SEPUTAR DAERAH

Halim Amrudani Pimpin REI Maluku Utara

Lirik Peluang Bangun Perumahan ASN Di Sofifi

Administrator | Rabu, 08 Januari 2020 - 13:53:44 WIB | dibaca: 1300 pembaca

Ketersediaan fasilitas hunian yang memadai bagi masyarakat di Kota Sofifi, Ibukota Provinsi Maluku Utara, masih sangat minim. Dari sekitar 7.000 aparatur sipil negara ASN) yang bekerja di lingkungan provinsi Maluku Utara, sekitar 3.000 ASN diantaranya beraktivitas di Kota Sofifi.

Saat ini mayoritas ASN yang bekerja di Sofifi masih berdomisili di Kota Ternate, ibukota lama Provinsi Maluku Utara, sehingga mereka harus menempuh perjalanan laut setiap hari kerja.

“Saya bahagia sekali dapat hadir di sini. Pengembang di Maluku Utara diharapkan dapat melihat potensi penyediaan perumahan bagi ASN di Sofifi karena fasilitas perumahan di sana masih sangat minim,” tutur Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba, saat membuka Musyawarah Daerah (Musda) V Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Maluku Utara, di Hotel Grand Dafam Bela Ternate, baru-baru ini.

Menurut Gubernur Malut, dengan tinggal lebih dekat dari tempat bekerja akan meningkatkan produktivitas para ASN daripada setiap hari harus pulang-pergi ke Kota Ternate.

Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) REI Maluku Utara Halim Amrudani menyatakan pihaknya siap mendukung gagasan Gubernur Maluku Utara untuk merelokasi perumahan ASN-nya dari Ternate ke Sofifi. Dia menjelaskan, salah satu program yang akan dicanangkan pada periode kepengurusannya adalah pembangunan perumahan bagi ASN di Sofifi.

“Saya sudah diajak bicara oleh Kepala Dinas Perumahan Provinsi Malut. Tapi skemanya seperti apa, itu yang kami belum tahu. Kami masih menunggu kejelasan regulasinya dulu,” kata Halim yang baru saja terpilih sebagai Ketua DPD REI Malut masa bakti 2019 – 2022.

Menurut dia, sebenarnya dua tahun silam Pemerintah Provinsi Malut telah menawarkan lokasi baru yang telah dibebaskan untuk dibangun perumahan bagi ASN. Namun dari hasil pantauan REI, Pemprov Malut belum siap bekerjasama. Terbukti, mereka belum memiliki skema perjanjian kerjasama (PKS) dengan pihak swasta.

“Pemprov juga belum menyiapkan aturan yang menjadi payung hukum untuk mekanisme pelepasan aset berupa lahan milik Pemprov Malut kepada ASN. Jadi prosedurnya masih sangat panjang,” ucap dia.

Dengan kondisi tersebut, sampai nanti ada kejelasan terkait pola kerjasamanya, REI memutuskan untuk tidak tergantung kepada proyek yang ditawarkan Pemprov Malut. Begitu pun, dalam tiga tahun terakhir sudah ada tiga anggota REI Malut yang membangun perumahan bersubsidi di Kota Sofifi, namun bukan di atas lahan milik Pemprov Malut.

Kendala Pembangunan
Seperti halnya di daerah-daerah lain, masalah klasik masih menjadi kendala yang dihadapi pengembang REI Malut. Dari mulai aturan perbankan, prosedur penerbitan perizinan di tingkat daerah, hingga aturan yang diterbitkan pemerintah pusat.

“Aturan yang diterbitkan Bank BTN di pusat cukup mempersulit kami di daerah. Contohnya, aturan terkait appraisal independen bagi pengembang yang akan mengajukan permohonan kredit yasa griya (KYG). Sebelumnya, permohonan kredit tersebut cukup melalui appraisal lokal atau appraisal internal,” kata Halim.

Dia menyebutkan, REI Malut telah berkoordinasi dengan Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat (DPP) REI, Paulus Totok Lusida, untuk membantu komunikasi dengan manajemen BTN di Jakarta.

“Direksi BTN melalui Sekjen DPP REI telah menyampaikan tawaran solusi bahwa pengajuan kredit di bawah Rp 5 miliar masih boleh menggunakan appraisal lokal atau appraisal internal. Tetapi manajemen BTN di level daerah mengaku tidak bisa langsung menerapkan ketentuan tersebut sebelum ada aturan tertulis dari BTN pusat,” jelas dia.

Totok Lusida mengakui bahwa persoalan yang dihadapi industri properti dari tahun ke tahun relatif sama. Problem itu antara lain menyangkut penyediaan tanah, pembiayaan perbankan, perizinan, aspek tata ruang, dan lain-lain.

“Persoalan ini harus kita selesaikan secara bertahap, walaupun mungkin tidak akan tuntas. Hal yang menyangkut permasalahan pembangunan perumahan khusus masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) harus secara konsisten diperjuangkan,” tegas Totok.

Kendala lainnya, lanjut Halim, terkait ketersediaan lahan matang yang sulit mengingat kontur tanah berbukit di sejumlah lokasi di Malut. Harga lahan di Ternate boleh dibilang sudah sulit untuk pengembangan rumah bersubsidi.

Saat ini harga lahan di Ternate sudah mencapai Rp 250 ribu hingga Rp 300 ribu per meter persegi (m2). Jika diakumulasikan dengan biaya pematangan lahan, maka harganya sudah mencapai Rp 450 ribu hingga Rp 500 per m2. Oleh karena itu, ungkap Halim, pengembang di Malut dituntut pintar menyiasati tingginya harga tanah dengan melakukan efisiensi. (Oki Baren)