ISU PASAR

Meredupnya Pesona Pusat Perbelanjaan

Administrator | Selasa, 19 November 2019 - 09:48:37 WIB | dibaca: 1079 pembaca

Foto: Istimewa

Beberapa tahun terakhir, beberapa peritel besar baik dalam maupun luar negeri banyak menutup gerai mereka di beberapa lokasi pusat perbelanjaan. Peritel itu, antara lain, PT Matahari Putra Prima Tbk, PT Mitra Adiperkasa TBK (MAP), Debenhams, dan juga yang terbaru PT Hero Supermarket Tbk selaku pemilik gerai Giant.

Bukan hanya peritel besar, namun peritel skala kecil yang mengisi pusat perdagangan strata title atau beken disebut trade center, juga makin sepi pembeli dan beberapa hampir kosong sama sekali dan tidak beroperasi. Yang paling mengejutkan adalah peritel-peritel di ITC Mangga Dua, sebagai salah satu pusat perdagangan pakaian di Jakarta, kini sepi pembeli.

Jika satu dekade lalu, pengunjung sangat sulit berjalan santai karena koridor dipenuhi barangan dagangan, kini bisa menjadi “arena adu lari”. Padahal pada masa jayanya, ITC Mangga Dua merupakan trade center tersibuk di Indonesia, menyaingi Pusat Grosir Tanah Abang.

Akibat banyaknya peritel baik besar dan juga kecil yang tutup Colliers Indonesia mencatatkan kalau tingkat hunian turun berturut-turut selama dua kuartal terakhir pada 2019. Akibat tingkat hunian yang turun, harga sewa juga cenderung tidak bergerak dan pasar ritel bisa dibilang belum bergairah.

Masih berdasarkan data Colliers, rerata harga tarif dasar sewa di Jakarta sebesar Rp617.920. Sedangkan di pusat perbelanjaan premium mencapai RP1,42 juta dan kelas bawah sebesar Rp280 ribu. Sedangkan di Bodetabek tarif sewa tercatat Rp384.710. Adapun tingkat hunian pusat ritel di Jakarta mencapai 80% sedangkan di Bodetabek bahkan tidak 80% hanya sekitar 78%.

Senior Associate Director Research Colliers International Indonesia Ferry Salanto mengatakan masyarakat cenderung untuk belanja ke supermarket terdekat atau melalui online untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari. Sementara itu, untuk produk fashion atau kosmetik, specialty store akan semakin digemari .

“Beberapa pemilik mal akan terus mengganti atau merelokasi penyewa yang kinerjanya kurang baik untuk menciptakan suasana baru dan menarik banyak pengunjung dan pembeli di tengah pasar yang semakin kompetitif,” kata Ferry.

Selain permintaan dari toko ritel dengan kinerja yang kurang baik, pemilik mal memiliki konsensus mengurangi ruang yang ditempati retailer terutama untuk menekan biaya operasional. Dia memproyeksi pertumbuhan ekonomi diharapkan meningkatkan daya beli masyarakat dan mendorong bisnis ritel.

Meski begitu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih akan memengaruhi biaya produksi untuk produk impor. Sementara itu produk-produk lokal semakin mendapat tantangan oleh belanja online. Situasi ini menyulitkan pengecer mendapatkan margin keuntungan yang menguntungkan. Efeknya, pemilik mal sulit menaikkan harga sewa.

Direktur Pengembangan Bisnis Pakuwon Jati, Ivy Wong mengatakan lesunya bisnis di trade center, karena di trade center lebih banyak importir dan saat ini banyak importir yang kesulitan untuk mengimpor barang. Berbeda dengan mal, yang saat ini masih cukup bagus.

“Mal saat ini masih bagus, Mall-Mall Pakuwon lebih banyak ke lifestyle, bukan hanya beli, namun juga pertemuan, keluarga, dan lain-lain yang konsepnya tidak ada di trade center,” jelas Ivy kepada Majalah RealEstat.

Ubah Cara Operasional
Meski begitu, Ivy juga mengatakan bahwa mall pun harus terus berubah kalau mau bertahan. Saat ini mall-mall harus mengubah operasional dan juga menyediakan banyak acara dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Ditambah lagi, saat ini juga banyak orang yang suka bekerja di mall, sehingga akan sangat mungkin pula ke depan akan ada co-working space di dalam mall. Saat ini Pakuwon Jati tengah membahas hal tersebut dengan operator co-working meski belum mau menyebutkan namanya.

Tingkat hunian mal milik Pakuwon rata-rata berada pada 90% dan dari angka tersebut berkontribusi recurring income di akhir tahun lalu sebesar 52%.

Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alexander Stefanus Ridwan, mengungkapkan beberapa siasat agar bisnis ritel dapat bertahan. Apalagi, trade center berbeda dengan mal yang bisa dengan mudah diubah konsep oleh pengembang. Karena itu, Stefanys mengatakan harus ada penyatuan visi antara pedagang dan pengelola.

“Kalau bersatu, banyak trade center yang masih laku. Tapi kalau semuanya masih mementingkan diri sendiri, enggak mau memecahkan barengbareng ya repot,” ungkap Stefanus.

Dia juga menyebutkan kalau menerapkan omnichannel jadi salah satu syarat untuk bertahan di industri ini. Dengan cara ini, pelanggan bisa menggunakan lebih dari satu channel penjualan. Bukan hanya toko fisik, mereka juga dapat menawarkan barang dagangannya di e-commerce dan melakukan jual-beli via mobile.

“Selama ini mall-mall yang ditinggalkan customer-nya, mereka yang tidak berubah sama sekali. Dia, enggak mau main omnichannel, dan juga isi toko enggak bagus, enggak menarik, enggak layak selfie,” ujar Stefanus.

Head of ITC Group Sinarmas Land, Christine Tanjungan, pengembang yang memiliki sembilan trade center dengan nama dagang ITC di Jakarta, Depok, dan Surabaya mengatakan kalau bisnis trade center masih bertumbuh, dibuktikan dengan masih adanya penjual yang bergabung.

Kendati demikian, dia mengakui bahwa secara umum, semua bisnis mengalami penurunan karena dampak makro ekonomi. Hal ini berpengaruh pada semua bisnis ritel, termasuk semua pusat belanja ITC. Namun, Christine mengklaim, bahwa penurunan ini tidak signifikan karena loyalitas pembeli. Mereka tetap datang dan masih suka berbelanja di ITC karena produk yang tersedia lengkap, dengan harga terjangkau. (Teti Purwanti)