TOPIK UTAMA

Meretas Ketatnya Aturan Pembiayaan Bank

Administrator | Selasa, 20 September 2022 - 13:09:21 WIB | dibaca: 208 pembaca

Sektor properti mulai bergerak naik. Namun aturan perbankan yang ketat membuat pengembang dan konsumen justru jadi kerepotan. Lho kok?


Masalah pembiayaan masih menjadi masalah dan kendala utama yang tidak hanya dirasakan pengembang tetapi juga konsumen. Ketatnya aturan perbankan untuk memberikan kredit pemilikan rumah (KPR) dan juga kredit konstruksi bisa menghambat kebangkitan sektor properti.

Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida mengatakan, industri properti di tahun 2022 ini diharapkan bisa lebih baik dibandingkan dua tahun terakhir, meski diakui pandemi masih menghantui. Begitu pun, masih ada kendala perizinan dan pembiayaan dari perbankan yang dikhawatirkan menganggu pemulihan pasar properti.

“Kehati-hatian perbankan kita maklumi, karena adanya restrukturisasi di semua skim usaha, tetapi filternya jangan terlalu ketatlah,” ujar Totok kepada wartawan disela-sela acara Rakor DPP REI dan DPD REI se-Indonesia di Jakarta, Selasa (19/4/2022).

Menurutnya, saat ini masih banyak konsumen yang pendapatannya berkurang akibat terkena dampak Covid-19. Kondisi tersebut membutuhkan terobosan dan relaksasi yang lebih berani dari otoritas jasa keuangan dan juga perbankan sehingga konsumen yang ingin memiliki rumah bisa tetap memiliki jalan untuk memperoleh KPR.

Totok mencontohkan, saat ini perbankan meminta persyaratan pengalaman kerja atau masa kerja dari nasabah. Bahkan ada juga yang minta sampai payroll (sistem pembayaran gaji oleh perusahaan kepada karyawan) sehingga ini tentu akan memberatkan bagi konsumen, terlebih di tengah pandemi saat ini.

“Meskipun sebetulnya aturan pengetatannya tidak tertulis, tapi syaratnya ditambah, sehingga kehati-hatian juga jadi bertambah. Agar optimisme pertumbuhan properti terus berlanjut maka diperlukan pelonggaran aturan, baik untuk konsumen maupun pengembang. Ini yang sedang terus dinegosiasikan DPP REI,” ungkapnya.

Dijelaskan, saat ini pasar hunian yang masih cukup stabil dan peminatnya tinggi adalah rumah dengan harga Rp300 jutaan sampai dengan Rp 1 miliar. Pasalnya konsumen di segmen ini merupakan first home buyer dan lebih mudah beradaptasi. Sementara rumah dengan harga di bawah Rp300 juta, menurut Totok, mengalami penurunan sebesar 30%. Artinya, pasar untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) saat ini memang belum kembali normal. Karena mungkin pendapatan konsumen berkurang akibat dampak pandemi termasuk pengurangan jam kerja.

“Tentu saja segmen ini dianggap berisiko bagi perbankan yang akan memberikan kredit, tetapi pandemi mulai melandai dan ekonomi masyarakat sudah kembali bergerak, sehingga kita harapkan ada relaksasi,” harap pengusaha properti asal Jawa Timur tersebut.

Dirinya optimistis saat ini kondisi sudah mulai normal dan REI menargetkan dapat membangun sebanyak 300 ribu rumah untuk MBR.

Hal senada diungkapkan Wakil Ketua Umum DPP REI Koordinator Bidang Perbankan dan Pembiayaan, Umar Husin. Menurutnya selain ketatnya aturan perbankan dan BI Checking, ada beberapa isu lain terkait pembiayaan properti antara lain tingginya bunga kredit konstruksi, ID rumah dalam SiKumbang yang tidak bisa terbit jika belum ada PBG (Persetujuan Bangunan Gedung), kenaikan tarif PPN, juga KPR Tapera untuk ASN yang belum berjalan optimal.

“Bunga kredit konstruksi masih tinggi. Untuk itu, REI mendesak perbankan untuk menurunkan suku bunga kredit konstruksi sehingga industri properti mampu bangkit lebih cepat,” ujar Umar dalam sesi talkshow.

Mengenai kendala ID rumah dalam sistem SiKumbang yang tidak bisa terbit bila belum ada PBG, Umar meminta adanya relaksasi dari pemerintah terkait aturan tersebut. REI juga meminta pembebasan pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) dipertahankan oleh pemerintah untuk membantu konsumen properti.

Terkait KPR Tapera khususnya untuk ASN yang belum berjalan optimal, menurut Umar, salah satunya akibat konsumen ASN belum terdaftar di Sitara. REI pun meminta ada percepatan pendaftaran ASN ke Sitara dan approval pengajuan SK dan Slip Gaji ASN di BP Tapera yang selama ini cukup lama dapat dipercepat. 

Harga Rumah Subsidi
REI juga terus mendesak pemerintah untuk segera menetapkan kenaikan harga rumah bersubsidi tahun 2022 yang sudah dibahas sejak akhir tahun lalu. Jika harga rumah subsidi untuk MBR tidak juga naik jelang semester kedua tahun ini, maka dipastikan akan semakin menganggu cashflow pengembang.

Asosiasi pengembang dan pemerintah sudah menyepakati kenaikan harga rumah subsidi di kisaran 7% pada 2022, dari rencana awal sebesar 10% dengan mempertimbangkan kondisi daya beli masyarakat. Di sisi lain, sudah dua tahun terakhir ini harga rumah subsidi tidak naik. Saat ini keputusan kenaikan harga rumah subsidi tersebut masih berada di Kementerian Keuangan.

Kenaikan ini ada dasarnya karena harga material terutama besi, semen dan tanah sudah naik sangat signifikan. Bahkan kenaikan besi mencapai 30%-50%. Demikian pula dengan upah tukang juga bertambah tinggi karena ketersediaan tukang terbatas akibat maraknya pembangunan proyek infrastruktur pemerintah.

“Harga rumah subsidi ini juga terkait dengan besaran bebas PPN yang akan diberikan kepada konsumen MBR. Kami berharap semoga usai hari raya Lebaran 2022 ini sudah ada kejelasannya,” pungkas Totok. (Rinaldi)


Sumber: