Landmark

Menyingkap Lawang Sewu

Administrator | Kamis, 08 Juni 2017 - 13:20:36 WIB | dibaca: 1688 pembaca

Jika berkunjung ke Semarang, Jawa Tengah, saat melintasi Kawasan Simpang Lima, banyak berdiri bangunan-bangunan kuno di sekitarnya.

Bangunan dengan gaya arsitektur masa kolonial tersebut menjadi ciri khas tersendiri bagi Kota Semarang. Salah satu bangunan yang menjadi landmark dan cukup terkenal adalah Lawang Sewu yang berarti pintu seribu.

Penamaan Lawang Sewu itu sendiri dikarenakan pada bangunan tersebut memiliki banyak pintu dan kolom-kolom busur yang lebar yang enyerupai pintu. Bangunan bersejarah ini dikenal oleh banyak orang dari cerita mistis yang melingkupinya.

Kisah-kisah penampakan yang diceritakan dari mulut ke mulut tersebut semakin terasa jika Anda memakai jasa pemandu wisata. Karena hal-hal misterius tersebut acap kali disinggung sebagai daya jual bagunan ini.

Beberapa media dalam beragam liputan juga menceritakan kejadian-kejadian misterius yang terjadi seputar gedung tersebut. National Geographic Channel, sebuah channel TV Internasional dalam acara I Wouldn’t Go In There, malah menetapkan Lawang Sewu sebagai tempat terseram kedua di Asia, hal ini yang mungkin menjadi magnet tersendiri bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.

Lawang Sewu sendiri sebenarnya adalah sebuah komplek bangunan berbentuk L yang mulai dibangun pada 27 Februari 1904 untuk NV Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), sebuah perusahaan kereta api Belanda dan selesai dibangun pada 1 Juli 1907.

NIS menunjuk Prof. Jacob F. Klinkhamer (TH Delft) dan B.J. Quendag dari Amsterdam sebagai arsiteknya. Pembangunan dilakukan dalam empat tahap, gedung yang pertama dibangun adalah bagian belakang, pada 1904, sebagai tempat percetakan tiket kereta api. Gedung berikutnya adalah gedung utama, gedung dengan kaca patri indah, pada 1905-1907, yang jadi ruang Direksi PT Kereta Api.

Banyaknya jumlah pintu dan jendela tidak lepas dari iklim Indonesia yang tropis, agar sirkulasi udara lancar. Gedung ini juga punya koneksi antar ruang dengan pertimbangan keamanan. Satu lokasi favorit berfoto saat ke Lawang Sewu adalah dinding kaca patri berukuran tinggi lebih dari dua meter.

Kaca yang terbagi menjadi empat panel besar ini mencerminkan cerita eksploitasi besar-besaran hasil alam Nusantara. Flora dan fauna diangkut kereta dan dikumpulkan di kota-kota pelabuhan Pulau Jawa sebelum diperdagangkan di dunia, untuk memperkaya Belanda dan keluarga kerajaannya di bawah perlindungan Dewi Fortuna.

Detailnya: Di panel tengah-bawah berjajar Dewi Fortuna, si dewi keberuntungan berbaju merah, roda bersayap lambang kereta api, dan Dewi Sri, dewi kemakmuran Suku Jawa. Panel di atasnya adalah tumbuhan dan hewan yang menggambarkan Nusantara sebagai negeri kaya akan hasil bumi berikut simbol kota-kota dagang Batavia, Surabaya, dan Semarang.

Simbol kota-kota dagang Belanda, yakni Amsterdam, Rotterdam, dan Den Haag, berderet di panel kiri. Panel kanan menampilkan ratu-ratu Belanda.

Daya tarik Lawang Sewu, dari sisi arsitektur, gedung ini dibangun tanpa menggunakan semen, melainkan adonan bligor, atau ada juga yang menyebutnya pese, yakni istilah lokal untuk menyebut campuran pasir, kapur, dan batu bata merah.

Kelebihan bligor dibanding semen adalah bangunan jadi tak mudah retak, tak heran jika tak ditemukan retakan di Lawang Sewu. Bligor juga lebih awet dan menyerap air, sehingga ruang dalamnya sejuk.

Konstruksinya juga tanpa besi. Atapnya dibuat berbentuk melengkung setengah lingkaran tiap setengah meter untuk mengurangi tekanan. Struktur atap dari bata yang disusun miring layaknya struktur jembatan.

Gedung yang paling akhir dibangun tahun 1916, kali ini menggunakan besi dan material lokal. Bata, genting, kaca, hingga ubin, semua buatan Semarang dan sekitarnya. Alasannya, saat itu di Eropa sedang Perang Dunia I. Pengiriman barang dari Belanda lambat, sehingga barang-barang lokal pun jadi prioritas.

Bangunan dua lantai berbentuk sayap yang berdiri di atas lahan seluas 18.232 m2 ini memiliki menara dengan tinggi empat lantai. Menara sebagai titik tertinggi bangunan selain memiliki fungsi sebagai tempat mengintai pada musim hujan, kubahnya digunakan tempat penampungan air. Dengan kemiringan 45 derajat, atap bangunan yang berbentuk pelana berfungsi selain agar air hujan cepat turun juga meminimalisir kebocoran.

Air hujan yang jatuh kemudian ditampung di kedua kubah menara dan dengan sistem perpipaan terbaik di zamannya, penggunaan air di bangunan ini dapat menjangkau ke setiap sudutnya.

Bangunan bergaya Romanesque Revival ini mempunyai satu keunikan tersendiri, selain mempertahankan arsitektur asal juga mengadopsi budaya lokal guna beradaptasi dengan iklim tropis Indonesia. Selain pemakaian bahan, rancang bangunan tersebut juga menyesuaikan dengan kondisi alam tropis Indonesia dengan dua musimnya.

Dengan lorong air bawah tanah yang mendinginkan lantai saat musim kemarau difungsikan juga sebagai saluran air. Selain pendinginan lewat bawah, hawa panas musim kemarau yang masuk dari atas diredam dengan penggunaan sistim ventilasi. Sistim tersebut berada berupa ruangan setinggi tiga meter yang berada di antara langit-langit dan atap.

Dengan ruang ventilasi tersebut panas yang masuk nantinya akan dinetralisir dan dipantulkan kembali. Saat ini gedung yang telah menjadi Museum Kereta Api tersebut terus dipugar oleh PT KAI (Persero). Selain karena tempat tersebut merupakan sejarah awal perkeretapian di Semarang, juga sebagai saksi sejarah Pertempuran lima hari antara Angkatan Muda Kereta Api (AMKA) melawan tentara Jepang di Semarang pada 1945.

Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang melalui Surat Keputusan Wali Kota Nomor 650/50/1992 juga telah menetapkan gedung tersebut sebagai gedung bersejarah yang patut dilindungi, dan menjadikan tujuan wisata wajib di Kota Semarang.

Ke depannya diharapkan turis-turis yang berkunjung nantinya tidak hanya melihat gedung ini sebagai bagian dari sejarah Indonesia, tetapi juga dapat melihat teknologi apa yang diterapkan di dalamnya untuk diambil manfaatnya.