INFO DPD REI
Makin Mahal, Biaya Perizinan di Bali Melonjak 500%

Sejak aturan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) diterapkan sebagai peng-ganti Izin Mendirikan Bangunan (IMB) pada Oktober 2021 lalu sampai saat ini PBG belum berjalan. Di Bali, PBG yang tidak berjalan baik membuat biaya perizinan yang dikeluarkan pengembang jauh lebih mahal bahkan membengkak lima kali lipat atau 500%.
Ketua Dewan Pengurus Daerah Realestat Indonesia (DPD REI) Bali, I Gede Suardita me-nyebutkan sejak PBG diberlakukan, kisruh terjadi hampir merata di seluruh Bali. Hingga memasuki semester II-2022, PBG belum ber-jalan optimal di Pulau Dewata.
“Dari 20 PBG yang diajukan misalnya, hanya satu atau dua saja yang bisa dikeluarkan. Hal ini karena sinkronisasi antara daerah dan pusat yang masih terkendala dan mahal. Da-hulu IMB per unit Rp 5 juta, kini jadi Rp 25 juta,” ungkap Gede Suardita kepada Majalah RealEstat, baru-baru ini.
Menurut Gede, PBG yang mengharuskan adanya pihak ketiga membuat banyak hal semakin sulit, lama, dan biayanya mahal. Kon-disi tersebut sangat berbeda dari rencana awal pemerintah yang berharap PBG sebagai bagian dari Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) akan mempermudah izin usaha. Ada-pun soal biaya perizinan yang melambung tinggi, dikarenakan pengembang harus mem-bayar sesuatu yang tidak ada standarnya.
“Kami sudah melakukan beragam cara dan pendekatan, namun belum ada perubahan,” tegas Gede.
Selain biaya tinggi karena PBG yang tidak berjalan optimal, optimisme pengembang Bali di 2022 juga runtuh akibat adanya kebijakan alih fungsi Lahan Sawah Dilindungi (LSD) yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah.
Parahnya, pemerintah daerah memberlaku-kan peraturan ini berlaku surut. Bahkan lahan yang sudah mengantongi izin PBG tetap ter-kena aturan tersebut.
“Padahal seharusnya tidak berlaku surut. Lahan yang sudah memiliki PBG juga terkena LSD, kan aneh,” jelas Gede.
REI Bali terus berusaha untuk berkomuni-kasi dan mensinkronkan berbagai kebijakan pemerintah agar tidak menyulitkan pengem-bang dan menganggu pemulihan pasar pro-perti. Apalagi, REI Bali di 2022 menargetkan pembangunan 5.000 unit rumah. Per awal Ok-tober, baru terealisasi sekitar 3.000 unit.
Menurutnya, seharusnya realisasi bisa lebih dari angka tersebut jika segala aturan perizinan yang menyulitkan dapat teratasi. Apalagi pengembang di Bali sedang bersemangat, se-hingga REI Bali berencana kembali menyeleng-garakan property expo pada tahun ini.
“Kita akan laksanakan property expo lagi, setelah melihat keberhasilan expo pada Juli lalu,” sebut Gede Suardita.
Kenaikan Material
Di sisi lain, pengembang di Bali juga meng-hadapi melonjaknya harga bahan material dengan besaran lebih dari 10%. Oleh karena itu, penting bagi pengembang yang sudah komitmen membangun rumah subsidi untuk pandai menyiasati kenaikan harga material tan-pa harus mengurangi kualitas bangunan.
“Masalahnya harga rumah subsidi ini tetap di angka Rp168 juta dalam dua tahun terakhir, sementara harga material bangunan terus naik. Kondisi ini menjadi berat bagi developer yang membangun rumah subsidi,” ungkap Gede.
Untuk itu, REI Bali mendesak pemerintah untuk secepatnya menaikkan harga rumah bersubsidi pada tahun ini untuk menjaga pem-bangunan tidak stagnan.
Saat ini, mayoritas pengembangan rumah subsidi di Bali tersebar di lima kabupaten yakni Tabanan, Buleleng, Jembrana, Karangasem, dan Klungkung. (Teti Purwanti)
Sumber:

- Pusat Perbelanjaan Diproyeksi Capai Titik Normal di 2023
- REI Sulbar Optimistis Target Pembangunan Rumah Tercapai
- Jateng Berupaya Atasi Masalah Perumahan dan Permukiman
- Harga Berat Ditimbang, Pengembang Mulai Bimbang
- Tak Jelas, Harga Rumah Bersubsidi Kapan Naik