RISET

Imbal Hasil Investasi Properti Masih Tertekan

Administrator | Senin, 08 April 2019 - 11:17:08 WIB | dibaca: 1541 pembaca

Foto: Istimewa

Properti selain menjadi salah satu kebutuhan utama juga kerap kali menjadi produk investasi yang menjanjikan. Pasalnya, berbeda dengan produk investasi lainnya seperti saham, deposito, atau bahkan emas yang acap kali bergejolak karena berbagai hal, investasi properti relatif lebih aman.

Namun, tren investasi properti ternyata tengah sedang tertekan karena tingkat pengembalian investasi dan imbal hasil (yield) yang didapatkan masih lebih kecil jika dibandingkan dengan produk investasi lainnya. Setidaknya begitulah hasil riset lembaga konsultan properti.

Senior Associate Director Colliers International Indonesia Ferry Salanto mengatakan secara umum investasi jangka pendek di sektor properti masih belum menarik. Bahkan, yield yang ditawarkan properti lebih rendah dari yield sejumlah instrumen investasi seperti surat berharga negara, obligasi negara, dan deposito berjangka.

“Kondisi pasar properti memang belum ada pergerakan yang signifikan sehingga potensi yield yang bisa investor peroleh saat ini juga tidak terlalu menarik yakni sekitar 5 persen hingga 6 persen,” ungkap Ferry dalam paparannya, baru-baru ini.

Sedangkan surat berharga negara SBR004 yield-nya 7,1 persen. Sementara ORI015 yield-nya 7 persen. Deposito yang paling mudah diakses masyarakat yield-nya sekitar 6,5 persen.

Dia menambahkan, imbal hasil yang rendah menjadi alasan investor memilih instrumen investasi lain yang menawarkan yield lebih menarik. Beberapa produk investasi keuangan bahkan ada yang bisa memberikan imbal hasil hingga 9%.

Potensi Harga Naik
Saat ini, ungkap Ferry, pasar masih menunggu kapan investasi properti akan kembali bergairah. Namun, properti adalah produk investasi yang sebenarnya tidak bisa diabaikan meski dalam kondisi pasarnya lesu sekali pun. Oleh karena itu, investor harus mengenali betul produk properti yang akan menjadi pilihan investasinya.

Jika potensi imbal hasil dari suatu produk properti bagus, dia menyarankan pembeli untuk berinvestasi, apalagi banyak pengembang yang saat ini gencar memberikan promo dan juga tersedia beberapa alternatif pembayaran. Ditambah lagi, di saat pasar properti tertekan, maka potensi kenaikan harga properti ke depan sangat terbuka lebar.

“Potensi kenaikan harga properti masih besar. Lebih baik investor membeli saat pasar sedang lesu dibandingkan dengan ketika pasar sudah membaik,” jelas Ferry yang juga anggota Badan Riset DPP REI tersebut.

Adapun yield rendah dari sektor properti terutama apartemen disebabkan karena dikarenakan tarif sewa yang belum membaik, bahkan cenderung terkoreksi. Hal ini berbeda jauh bila dibandingkan dengan kondisi pada 2013 di mana yield apartemen bisa sampai dua digit.

“Jadi, kalau dibandingkan pada 2013, yield apartemen bisa sampai 10,2 persen secara umum. Memang kondisi ini turun terus sampai 2018 hanya 5,5 persen,” kata dia.

Bahkan, yield deposito berjangka pun lebih stabil bila dibandingkan dengan yield apartemen. Meski (yield) deposito juga turun, tetapi resikonya lebih rendah dibandingkan apartemen.

Ditambah lagi, kata Ferry, data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan jumlah masyarakat yang menyimpan uang kini terus meningkat. Ada pun jumlah dana pihak ketiga naik 9,2 persen CAGR selama lima tahun terakhir. Ini mengindikasikan bahwa orang cenderung menabung daripada membelanjakan uangnya ke investasi lain, terlebih properti.

Untuk itu, menurut dia, jika pengembang apartemen hanya mengandalkan para pembeli investor, maka dipastikan penjualan akan sangat sulit.

“Apalagi 2019 masih banyak ketidakpastian, paling tidak sampai April karena ada Pileg dan Pilpres. Kami memang tidak terlalu optimistis bahwa sektor apartemen akan membaik di semester I-2019,” pungkas dia.

Nilai Aset Stabil
Sementara itu, Associate Director of Sales & Marketing SouthCity, Stevie Faverius Jaya membenarkan bahwa imbal hasil apartemen yang menurun hanya terjadi di apartemen segmen atas (premium). Dia menyebutkan, yield untuk apartemen high end saat ini berada di kisaran 5,5 persen.

“Sedangkan untuk apartemen kelas menengah (middle) yield-nya masih tinggi di kisaran 9 persen hingga 10 persen. Apalagi kalau rumah tapak, tentu masih tinggi. Namun, saat ini rumah tapak bukan lagi menjadi investasi melainkan kebutuhan,” ungkap Stevie kepada Majalah RealEstat, baru-baru ini.

Direktur SouthCity Peony Tang memaparkan bahwa kelebihan investasi properti dibandingkan dengan sektor lainnya adalah keberadaan nilai aset yang terus meningkat. Bagi para investor yang ingin mencari imbal hasil yang pasti dan tidak tergerus oleh nilai inflasi atau situasi ekonomi dan politik, maka investasi properti adalah pilihan yang tepat.

“Investasi di sektor properti masih terbilang seksi mengingat kenaikan nilai properti setiap tahunnya,” kata dia.

Dia menilai bahwa investasi di sektor properti dinilai masih layak untuk dilakukan. Justru menjelang 2019 banyak pengembang yang memberikan promo untuk menarik minat konsumen atau investor yang masih ragu. Menurut Peony, lokasi properti yang berada di kawasan strategis juga menjadi nilai tambah untuk investasi.

Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda menilai bahwa investasi properti yang paling terdampak adalah yang nilai jualnya di atas Rp1 miliar. Menurut dia, investasi properti bisa saja meningkat. Apalagi, untuk properti di kawasan yang memiliki akses dan infrastruktur yang menunjang mobilitas konsumen.

“Kawasan yang dilalui komuter atau memiliki akses tol pasti bisa mendongkrak penjualan properti,” kata dia. Ali mengungkapkan bahwa pembangunan infrastruktur transportasi yang masif di Jakarta dan sekitarnya diyakini bakal mendongkrak pembangunan properti kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).

Permintaan properti di kawasan tersebut tumbuh 15 persen per tahun dengan potensi keuntungan hingga 40 persen dalam jangka waktu tiga tahun. (Teti Purwanti)