ISU PASAR

Kenaikan NJOP Bakal Pengaruhi Investasi Pengembang

Administrator | Kamis, 14 Februari 2019 - 11:38:48 WIB | dibaca: 971 pembaca

Foto: Istimewa

Kenaikan Nilai Jual Objek Pajak Pengganti (NJOP) yang ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta akan berdampak pada bertambahnya nilai investasi yang harus disiapkan pengembang karena berkaitan dengan harga tanah.

Director Advisory Service Colliers International Indonesia, Monica Koesnovagril mengatakan pada umumnya kenaikan NJOP berdampak pada naiknya market value tanah. 

“Tentu memengaruhi ketika proyek dikelola secara kerjasama dalam bentuk apapun. Sebab nilai tanah menjadi salah satu penentu nilai kerjasama antar pengembang atau pengembang dengan pemilik tanah. Belum lagi kalau pengembang ingin menaikkan Koefisien Lantai Bangunan (KLB), maka besaran NJOP menjadi penentu besaran ‘penalti’ yang harus dibayar pengembang,” ungkap Monica kepada Majalah RealEstat, baru-baru ini.

Begitu pun, menurut dia, dampak kenaikan NJOP ini baru akan terasa pada tahun depan, belum dalam waktu dekat. Hal itu karena pengembang biasa membutuhkan waktu yang relatif panjang untuk menentukan investasi di suatu proyek.

Meski memengaruhi nilai investasi pengembang, namun menurut Managing Partner Coldwell Banker, Tommy H Bastamy, pasar properti tidak banyak terpengaruhi dengan kenaikan NJOP di Jakarta terutama di pasar primary (properti baru). Karena pajak untuk properti baru ditentukan oleh harga jual.

“Namun, tidak begitu untuk pasar secondary (properti bekas pakai), dimana semua pajaknya ditentukan oleh NJOP. Jadi bisa jadi perumahan dan industrial estate mungkin yang paling terpengaruh dengan kenaikan NJOP,” papar Tommy.

Meski begitu, menurut Tommy, tidak akan ada dampak koreksi signifikan pasca kenaikan NJOP. Boleh jadi orang akan wait and see terlebih dahulu untuk berhitung. Namun, jika setelah dihitung masih masuk akal dan dampak hanya dalam jangka pendek, ungkap dia, maka konsumen akan tetap membeli.

Tahun ini, Pemprov DKI Jakarta kembali menaikkan NJOP Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Jakarta rata-rata sebesar 19,54% dari tahun sebelumnya. Kenaikan NJOP itu tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 24/2018 pada 29 Maret 2018 yang ditandatangani Gubernur Anies Baswedan. Dalam lima tahun terakhir NJOP di DKI Jakarta memang terus merangsek naik.

Objek PBB yang memiliki kenaikan di atas rata-rata umumnya dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Antara lain perubahan fisik lingkungan atau lahan dari kampung menjadi perubahan atau perubahan fungsi lahan kosong menjadi kawasan perdagangan atau apartemen.

Pemprov beralasan peningkatan nilai tanah itu semestinya juga diikuti kenaikan objek pajaknya.

Kenaikan NJOP dilakukan Pemprov DKI untuk menyeimbangkan dengan daerah lain. Dengan begitu akan meminimalisir potensi kehilangan penerimaan pajak dan Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Butuh Insentif
Executive Director Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda mengatakan Pemprov DKI Jakarta harus memberikan insentif supaya industri properti tidak makin lesu untuk mengimbangi kenaikan NJOP. Salah satu opsinya adalah dengan menaikkan batas pembebasan PBB yang saat ini mencapai Rp 1 miliar.

Menurut Ali, insentif diperlukan untuk meringankan beban masyarakat atas beban pajak.

“Ya mungkin salah satunya yang meringankan, golongan menengah perkotaan masih menikmati diberi kelonggaran lah,” ujar Ali.

Dia menambahkan, kenaikan NJOP merupakan hal yang mesti dilakukan. Sebab, selisih harga properti di pasaran dan NJOP terlampau tinggi. Akan tetapi, kenaikan NJOP pada tahun ini dianggap kurang pas karena industri properti sedang lesu.

Hal itu ditambah dengan kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) yang saat ini mencapai 5,25%. Kenaikan ini juga dikhawatirkan akan memicu kenaikan suku bunga KPR.

Pembebasan PBB untuk NJOP sampai dengan Rp 1 miliar ditetapkan saat era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Seperti tercantum pada Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 259 Tahun 2015 tentang Pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan atas Rumah, Rumah Susun Sederhana Sewa dan Rumah Susun Sederhana Milik dengan Nilai Jual Objek Pajak sampai dengan Rp 1 miliar.

Dalam ketentuan itu dijelaskan, pembebasan PBB-P2 meliputi rumah yang dimiliki pribadi dengan NJOP dasar pengenaan PBB-P2 sampai dengan Rp 1 miliar. Kemudian, rusunami yang dimiliki orang pribadi yang digunakan untuk rumah tinggal dan rusunawa yang dimiliki atau disewakan pemerintah yang telah dilakukan pemecahan unit-unit satuan susun dengan batasan NJOP sebagai dasar pengenaan PBB-P2 sampai dengan Rp 1 miliar.

Kemudian Gubernur Anies Baswedan merevisi aturan ini, meski kandungan di dalamnya tidak jauh beda. Revisi ini dituangkan dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 25 Tahun 2018.

Dalam aturan baru dalam satu pasal disebutkan bahwa Wajib Pajak Orang pribadi yang pada tahun sebelumnya telah mendapatkan pembebasan PBB-P2 tetap diberikan pembebasan PBB-P2 berdasarkan ketentuan dalam peraturan Gubernur terbaru tersebut. (Teti Purwanti)