TATA RUANG

Pandemi dan Pentingnya Peranan Perencana Kota

Administrator | Senin, 17 Januari 2022 - 13:13:28 WIB | dibaca: 268 pembaca

Foto: Istimewa

Upaya mengatasi pandemi Covid-19 memiliki keterkaitan dengan peran para perencana kota atau planner dalam merancang kawasan perkotaan. Dibutuhkan perencanaan dan kebijakan perkotaan yang paling tepat untuk membawa indonesia keluar dari “kurungan” pandemi ini.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menegaskan perencanaan wilayah dan kota serta profesi perencana kota berperan penting dalam mendukung upaya melewati pandemi Covid-19. Pada dasarnya, kata dia, peningkatan kasus infeksi Covid-19 terjadi akibat adanya kerumunan penduduk. Dengan ketidakpastian mengenai kapan pandemi akan berakhir, menjadi penting bagi para perencana wilayah dan kota untuk mengatur agar tataruang tidak berpotensi menimbulkan kerumunan.

“Selain itu, penting bagaimana tata ruang dan rancang bangunan dapat mengakomodasi lebih banyak ruang terbuka, sirkulasi udara, dan cahaya matahari untuk mematikan virus,” ungkap Menkes dalam diskusi virtual Perencanaan di Masa Pandemi: Bagaimana Mempersiapkan Ruang di Masa Depan yang digelar Ikatan Alumni Planologi ITB (API) bersama-sama dengan Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Indonesia dan Himpunan Mahasiswa Teknik Planologi Pangripta Loka ITB, baru-baru ini.

Budi juga mengingatkan pentingnya memahami pandemi melalui data dan riset serta upaya untuk meratakan kurvanya agar perencanaan dapat menghasilkan kebijakan yang paling tepat untuk membawa Indonesia keluar dari pandemi.

Ketua Tim Akselerasi Pembangunan Jawa Barat, Diding Sakri mengatakan, perencanaan perlu memerhatikan karakter pandemi dan dampaknya yang bersifat regional, terutama terkait ekonomi dan ketenagakerjaan.

Diding menyebut kasus Covid-19 terkonsentrasi di kawasan perkotaan yang didominasi oleh kegiatan sektor manufaktur dan jasa. Pemerintah Jawa Barat memfokuskan vaksinasi di daerah-daerah dengan kasus infeksi Covid-19 terbesar dan saat ini kecepatan vaksinisasi di Jawa Barat adalah yang paling cepat di Pulau Jawa.

Di Jawa Barat sendiri, terjadi penurunan jumlah pekerjaan sebanyak 700 ribu pekerjaan di hampir semua sektor kecuali pertanian, kehutanan, dan perikanan yang diiringi penurunan PDRB sebesar sekitar Rp1.520 triliun.

Survei JPAL menunjukkan ada fenomena urban-rural temporary migration yang cukup signifikan, sebanyak 700.000 orang selama pandemi, yaitu berpindahnya penduduk dari kota ke desa untuk mencari pekerjaan akibat parahnya pandemi di kota. “Kondisi ini menjadi tren baru yang perlu diantisipasi oleh perencanaan wilayah dan kota,” ujar Diding.

Sementara dari perspektif perencanaan kota, Kepala Bappeda DKI Jakarta Nasruddin Djoko Surjono mengungkapkan, sejumlah penyesuaian yang harus dilakukan oleh pemerintah Provinsi DKI dalam hal penganggaran dan perencanaan tata ruang.

Salah satu isu penting yang dihadapi DKI saat ini adalah peningkatan jumlah anak yatim/piatu yang perlu dibantu oleh pemerintah dalam jangka panjang. Djoko menyebutkan selain menghadapi pandemi, DKI juga tetap perlu tetap mengejar tujuan-tujuan pembangunan utama untuk mengantisipasi masa depan, antara lain visi DKI Jakarta untuk menjadi Pandemic-Proof City, Crisis-Resilient City, Digitally Advanced City, dan Sustainable & Livable City.

Peneliti Digital Business Ecosystem Research Center Dodie Tricahyono menegaskan pentingnya memahami perubahan gaya hidup akibat pandemi yang menjadi masukan ke dalam model pertumbuhan perkotaan untuk mengetahui dampak pandemi terhadap tata ruang.

“Pandemi Covid-19 mempercepat transformasi digital yang akan menjadikan teknologi digital tidak sekadar teknologi namun juga lifestyle. Percepatan transformasi ini perlu diantisipasi dan dikawal oleh perencanaan, karena meskipun IoT dapat memberikan efisiensi dalam berbagai proses, namun tidak otomatis akan meningkatkan kualitas kehidupan,” katanya.

Pentingnya Penataan Ruang
Isu perubahan komposisi pekerjaan dan migrasi menjadi hal yang ditekankan oleh Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif CORE Indonesia. Pandemi mengakibatkan meningkatnya pekerjaan sektor informal karena banyaknya perusahaan di sektor formal yang terpaksa merumahkan pegawainya.

Penataan ruang perlu untuk memerhatikan isu tersebut mengingat informalitas ketenagakerjaan memiliki kaitan yang erat dengan informal settlements (permukiman informal). Hal ini diperparah dengan fakta bahwa bahkan sebelum pandemi, jumlah tenaga kerja di sektor manufaktur sudah menurun akibat peningkatan upah minimum yang cukup besar dan kecenderungan otomatisasi.

“Selama pandemi, terjadi peningkatan pertumbuhan pendapatan dari minimarket sementara supermarket atau retail besar justru anjlok. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat potensi kegiatan ekonomi perdagangan yang dekat dengan tempat tinggal penduduk,” ujar Faisal.

Isu penting terakhir yang perlu menjadi perhatian perencana adalah, karena banyak penduduk menghindari kerumunan di pusat kota, permintaan lahan di wilayah peri-urban/
pinggir kota akan meningkat, sehingga harga lahan juga akan meningkat dan beresiko membuat sulit penduduk berpenghasilan rendah untuk dapat mengakses ruang untuk tempat tinggal.

Sebelumnya di acara terpisah, Ketua Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) DKI Jakarta, Dhani Muttaqin mengungkapkan antara kesehatan dan perencanaan kota memang saling berkaitan. Menurut dia, sejarah perkembangan kota-kota di dunia sangat dipengaruhi oleh beberapa kondisi dan kebutuhan, salah satunya adalah karena isu kesehatan dan pandemi.

Dia memberi contoh perkembangan kotakota di Eropa yang pada abad 14 diserang wabah pes yang menyebabkan berkurangnya 60% populasi warga Eropa dan dikenal dengan black death, lalu pandemi global kolera di abad 18 dan 19 juga sangat memengaruhi perkembangan kota di benua biru tersebut.

Saat itu, ujar Dhani, banyak warga kota yang meninggal dunia, sehingga memaksa kota untuk menerapkan pendekatan baru dari sisi kesehatan yakni dengan memberikan perhatian khusus terhadap sanitasi kota dan penyediaan air bersih yang baik.

“Pandemi juga menyadarkan pentingnya pemerintah dan perencana kota untuk membuat standar baru terhadap perencanaan dan infrastruktur kota,” kata dia.

Dia memberi contoh pasca pandemi nanti penggunaan teknologi dan konsep smart city dalam perencanaan kota akan semakin masif. Saat ini bahkan sudah banyak teknologi yang sudah digunakan misalkan saja tracking pergerakan warga yang memungkinkan pemerintah kota memantau aktivitas warganya pada hari itu atau seminggu terakhir termasuk interaksi pertemuan dengan siapa saja.

Hal lainnya yang akan berubah adalah standar desain bangunan apartemen yang dulu mungkin bisa berdempetan, maka ke depan antar tower perlu disyaratkan adanya ruang terbuka, serta perlunya diperbanyak ruang terbuka hijau. (Rinaldi)
 
Sumber:
Majalah REI