GAGASAN

Omnibus Law Perumahan Rakyat, Mengabdi Pada Siapa?

Administrator | Rabu, 08 Juli 2020 - 14:27:30 WIB | dibaca: 593 pembaca

Foto: Istimewa

Oleh: Muhammad Joni, SH, MH, Managing Director Smart Property Consulting (SPC), Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute), dan Managing Partner Law Office Joni & Tanamas


Mengurai persilangan hukum memang bak benang basah kusut. Begitu pun dengan istilah Omnibus Law yang digaungkan Presiden Jokowi dalam beberapa kesempatan.

Diksi ‘omnibus’ berasal dari bahasa latin, artinya umum. Masih ingat prinsip ‘bellum omnium contra omnes’?, yang berarti ‘perang semua lawan semua’ dari Thomas Hobbes.

Omnibus Law dengan frasa lain Omnibus Bill dipandang jurus menerobos kebuntuan penerapan aturan hukum utamanya Undang-undang (UU) yang saling bertentangan. Pun, konflik norma (conflict of norm) juga norma relatif (relatively norm) dalam satu tubuh UU, yang membuat tenaga hukum tak leluasa bergerak. Hukum seakan norma utopia.

Kegundahan penegakan hukum acap dikaitkan dengan langit, dengan adagium ‘Fiat justitia ruat caelum’ (walau langit runtuh hukum harus ditegakkan), akankah adagium utopia? Omnibus Law penting sebab keadaan aturan dalam kegawatan yang nyata bukan utopia, seperti “elang hukum” kehabisan udara dan kehilangan langit.

Rakyat-lah yang paling terseok payah dan menderita jika perahu hukum berlayar dengan arah angin yang saling bertolak arah. Berpuntal bak badai ‘Alex’ di tengah Samudera Atlantik, apalagi turut ditarik tenaga bawah samudera. Dengan tamsil kapal berlayar adalah hukum dan etik adalah samudera, Earl Warren mantan Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat mengujarkan “In civilized life, law floats in a sea of ethics”.

Kiranya Omnibus Law semakin penting tatkala apabila norma hukum juncto UU berkonflik terbuka dengan etik yang justru saripatinya. Sebab itu, Omnibus Law bukan hanya jurus mengakur-akurkan hukum. Bukan hanya harmonisasi formal dan skala permukaan, namun akur berbasis etik juncto moral keadilan yang otentik yang menjadi saripati hukum.

Bagai seloka Melayu ‘sesat dijalan segera bergerak kepangkal’, jurus Omnibus Law itu mengonfirmasi tumpang tindih dan berpuntal-puntalnya norma UU yang dirasakan kental isme-isme sektoral.

Sekaligus mengonfirmasi betapa kesewenangan pembuatan hukum (arbitrary law making) idemditto kesewenangan pada hukum itu sendiri. Yang terbukti menjadi beban pemerintah yang paling berkuasa sekalipun, karena gagal diandalkan sebagai satu sistem hukum yang utuh-menyeluruh (a whole system). Yakni hukum yang konsisten, saling menguatkan, dan tidak saling memangsa.

Norma hukum tak boleh disersif dari sistem hukumnya. Hari Chand dalam ‘Modern Jurisprudence’ mengingatkan satu norma menjadi valid musti memenuhi persyaratan berikut ini “A norm must be part of a system of norms. The system must be efficacious”.

Kiranya, hukum buatan akal pikiran manusia dalam rujukan teori-teori hukum selalu dalam persimpangan alias perubahan antara stability and change. Sebab itu pada level pemikiran hukum ditantang merekonsiliasi antara stabilitas dengan kebutuhan perubahan. “... struggled to reconcile the conflicting deman of the need of stability and the need on change”. W. Friedmann, ‘Legal Theory’, p.468).

Alhasil, prognosa umum “epidemik” yang melanda aturan perundang-undangan bertumpu pada problema hukum tidak efektif hukum (uneffectiveness of the law) dan norma yang memiliki “cacat bawaan”.UU sedemikian acap menjadi pasal, ayat pun kata dan frasa yang nihilis walaupun bertitel norma. Naif dan tidak bijak menafikan penyamaran kepentingan politik (politics in disguise) pada status norma yang terimbuhkan dalam kata atau frasa, apalagi satu ayat dan pasal satu UU.

Pengalaman uji materil (judicial review) norma UU, tak sedikit satu diksi/frasa misalnya diksi/kata “dapat” dalam UU dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pun, bahkan satu lembaga negara tambahan (state auxiliary organ) seperti KKI (Konsil Kedokteran Indonesia nyaris bubar karena UU Tenaga Kesehatan (UU Nakes) yang menyisipkan Pasal 34 ayat (3), Pasal 90 ayat (1), (2), (3) dan Pasal 94 UU Nakes. Pasal-pasal yang bermaksud mencabut “nyawa” legalitas KKI.

Untung KKI, beserta Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) cermat dan ligat bergiat menguji kesewenangan pembuatan UU yang menyayat-nyayat “daging” UU Praktik Kedokteran (UU Prakdok).

Di persidangan MK, penulis berdalil pasal-pasal itu overmandatory dan arbitrary in law making. Akhirnya MK menyatakan ketiga pasal itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan berdasarkan putusan MK Nomor 82/PUU-VIII/2015. Begitulah, UU Nakes di satu sisi pernah memuat norma yang mencabut legalitas KKI yang berasal dari UU “saudara tua”-nya: UU Prakdok.

Bagaimana dengan hukum perumahan in casu UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP)? Tatkala paparan pada forum Komnas HAM saya mengungkap 8 butir kesenjangan UU PKP dengan UU lain, yang dikualifikasi konflik norma antar UU.

Tiga diantaranya, konflik norma perumahan dan permukiman versus pertanahan dan tata ruang, berikut konflik antara tugas/wewenang ke-Pera (perumahan rakyat)-an versus urusan ke-Pemda-an, dan arsiran antara perumahan rakyat (public housing) bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan perumahan bagi orang miskin.

Jika hendak mengulas hal ikhwal perumahan rakyat, rujukan pertama dan utamanya adalah konstitusi. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menegaskan hak bertempat tinggal untuk semua (for all) bukan hanya MBR. Konstitusi yang menjadi konstitusi yang hidup (living constitution). Sebab, menyitir satire dari Ewa Letowska, jurist-constitutionalis asal Polandia, konstitusi bukan seperti tamsil “menu restoran”, yang tertulis ada, namun tak tersedia di meja santapan.

Konstitusi bukan dokumen aspirasional dan proseduran belaka, meminjam I D.G. Palguna yang kini Hakim Konstitusi. Sebab itu, petisi opini ini agar Omnibus Law sebagai pilihan strategis kembali pada amanat konstitusi juncto etik dan moral hukum berkeadilan.

Jadi bukan hanya penyelarasan teknis perumusan norma belaka. Bukan semata menyanjung kepastian hukum (certainty of law) tetapi kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Untuk kemanfatan siapa Omnibus Law bekerja? Keadilan dan kesejahteraan rakyat, tentu!

Kembali kepada perumahan rakyat yang dalam UU PKP yang menormakan pemerintah wajib memenuhi rumah bagi MBR, vide Pasal 54 ayat (1) UU PKP. Untuk maksud itu, perumahan MBR yang dikualifikasi low income group namun bukan masyarakat dalam garis kemiskinan—UU PKP memberi tugas kepada pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota, namun ajaibnya hanya memfasilitas memfasilitasi penyediaan perumahan dan permukiman bagi masyarakat, terutama bagi MBR, vide Pasal 14 dan 15 UU PKP. Bukan pelaksana penyediaan perumahan MBR.

Tugas itu makin tergerus dan bahkan nihil karena urusan konkuren perumahan MBR tidak termasuk urusan pemerintah daerah/pemda (provinsi dan kabupaten/kota) dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda).

Konkritnya, pemda tidak berwenang urusan perumahan MBR. Akibatnya, ikhtiar mengatasi kekurangan rumah (housing backlog) tidak efektif, karena UU PKP konflik dengan UU Pemda yang dengan totok dipatuhi pemda. Begitu pula aturan UU PKP perihal hunian berimbang, pembangunan prasarana, sarana dan utilitas umum, kemudahan pembangunan dan perolehan rumah MBR, penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan, tata ruang untuk perumahan MBR, dan lainnya adalah aturan hukum yang tidak efektif.

Omnibus Law menjadi instrumen UU bersifat asas-asas umum yang validitas dan daya dorongnya menerobos kebuntuan aturan merespon housing backlog. Idemditto setarikan nafas merealisasikan mandat dan rujukan pertama, yakni konstitusi. Konstitusi musti ditegakkan dengan tidak kepalang tanggung, mengutip istilah pakar hukum konstitusi Prof. Dr. Laica Marzuki.

Dengan postulat ‘manusia sebagai makhluk bermukim’, maka perumahan sebagai hak dasar, HAM dan hak konstitusi, patut digeliatkan dengan tidak kepalang tanggung termasuk dengan partisipasi ‘semua untuk semua’ seperti ajaran Hobbes: ‘bellum omnium contra omnes’.

Tersebab itu, Omnibus Law tidak sekadar mengabdi pada kemudahan investasi yang berpangkalan pada kepastian hukum belaka, tetapi kepastian hukum yang berkeadilan dan kemanfaatan.