Penguatan sinergitas pemerintah, pemerintah daerah, dan badan usaha dalam tata kelola aset, kelembagaan, dan regulasi sangat menentukan efektivitas dan capaian kinerja pemenuhan kebutuhan pembangunan perumahan rakyat yang sudah bergeser dari sekedar penyelenggaraan pembangunan perumahan ke penyelenggaraan pembangunan industri perkotaan.

Untuk itu sangat diperlukan inovasi rekayasa kebijakan dan rekayasa teknologi arsitektur fabrikasi permukiman dan perkotaan.

Demikian pula inovasi rekayasa kebijakan pertanahan dengan mengelola nilai tangkapan lahan untuk diintegrasikan dengan konsep kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun (Kasiba dan Lisiba) berorientasi transit (transit oriented development/TOD) dalam program pembangunan dalam skala besar dapat dilakukan melalui kemitraan dan pengembangan skema pendanaan kreatif (creative funding) dan skema pembiayaan campuran (blended finance).

Kebijakan intervensi politik pembangunan perumahan sebagai bentuk kehadiran negara dalam menjamin hak bermukim sebagai bentuk melalui penguatan institusi otoritas penyelenggara serta inovasi rekayasa kebijakan dan rekayasa teknis merupakan prinsip dasar dalam mengembangkan industrialisasi perkotaan.

Dukungan kesiapan infrastruktur kawasan permukiman berskala besar merupakan prasyarat kunci terselenggaranya proses industrialisasi perkotaan. Tanpa ketersediaan infrastruktur yang mewadahi, akan menghambat investasi yang mutlak sangat diperlukan dalam mendorong akselerasi, capaian, kinerja pembangunan perumahan rakyat.

Gagasan paradigma baru perumahan rakyat ini merupakan sebuah konstruksi teori yang menjelaskan hubungan antara proses pembangunan perumahan dengan fenomena dunia yang mengkota untuk memahami faktor-faktor penting sebagai dasar penyusunan konsep pembangunan perumahan rakyat berbasis pada paradigma industrialisasi perkotaan.

Gagasan paradigma baru ini didasarkan pada latar belakang pembangunan perumahan rakyat yang sampai saat ini belum menggunakan cara pandang sistemik atau dengan kata lain masih cenderung parsial atau fragmented.

Paradigma ini menggunakan cara pandang dan memosisikan rumah sebagai hak yang harus dijamin, rumah sebagai bagian dari sistem pengendalian spasial/tata ruang dan rumah sebagai wadah interaksi sosial kehidupan penghuninya.

Untuk itu, diperlukan paradigma baru yang memandang dan memosisikan rumah sebagai satu kesatuan ekosistem yang terintegrasi dengan fenomena perumahan yang mengkota dan berorientasi pada pembangunan perumahan secara masif serta harus diselesaikan dengan prinsip industrialisasi.
 
 
Sumber: