Kilas Berita

Kuartal I, Rumah di Atas Rp 2 Miliar Masih Terkoreksi

Administrator | Selasa, 23 Juli 2019 - 14:18:11 WIB | dibaca: 615 pembaca

Foto: Istimewa

Sepanjang kuartal i 2019, rumah-rumah dengan harga di atas rp 2 miliar per unit masih terkoreksi. Situasi tersebut terjadi tidak hanya di pasar primary, namun juga di secondary market.

Ketua Umum DPP Asosiasi Realestat Broker Indonesia (AREBI) Lukas Bong menyebutkan sepanjang kuartal I 2019 penjualan properti khususnya residensial lebih banyak didominasi rumah dengan harga di bawah Rp 1 miliar per unit.

“Di bawah harga Rp 1 miliar masih baik penjualannya, karena didominasi pembeli pengguna (end user). Di atas itu terlebih yang Rp 2 miliar ke atas masih belum banyak bergerak,” ungkap Lukas kepada wartawan di Jakarta, baru-baru ini.

Kondisi yang sama terjadi di segmen rumah seken. Menurut Lukas, harga rumah seken pasti terkoreksi, karena minat pasar masih lesu. Namun, khusus di pasar secondary lazimnya harga rumah lebih fleksibel apalagi bila pemilik rumah sedang butuh dana segar. Dia memberi contoh rumah yang awalnya akan dijual seharga Rp 10 miliar, karena situasi pasar terkoreksi dan terjual di harga Rp 7 miliar.

“Ada rumah seken seharga Rp10 miliar, tetapi ada yang beli di harga Rp 7 miliar. Pemilik rugi tidak? Tidak karena dia beli rumah itu dulu Rp 5 miliar. Jadi di pasar secondary harga lebih fleksibel,” papar dia.

Di 2018, harga rumah seken diperkirakan turun antara 10 persen hingga 30 persen akibat pasar yang tertekan.

Sementara di kuartal II 2019 atau pasca Pilpres, dia meyakini pasar properti khususnya hunian akan lebih baik. Antusiasme pembeli diikuti dengan geliat pengembang meluncurkan dan memasarkan proyek baru. Pasar diprediksi bisa tumbuh hingga 6 persen pasca Pilpres.

Tidak hanya pengembang lokal yang bergairah, namun juga pengembang asing. Indikasi itu terlihat dari semakin banyaknya developer asal Jepang yang masuk, baik pengembang Jepang lama maupun yang baru. Selain Jepang, pengembang asal Hongkong, Singapura, Malaysia, China dan lain-lain.

“Pasca Pilpres seharusnya lebih baik. Siapa pun yang terpilih properti akan tetap terbang. Populasi penduduk kita terus tambah, sementara lahan tidak tambah. Hunian di bawah Rp 1 miliar masih akan jadi primadona,” ungkap dia.

Terkait tren pasar hunian di Jabodetabek, menurut Lukas, dalam beberapa waktu terakhir ada perubahan pasar yang menarik. Dimana kalau dahulu orang membeli rumah harus di lokasi prime di kawasan strategi di tengah kota, maka saat ini dengan gencarnya pembangunan infrastruktur oleh pemerintah seperti jalan tol, MRT dan LRT – pembeli lebih mengedepakan akses ketimbang lokasi.

Rumah seken juga seperti itu, tidak harus prime tetapi yang penting akses. “Anak generasi milenial itu tidak bisa lepas dari handphone atau gadget di tangannya. Kalau bawa mobil sendiri kan tangan tidak free, beda kalau naik transportasi massal karena mereka bisa terus update.

Mereka juga tidak butuh rumah yang punya kolam renang pribadi, yang penting ada kolam buat bersama, serta tidak perlu rumah dengan ruang tamu luas karena interaksi dengan teman bisa dilakukan di ruang terbuka di sekitar rumah.

Oleh sebab itu, Lukas mengingatkan pengembang untuk mulai mengikuti minat pasar, terutama kalangan milenial untuk mampu mendorong penjualan properti pada tahun ini.

Perlindungan Konsumen
Selain mendorong pasar properti menjadi lebih baik, AREBI juga menekankan pentingnya perlindungan konsumen properti. Salah satunya, ungkap Lukas, asosiasi mengimbau para agen atau broker properti untuk melakukan sertifikasi Surat Izin Usaha Perusahaan Perantara Perdagangan Properti (SIU-P4).

Dia mengungkapkan regulasi tersebut sebenarnya sudah diberlakukan sejak lima tahun lalu, namun sosialisasinya baru gencar sejak dua tahun terakhir. Salah satu aturan mensyaratkan dalam satu kantor broker minimal memiliki dua agen bersertifikasi.

“Penindakan masih dari Kemendag karena ada banyak laporan. Sedangkan AREBI sementara ini lebih banyak mendorong dan mengimbau,” tegas Lukas.

Laporan dari konsumen terkait peran broker properti paling banyak dari Bali. Hal itu karena banyaknya broker milik orang asing yang beroperasi di Pulau Dewata. AREBI juga banyak menerima laporan broker yang membawa kabur uang konsumen. Namun ditegaskan Lukas, pihaknya tidak bisa menindak broker pribadi yang melakukan penipuan terhadap masyarakat. Dia mendorong kasus tersebut dibawah ke ranah hukum.

Pihaknya menurut Lukas, terus gencar melakukan roadshow ke daerah-daerah untuk mengimbau sekaligus memberikan edukasi bahwa setiap agen/broker properti harus memiliki SIU-P4.

Saat ini ada sebanyak 1.122 kantor broker properti yang bergabung di AREBI, dimana 500 kantor diantaranya sudah tersertifikasi. Ditargetkan seluruh kantor anggota asosiasi tersebut sudah dapat tersertifikasi pada akhir 2019.

Kementerian Perdagangan (Kemendag) melalui Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) baru-baru ini merilis bahwa sepanjang Januari-Maret 2019, ada 154 pengaduan konsumen yang diterima. Adapun kontribusi terbanyak sekitar 80 peren berasal dari konsumen perumahan, baik rumah tapak maupun vertikal.

Aduan sektor perumahan tersebut pun masih harus terbagi dua. Pertama, terkait pengembang (developer), mulai dari masalah telat membangun, serah terima unit yang telat, hingga paling parah adalah proyek mangkrak.

Sedangkan yang kedua adalah terkait agen/broker properti. Kasus terbanyak yang diadukan konsumen adalah agen atau broker properti membawa kabur uang konsumen. (Rinaldi)