AKTUAL

Kementerian ATR/BPN Fokus Berikan Kepastian Tanah Masyarakat

Administrator | Rabu, 05 Januari 2022 - 13:49:16 WIB | dibaca: 219 pembaca

Foto: Istimewa

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) memastikan seluruh program dan pelayananya tetap berjalan meski di tengah pandemi Covid-19. Program-program tersebut dilaksanakan dengan strategi yang sudah ditetapkan pemerintah, yakni dengan penyesuaian anggaran terhadap program-program yang kurang prioritas.

“Tentu seperti strategi yang diterapkan oleh pemerintah dan presiden, yaitu anggaran yang dilakukan penyesuaian adalah anggaran-anggaran yang tidak terlalu mendesak, low priority,” ujar Menteri ATR/Kepala BPN, Sofyan A. Djalil dalam talkshow Ngobrol Tempo bertajuk “Indonesia Tumbuh dengan Pembangunan Infrastruktur Keberlanjutan” secara daring yang diadakan, Rabu (18/08/2021).

Menteri Sofyan menuturkan, salah satu program yang digencarkan yaitu Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang memiliki target mendaftarkan tanah seluruh Indonesia di tahun 2025. Sejak tahun 2017, Kementerian ATR/BPN selalu mencapai target melebihi dari yang direncanakan. Pencapaian ini, menurutnya, karena komitmen pemerintah yang sangat tinggi dan didukung pula oleh insan ATR/BPN yang profesional.

“Untuk pendaftaran tanah, kita sebut dengan legalisasi aset. Tanah-tanah masyarakat kita daftarkan, yang clean and clear kita berikan sertipikat, kalau yang tidak clean and clear nanti kita identifikasi. Walaupun tidak seproduktif tahun-tahun sebelumnya, namun tahun 2020 kita berhasil menyertipikatkan dan mendaftarkan hampir 7 juta bidang tanah. 2021 mungkin kita harapkan bisa mencapai sekitar 10 juta,” ungkapnya.

Sofyan A. Djalil mengatakan, program-program yang dikerjakan oleh Kementerian ATR/BPN bertujuan memberikan kepastian hukum terhadap tanah yang dimiliki oleh masyarakat maupun pemerintah. “Karena dengan kepastian hukum ini, akan ada ketenangan batin bagi pemilik tanah, ada kepastian bagi investor, ada kepastian bagi pemerintah, misalnya kalau membangun infrastruktur dan lain-lain,” paparnya.

“Tujuan Kementerian ATR/BPN bukan sekadar menyertipikatkan, karena sertipikat itu adalah instrumen, tujuan akhirnya memberikan kepastian hukum kepada masyarakat. Jadi kalau seluruh tanah sudah terdaftar, nanti suatu saat kita akan tahu setiap persil tanah di Indonesia ini milik siapa, berapa luasnya, bagaimana statusnya, bagaimana transaksi yang terakhir dan sebagainya,” tambah Menteri ATR/Kepala BPN.

Selain itu, Kementerian ATR/BPN dalam pengelolaan Tata Ruang mempunyai terobosan dengan dibuatnya Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dalam bentuk digital yang terintegrasi dengan Online Single Submission (OSS), untuk memudahkan berusaha dan iklim investasi di daerah-daerah.

Terakhir, dia menyebutkan Reforma Agraria yang menjadi Program Strategis Nasional (PSN). Melalui Reforma Agraria, pemerintah sangat fokus terhadap redistribusi tanah bagi masyarakat, juga pendaftaran tanah bagi transmigran.

“Banyak transmigran yang sudah tinggal di kawasan transmigrasi mungkin sejak tahun 1980, tapi tanahnya itu belum jelas. Ini kita bereskan. Kemudian tanah-tanah terlantar yang tidak dipakai sekian lama, Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan yang sudah ditelantarkan atau tidak diperpanjang haknya, karena memang tidak cocok lagi dengan tata ruang dan lain-lain misalnya, itu juga kita redistribusikan kepada masyarakat,” tutup Sofyan A. Djalil.

Konflik Pertanahan
Selain itu, Kementerian ATR/BPN melalui Direktorat Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan (PSKP) juga serius dalam menangani kasus-kasus pertanahan. Tak hanya menyelesaikan kasus, pencegahan konflik pertanahan saat ini juga menjadi fokus Direktorat Pencegahan dan Penanganan Konflik pada Ditjen PSKP.

Direktur Pencegahan dan Penanganan Konflik Kementerian ATR/BPN, Daniel Adityajaya menyebutkan ada tiga tugas baru yang harus dilakukan, di antaranya pencegahan konflik, hubungan antar lembaga, dan mafia tanah. Ditegaskan, pencegahan konflik pertanahan merupakan langkah yang bersifat proaktif yang diusulkan oleh Menteri ATR/Kepala BPN.

Langkah proaktif tersebut dalam rangka upaya menekan angka kasus pertanahan yang baru. Saat ini, Direktorat Pencegahan dan Penanganan Konflik tengah menyusun mekanisme pencegahan kasus pertanahan yang juga akan melibatkan Direktorat Jenderal terkait di Kementerian ATR/BPN. Hal ini juga bertujuan untuk mencari akar masalah kasus pertanahan agar tidak terulang lagi di kemudian hari.

“Saat kita menangani masyarakat, kita akan melihat kenapa terjadi kasus seperti itu. Jadi bukan hanya saat ada kasus kita tangani, itu tidak proaktif. Oleh sebab itu, pimpinan, Pak Menteri mengambil langkah membuat pencegahan. Sehingga apa yang menjadi penyebab orang komplain, kita kemudian berupaya untuk melakukan itu,” ujar Daniel Adityajaya dalam kesempatan berbeda.

Terkait dengan mafia tanah, Direktur Pencegahan dan Penanganan Konflik menjelaskan, Kementerian ATR/BPN telah bekerja sama dengan Kepolisian RI (Polri) sejak tahun 2018. Pemberantasan mafia tanah melibatkan Polri dalam hal pidana, sementara Kementerian ATR/BPN menangani administrasi pertanahan. 

Dengan melibatkan dua institusi ini, diharapkan jangkauan akan lebih luas sehingga kejahatan terkait pertanahan atau yang disebut mafia tanah semakin berkurang.

“Ini diawali MoU Pak Menteri dengan Kapolri, lalu dibentuk Satgas Anti Mafia Tanah. Setiap tahun punya target sendiri, masingmasing Kantor Wilayah BPN Provinsi dan Polda punya target rata-rata 1-5 kasus, tergantung besar atau dinamisnya kondisi di wilayah,” sebutnya.

Direktorat Pencegahan dan Penanganan konflik pada tahun ini juga berperan dalam program strategis nasional yakni Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA).

Program LPRA bertujuan melakukan redistribusi tanah kepada masyarakat, namun sebelumnya perlu kepastian bahwa tanah yang akan diberikan itu sudah clear, yaitu bebas dari tanah kawasan hutan, dalam kawasan HGU dan sebagainya. Dari jumlah yang diusulkan pemerintah, pihaknya akan menangani delapan konflik pertanahan yang terdapat dalam program LPRA.

“Secara umum ini harus di-clear-kan dulu di konflik untuk menentukan objeknya layak atau tidak untuk diberikan kepada masyarakat. Ada tiga hal yang menjadi pertimbangan, yaitu status HGU, dasar yuridis yang jelas, dan penguasaan fisik masyarakat, ini menyangkut objek tanah. Tiga hal ini akan ditelaah dulu, apakah selanjutnya bisa ditindaklanjut,” pungkas Daniel. (Rinaldi)
 
Sumber: