ISU PASAR

Okupansi Ruang Kantor di CBD Jakarta Masih Positif

Administrator | Selasa, 14 Juli 2020 - 10:16:32 WIB | dibaca: 666 pembaca

Foto: Istimewa

Sepanjang 2019, penyerapan ruang sewa perkantoran di jakarta masih berada di jalur positif, merujuk riset Jones Lang Lasalle (JLL) Indonesia. Penyerapan ruang pada periode ini disebutkan mencapai 200.000 meter persegi, dimana permintaan masih didominasi perusahaan-perusahaan startup berbasis teknologi dan penyedia ruang kerja bersama (co-working space). Demikian paparan JLL dalam “Jakarta Property Market Update Four Quarter 2019” yang dirilis, baru-baru ini.

Head of Markets JLL Indonesia, Angela Wibawa menyebutkan tingkat keterisian (okupansi) ruang kantor di central business district (CBD) Jakarta masih cukup baik di level 50% dimana mayoritas merupakan co-working space yang disewa perusahaan berbasis teknologi.

Lebih lanjut dikatakan tingginya penyerapan yang dilakukan perusahaan berbasis teknologi tidak lepas dari peran operator co-working yang masih aktif melakukan ekspansi di gedung-gedung perkantoran Grade A.

“Berbeda dengan kondisi di CBD, di kawasan non-CBD Jakarta penyerapan di tahun lalu hanya sekitar 9.000 meter persegi. Tetapi hal itu lebih karena memang tidak ada gedung baru yang selesai dibangun di 2019,” papar Angela dalam paparannya.

Tren lain, permintaan ruang kerja fleksibel yang semakin tinggi mendorong operator co-working space mulai mengisi peluang-peluang kebutuhan ruang lain diluar untuk perkantoran. Antara lain dengan mulai ke pasar ritel.

Menurut Head of Advisory JLL Indonesia Vivin Harsanto, keberadaan co-working space di pasar properti ritel dan apartemen cukup membantu mendorong keterisian ruang kantor, ritel, dan juga apartemen di gedung tersebut. Di samping membantu meningkatkan kunjungan pada penyewa (tenant) makanan dan minuman yang tersedia di mal yang ditempati. “Tetapi perlu didalami lagi apakah mereka yang memakai coworking space masih mau jajan di luar atau tidak, karena biasanya sudah disediakan kopi dan camilan,” kata Vivin.

Menurut dia, kontribusi ruang kerja fleksibel terhadap okupansi pusat perbelanjaan akan cukup besar karena mayoritas membutuhkan ruang berukuran cukup besar sehingga menyediakan banyak pilihan ruang kantor bagi pengguna.

Meskipun demikian, dia mengaku saat ini pihaknya belum dapat memastikan seberapa besar pengaruhnya terhadap okupansi ruang ritel.

Vivin menambahkan pertumbuhan co-working space ke depan memang masih potensial. Meski pun ada kemungkinan untuk mengalami perlambatan jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

“Pada tahun sebelumnya dilihat pertumbuhannya sudah cukup tinggi dari segi jumlah operatornya dan secara ukurannya sudah berlipat ganda. Sehingga pertumbuhan pada tahun ini kemungkinan tidak seagresif tahun lalu,” rinci Vivin.

Mengenai proyeksi pertumbuhannya di luar Jakarta, hasil riset JLL menunjukkan masih terkosentrasi di Jakarta dan sekitarnya. Meski beberapa lokasi cukup potensial seperti Bali, Yogyakarta, dan Bandung.

Di Bali misalnya, kebanyakan penggunanya adalah pekerja lokal dan orang asing yang bekerja di sana. 

Masih Optimistis
Tren co-working space yang diprediksi masih cukup potensial menambah keyakinan penyedia ruang kerja bersama di 2020.

General Manager JustCo Indonesia Michael Sim mengatakan tahun ini industri ruang kerja bersama) justru mampu menembus batas-batas yang menghalangi pertumbuhan pasar perkantoran selama ini.

“Ada banyak ruang bagi co-working space untuk bertumbuh di Asia di masa mendatang karena saat ini baru menyerap 5 persen dari keseluruhan properti perkantoran,” jelas Michael seperti dikutip dari Bisnis.com.

Ditambahkan, JustCo baru saja mencatatkan pertumbuhan permintaan yang cukup besar dari beberapa perusahaan besar seperti Fortune 500 karena mereka melihat nilai tambah dari penggunaan ruang kantor fleksibel. Antara lain co-working space dinilai bisa lebih menghemat biaya, mendukung kerjasama yang lebih erat serta membuka lebih banyak peluang berkolaborasi yang lebih besar.

Menurut Michael, ruang kerja bersama bukan hanya disediakan bagi startup, melainkan juga bisa digunakan secara individu bagi pekerja lepas usaha kecil dan menengah. Sektor-sektor tersebut juga menyumbang permintaan yang cukup besar kepada ruang-ruang kantor fleksibel.

Operator lainnya, CoHive juga masih percaya diri terhadap masa depan co-working space di Indonesia, terutama di Jakarta.

Co-Founder sekaligus CEO CoHive Jason Lee mengatakan bahwa potensi pasar properti co-working space di Indonesia masih sangat besar mengingat banyak perusahaan asing yang melirik peluang pasar di Indonesia.

“Sebenarnya banyak sekali perusahaan yang mau investasi di Indonesia, terlebih untuk beberapa tahun ke depan. Itu jadi perhatian bagi kami,” kata Jason Lee.

Dia yakin ke depannya akan lebih banyak pengusaha lokal dan asing yang diprediksi menggunakan co-working space. Dikatakan, jumlah co-working space di Indonesia pangsanya kurang dari 5 persen dari keseluruhan pasok properti ruang kantor. Jumlah itu masih jauh dibandingkan dengan negara-negara lainnya seperti di Amerika Serikat yang sudah mencapai 10 persen, atau di Inggris yang sudah mencapai 15 persen.

“Saat ini perusahaan besar seperti perbankan, telekomunikasi, sampai media sudah banyak yang mulai punya keinginan untuk pindah ke kantor bersama,” ungkap Jason Lee.

CoHive baru saja menambah area seluas 2.200 meter persegi di CoHive Sahid Sudirman Residence. Jumlah keseluruhan area yang dimiliki penyedia ruang kerja fleksibel itu saat ini telah mencapai lebih dari 75.000 meter persegi.

CoHive telah mempunyai lebih dari 9.500 member 0dari 1.100 perusahaan yang menyewa ruangan di CoHive yang tersebar di 37 lokasi di enam kota besar di Indonesia yakni Jakarta, Tangerang, Bali, Medan, Yogyakarta, dan Surabaya. (Rinaldi)